Suara seorang pembawa acara laki-laki terdengar lewat pengeras suara dari dalam ball room. Aku mengendap-endap, menempel pada dinding seperti cicak sambil mengangkat gaunku. Tak lama suara mbak Yena dan mbak Astri terdengar, keras banget, kupingku yang tertutup kain aja sampe sakit. Aku buru-buru berlari sebelum mereka menangkapku dan memasangkan benda yang paling kubenci.
"AWAS KAMU YA NAB!"
Sambil mengengok kanan-kiri dan memastikan tidak ada pers ataupun tamu (Untung, lorong ini sudah disterilkan), aku mengangkat lagi gaun rokku dan siap untuk mempercepat lariku, namun saat aku mencapai kecepatan maksimal, seseorang menahanku, ngga terlihat mukanya, tapi kuyakin dia cowok karena menggunakan setelan jas hitam. Sial, ngapain sih dia ngehalangin segala.
"Permisi mau lewat!" kataku, tapi lima detik kemudian kami berpandangan, dan setelah satu menit berlalu, aku sadar, bahwa aku tolol.
"Mau kabur, ya?"
Ini cowok ganteng ...
"Kasian dong pengantin cowoknya, kalau catrinya kabur. Gagal dikelonin nanti," kata dia lagi sambil tersenyum miring, tapi mataku dan bibirku terhipnotis. Auto-bungkam.
Cowok ini mungkin tingginya, 185 centi, lebih tinggi 18 centi dariku. Meskipun dia mengenakan sunglasses, aku bisa melihat matanya tajam dan gelap. Kupingnya nawing, tapi terlihat sexy di wajahnya, rahangnya keras, bibirnya tipis dan keriting minta dicium, hidungnya mancung, dan wajahnya kecil. Apa lagi kancing leher kemeja putihnya sengaja ngga dikait.
Tuhan, nikmatmu yang satu ini tak akan kudustakan.
"Aku punya sepatu roda ukuran 39, by the way. Jadi kalau kamu mau kabur dari dayang-dayangmu, kamu bisa meluncur dengan cepat pakai itu."
"H—hah?" aku mangap, masih tak bisa mengkondisikan mataku yang tak henti menatapnya.
Lalu suara dua dayang cempreng mulai terdengar lagi, dia, cowok di depanku itu, berbalik dan melambaikan tangannya, "Wish your wedding success!"
Aku masih bengong.
"Ya ampun, Nab! Kamu yang ngumpetin busa dada ya?!" mbak Yena menunjukkan benda tak enak dipandang itu. Ya emang aku yang ngumpetin, lagi pula demi apa pun meski dadaku ngga besar-besar banget, aku ngga sudi pakai busa itu.
"Dasar iseng! Cepet pake!" mbak Astri menyerahkan benda itu kepadaku. Yang langsung kutepis, aku segera memegang ke dua tangannya dan berusaha move on dari busa dada.
"Sumpah. Aku ngga mau nikah sama Muhammad Rodhianto Al Bazili! Aku mau nikahnya sama cowok yang tadi! Kalian liat ngga?!" aku mulai semringah dan bersemangat, meskipun jantungku masih berdegup-degup.
"Cowok mana sih, dari tadi gue ngga liat siapa-siapa! Ayo pake, bentar lagi mulai nih resepsinya!"
"Aku mau nikahnya sama cowok yang tadi, gimana dong?!" aku menolak beranjak saat ke duanya mulai mendorongku. Lagian siapa yang ngga mau nikah sama cowok yang tadiiiii? Ah sialan.
"MENDING MUHAMMAD RODHIANTO AL BAZILI KE MANA-MANA JUGA. UDAH SANA LU KAWIN!"
Dan ke duanya mulai memakiku karena banyak hal. Sial.
***
Aku berhasil membuat mbak Astri-Yena menyerah untuk membuatku menyerah, busa dada itu mereka buang, akhirnya. Tapi mereka mencak-mencak karena dadaku sama sekali ngga keliatan katanya. Ngapain juga pamer dada.
Tapi gantinya, kuku-kuku yang tadi subuh ditreatment jadi rusak akibat kugigiti dan kumainkan. Terima kasih kepada rasa gugupku.
Jadi sekarang, aku bener-bener-bener gelisah, ini detik-detik pengesahan aku menjadi istri Muhammad Rodhianto Al Bazili. Maureen, yang duduk di dekatku, mengangkat jempolnya sambil meneriakkan, "Ayo Nab semangat nanti malam!" kenceng banget dia teriaknya, tamu yang lain langsung ngakak.
Adik-adikku, mulai dari Sayyid sampai Bintang duduk manis, si bungsu kembar sudah disuap supaya ngga rewel. Dara, Denta, Jasmine dan Rania pakai dress warna merah muda yang lembut, yang bikin Bintang lepas jas tadi pagi, pengen pakai baju kak Rania katanya. Orang tuaku, kakek dan para selirnya, opung-opungku, juga yang kuyakini sebagai orang tua Muhammad Rodhianto Al Bazili, mengenakan pakaian yang seragam, yang perempuan pakai kebaya sunda, dan laki-laki pakai jas hitam. Mereka semua tampak 10 tahun lebih muda.
Mereka sih seneng-seneng aja, lah aku! Dari tadi keep smile sambil terus berharap air mataku ngga keluar.
"Sebentar lagi cowokmu dateng," bisik ayah, sama sekali ngga menghilangkan kegugupanku. Aku masih kepikiran cowok ganteng yang kutemui saat percobaan kaburku tadi. Aku sempat menatap seantero ruangan untuk mencari batang hidungnya, tapi sampai detik menjelang ijab qabul, aku tak menemukannya juga. Mustahil kalau dia bukan tamuku.
Jadi aku masih tersenyum, sambil memainkan kuku-kuku jariku, inilah nervous terlama sepanjang aku hidup, dan aku ngga mau rasain kaya gini untuk ke dua kalinya.
Kemudian ruangan jadi riuh tak tau mengapa, aku mengedarkan pandangan, dan menemukan selusin lebih wanita yang mengaduh dan berbisik. Saatku berhenti mengedarkan pandangan dan mendongak ke atas sedikit. Aku tak bisa berkedip, tak bisa bernapas pula, ini adalah kali ke dua aku mengatakan diriku tolol, dan aku tau sebabnya
"Ready for the wedding, Nabila?"
Dia, Muhammad Rodhianto Al Bazili.

KAMU SEDANG MEMBACA
Gak Mau Nikah
Chick-LitNabila Aku 17 tahun, baru saja hengkang dari SMA. Tau-tau, Aku dijodohkan dengan om-om berusia 27 tahun, dan dilamar lewat free call Whatsapp (Kurang romantis apa coba?), sialnya dia tak menerima jawaban selain 'Ya', padahal beribu kali kujawab 'AB...