Like She Used to be

2.3K 92 23
                                    

Gue mengangkat tangan kiri gue, gue kepak-kepak di depan wajah Taya, cincin yang ngga pernah gue lepas berkilauan tertimpa cahaya, Taya menolak memberikan respon.

"Gue udah nikah," hampir selusin kali gue ngomong itu ke dia.

Taya memalingkan wajahnya, "Selama pengadilan agama masih terima gugatan cerai," dia menatap gue tajam, "I wont give up."

Reaksi Taya lebih dari ekspetasi gue, gue pikir ucapan selamat Taya pasca gue menikah bakal jadi tanda bahwa dia ngga mengharapkan lagi dari gue, dari hubungan yang ngga pernah jelas ini.

Setelah berabad-abad nggak ketemu, lalu dipertemukan dengan tidak sengaja di sebuah meeting project kantor, Taya sebagai perwakilan perusahaan yang menang tender project kantor gue. Dia ngga terlihat terkejut, gue yang shock berat, gagal jadi mantan professional. Siangnya saat jam makan siang, dia minta waktu buat ngobrol 'bertemu teman lama' temanya.

"Jadi ... apa kabar?" tanya Taya, dia menghirup aroma americanonya dalam-dalam seperti dulu. Rambutnya masih bergelombang, yang bikin beda, sekarang panjang rambutnya sepundak. Dia pakai lipstick, padahal, dulu mau ketemu gue aja ogah pake lipstick.

Gue menunduk, mencoba menghilangkan aroma kenangan, "Fine, so fine."

"Ayolah, ngga mungkin kehidupanmu fine-fine aja setelah nikah. Apa kamu bosen sama si ..."

"Nabila, Namanya Nabila. Apa yang lo mau omongin sama gue?"

"I miss you, a lot. Aku kangen obrolan ngalor ngidul kita, aku kangen cerita kamu tentang Adyo dan Kezia yang maha menyebalkan, aku kangen. This is just hard, To. Hard." Tanpa keraguan sedikitpun, dia menatap gue tajam, dengan mata coklatnya yang pernah gue kecup.

Setelah percakapan yang membangkitkan kenangan itu, dia minta diantar ke apartemen saudaranya yang akan melahirkan, tapi nahas, istri gue ada di depan apartemen itu, gue tiba-tiba nggak fokus, bias, semua pandangan yang jelas gue cuma dari kepala Nabila sampai kakinya.

Mengetahui bahwa dia baik-baik saja di luar sana tanpa perlindungan gue, ternyata sesakit ini.

Nabila mengambil kresek dari seorang cowok, bibirnya yang manis mengucap terima kasih dengan tulus, binar matanya, mengatakan segalanya. Sial, kangen berat sama bibirnya.

Bruugg.

Antusiasme Nabila bikin dia teralihkan, kopi nggak habis Taya yang dia bawa tumpah ke blazernya. Nabila panik. Sudah pasti. Dia terus menunduk, mengelap blazer Taya yang kena tumpahan kopi, meminta maaf berulang kali. Gue hanya bisa diam, kayaknya kena kutukan Ibu Malin Kundang.

Lalu matanya menangkap basah mata gue, terkejut, tatapan kok-kamu-bisa-ada-di-sini-sama-cewek-lagi terbaca amat sangat jelas. Badannya yang kecil itu bikin gue pengen peluk dia. Tapi sebelum gue melangkah buat narik Nabila ke pelukan, Taya menarik tangan gue dan bilang, "We are in hurry, come on, Anto."

Gak Mau NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang