"Aku ... benci sama kamu," kataku saat kami dalam perjalanan menuju rumah Anto. Aku menghela nafas dan membuang wajah ke jendela.
"Hm, selamat." Dia tidak terkejut, dari sudut mataku aku bisa melihat dia masih konsentrasi dengan jalan di depannya, "kamu adalah orang pertama yang benci sama ... saya."
Mendengarnya menyebut dirinya dengan 'saya' tiba-tiba menyayat hatiku, ada rasa nyeri sedikit yang entah kenapa membuatku menjadi lebih dan lebih asing, padahal sejak ijab qabul dia menggunakan aku-kamu, ah sial. Niatku ngungkapin benci kan nggak seperti ini.
Selepas aku membereskan barang-barangku pagi tadi, aku secara halus diusir mami, dia bilang tolong cepat pulang. Jadi kami langsung berpamitan dan melenggang ke rumah Anto. Aku tak banyak bicara, pasalnya masih terngiang insiden tadi pagi yang bikin aku awkwkrd, Anto sendiri juga sama aja, kayak orang lagi nahan defekasi.
Aku memang nggak kenal bagaimana Anto, dan aku benci dihadapi dengan situasi jangkrik seperti ini, pun gagal mendapat feedback nya ketika aku bilang benci.
"Aku bener-bener benci, serius." Aku menghela nafas dan berusaha menggeser kepalaku ke arah kanan.
"Kamu ngga bilang juga saya udah tau,"
Jess, rasanya seperti tersuntik 100 liter sianida.
"Mungkin akan lebih baik kalau ... kalau ... rumahmu punya ..."
"Saya nggak akan maksa kamu," aku bisa melihat wajahnya lempeng, nggak kena efek dengan umpanku tadi. Bingung deh, harusnya cowok over pede kayak dia, tertohok gitu, kan kalau ada yang benci?
"Kita obrolin lain waktu,"
***
Setelah berperang dengan diam selama kurang lebih empat puluh lima menit, iya sial banget kenapa harus macet padahal engga sampai 20 km jarak dari rumah mami ke rumah Anto. Aku shock saat tau ternyata rumahnya dekat dengan sekolahku, mungkin salto lima kali juga sampai ke sekolah.
Saat kumenaruh koper di sebelah meja makan, Anto senyum sambil menarik kursi untukku, aku langsung mengangguk dan duduk patuh.
"Maaf karena bikin kamu salah paham. Tentang yang kemarin dan yang sebelum-sebelumnya." Dia menuang jus jambu ke dalam gelas.
"Aku aja yang bikin ..."
"Ah, ngga apa-apa. Ngga alergi buah jambu, kan?"
Aku mengangguk kecil. Sebenarnya aku tak tau harus berbuat apa, dan aku juga bingung kenapa malah dia yang menyiapkan minuman, seharusnya itu, aku, bukan? Maksudku, sebagai ... well, istri, itu adalah tugasku mengatur rumah, bukan?
"Kamu keberatan satu kamar dengan saya?"
Aku menghela nafas, "Hm ... aku ..."
"Oke, kamarmu yang di sini, kamarku ada di dekat ruang tamu. Saya ngga tau kamu suka beres-beres rumah atau engga, tapi saya ngga punya asisten rumah tangga untuk beresin rumah selama ini, jadi kalau kamu mau merekrut, itu terserah kamu, yang penting orangnya terpercaya. Terus, tunggu sebentar,"
Well well well, apa katanya? Tunggu, aku memang keberatan kalau sekamar dengan dia, apa lagi satu ranjang, tapi kata-katanya entah mengapa membuatku seperti seorang istri yang paliiiiiiing parah di dunia ini. Huh, bikin kesal. Lagi pula suruh siapa dipaksa-paksa!
"Ini kartu kredit, ini slip gajiku, ini juga tabunga-tabunganku—"
"Stop." Kataku, aku tak ingin dia meracau sangat jauh, aku menghela nafas "sebelum itu, tolong jelasin alasanmu terima perjodohan ini,"
Dia tampak berpikir sejenak, "Saya ngga punya alasan buat nolak perjodohan ini,"
"Ehm, kamu punya banyak potential wife, kenapa harus milih aku? Yang bahkan mentah-mentah nolak semua ini? Bahkan kalaupun ini amanah papi, kamu seharusnya tau kalau kita ngga lagi hidup di zaman Siti Nurbaya,"
"Kenapa kamu tanyain sekarang? Kamu nyesel?"
"A ... a ... aku bingung,"
Aku kembali menghela nafas dalam, merutuki keadaan sialan seperti ini. Benar-benar tak bisa menerima sikap sopan Anto saat ini, bahkan sekarang aku berpikir akan lebih menyenangkan kalau dia kurang ajar seperti kemarin, ngga ada momen-momen canggung di mana aku harus terus menghela nafas karena super bingung harus bagaimana. Ternyata buku-buku pernikahan yang kubaca sama sekali tak membantu. Sial, sial, sial.
"Saya harus pergi ke kantor, kamu bisa keliling rumah sendiri, kan? Tenang, lingkungan di sini aman kok. Saya pergi dulu,"
Lalu dia berdiri dan menaruh tumblernya ke dalam bak cuci lalu berhenti di sampingku, aku menunduk malu begitu dia menatapku sambil tersenyum, "Ngga akan lama," disusul dengan adegan dia mengacak-acak rambutku. Aw. Yang diacak-acak rambut yang acak-acakan hati.
"Assalamualaikum,"
Aku menjawab salam sambl menatap punggungnya, sembari menahan pipiku yang memerah.
***
Ketika Charlie Puth dengan Megan Trainor bersama-sama menyanyikan lagu Marvin Gaye, aku menggeser pintu dan menemukan pintu ini terhubung langsung dengan taman belakang rumah. Aku berbalik untuk melihat sekeliling kamar baruku. Aku yakin seribu persen ini adalah kamar utama, dan dulunya pasti ditempati Anto, lihat betapa mewahnya kamar ini dibanding dengan kamar yang akan ditempati Anton nanti. Ini berlebihan, aku tak dapat membiarkannya tidur di sana sementara aku tidur seperti ratu.
Jadi aku segera mendorong koperku dan mulai merapikan isi koper di kamar dekat ruang tamu. Namun, saat aku membuka nakas kayu berwarna hitam, aku menemukan sesuatu yang hm, tebak itu apa.
Sempak.
Iya, semp—celana dalamnya Anto.
Rupanya dia telah membereskan semua ini dan memindahkan seluruh barang-barangnya, huft, ngga mungkin, kan aku mindahin semua baju beserta dokumen-dokumennya sendirian? Hello, ada satu lemari penuh berisi buku tebal di sini.
Mau tak mau aku duduk di tepi ranjang, memijat jidat, kalau aku adalah orang Korea, mungkin sekarang saatnya aku bilang ottokhae sambil mencak-mencak.
Namun aku gagal bilang ottokhae dan terpincut dengan box persegi panjang berwarna hitam di atas meja kerja Anto, box itu dililit pita merah yang manis, mengingatkanku dengan box berisi cincin yang Anto berikan dulu. Oh ya, cincinnya kubawa tidak ya?
Aku segera membuka tasku dan menemukan box itu dalam keadaan sehat walafiat, baru saja aku akan membuka box itu, tiba-tiba ponselku bordering nyaring, nama Mama terpampang jelas di sana, beserta foto dia saat acara pernikah kemarin, di sampingnya ada Anto dan aku, by the way. Jadi merinding lihatnya.
"Waalaikumussalam, Ma,"
"Kamu lagi di mana sayang? Gimana kabarnya? Mama kangen sama kamu, Nab." tanyanya dari seberang sana. Padahal kemarin malam baru bertemu, dan aku bahkan ngga kangen dia. Hehe.
"Nabila juga pengen ketemu mama, kabar aku baik kok ma. Gimana sama Papa dan mas Adyo?"
"Papa sueger buger banget, dia super bahagia akhirnya bisa nikahin anaknya sama anak sahabatnya. Adyo juga sama, dia seneng banget sama pesta kemarin cuma pas semalem mama liat dia duduk di balkon kamarnya dia galau gitu, inget sama Kezia apa ya? Hihihi, abis Adyo mah cuekan orangnya."
Aku hanya tersenyum menanggapinya, walaupun dua ratus persen yakin mama tak akan melihatnya, "Ah masa sih ma?"
"Cuek bener Adyo itu Nab. Oh ya, lagi di rumah? Anto gimana?"
"Aku baru sampai ma, tadi Anto pergi ke kantor," aku membenarkan rokku.
"ANTO PERGI KE KANTOR?!"
Aku berusaha menjauhkan ponsel dari telinga, berniat menghindari tuli sementara, tapi kekuatan suara mama lebih super, 30 senti dari telinga saja masih terdengar jelas.
"MAMA UDAH NYURUH PAPA BUAT CUTIIN ANTO SEBULAN LOH! POKOKNYA TELPON ANTO SURUH PULANG, MAMA—"
Aku buru-buru melemparkan ponselku ke atas sebelum telingaku mengeluarkan darah.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Gak Mau Nikah
ChickLitNabila Aku 17 tahun, baru saja hengkang dari SMA. Tau-tau, Aku dijodohkan dengan om-om berusia 27 tahun, dan dilamar lewat free call Whatsapp (Kurang romantis apa coba?), sialnya dia tak menerima jawaban selain 'Ya', padahal beribu kali kujawab 'AB...