Awal Perjalanan

2.9K 104 3
                                    

Aku menghitung mundur berbarengan dengan oven di depanku. 15, 14, 13 ... dari selesai bercakap dengan anak ITB tadi, aku mulai berpikir bahwa aku punya banyak pilihan yang lebih menguntungkan, 11, 10, tapi nyatanya tidak. Aku tidak punya banyak pilihan seperti apa yang kupikirkan sebelumnya. Dan sekarang makin frustasi karena itu.

Ting, aku membuka pintu oven dan mengeluarkan semangkuk popcorn lalu membawanya ke depan tv, sambil memindahkan channel aku duduk. Baru aku hendak mengais segenggam popcorn tiba-tiba ponsel cadanganku berdering. Nenek menelepon, aduh.

"Waalaikumussalam, apa Nek?" kataku malas, pasti dia bakal menanyaiku yang ngga-ngga. Malam pertama, misalnya.

"Kakek, nenek dan grandma mau ke sana sayang," mati aku, "15 menit lagi nyampe, nenek kangen sama cucu nenek, soalnya biasanya di rumah sekarang di rumah baru. Ada rencana ngasih nenek cicit ngga, Nab?"

Moodku hancur berkeping-keping dalam satu detik. Damn. Dan sekarang aku baru ingat kalau Anto belum pulang dari lari paginya, pasti nenek bakal mencecarku kalau Anto ngga tiba secepatnya. Aku pun menutup telpon nenek setelah berpesan agar hati-hati karena kematian bisa datang kapan saja, setelahnya aku menelpon Anto tapi tidak diangkat. Pesanku pun hanya memberikan satu centang abu-abu. Ke mana sih ini orang?

Dalam kegelisahan tingkat tinggi yang bikin keringatku auto-keluar, aku menelponnya terus menerus, mengiriminya pesan agar cepat pulang kalau dia tidak ingin mati muda. Soalnya bakal banget-banget barabe kalau tetua-tetua itu marah cucu kesanyangan ditinggalin suami. Ha, suami.

Beberapa menit setelah aku mengamini banyak doa, Anto menelpon balik, dia menanyakan perihal apa Whatsappnya dibom, aku bilang aja, cepat pulang atau dia akan dipecat lewat koneksi kakek. Dia tergelak lama dan aku hanya menggumam mengisyaratkan kalau aku serius. Dan akhirnya dia sampai rumah, untungnya lebih dulu dari rombongan tetua.

"Aku nggak akan sempet mandi, nih,"

Aku melirik kausnya yang sudah seperti terendam, basah banget. Baru saat aku mau ngomong, pintu depan diketuk diiringi salam tetua, dan mereka langsung masuk sebelum aku persilahkan.

"Lho, abis ngapain, To? Keringatan gitu?" kata kakek setelah disalami aku dan Anto.

"Hmm, dasar pengantin baru, masih pagi padahal, udah tancap gas aja." Grandma mulai ngelantur, dan bodohnya aku baru sadar apa yang dia maksud. Aku menatap Anto yang bersemu sambil mengelap pipinya malu. Idih. Idih.

IDIH. Mana ada.

Aku menyuruh mereka duduk sambil ikut duduk di sebelah nenek, "Apa sih grandma, iri bilang,"

"Ya ngga apa-apa dong, namanya juga pertama kali, sering-sering juga ngga apa-apa," kakek menegahi sementara aku syok mendengarnya. Hello, menyentuhnya saja aku tidak pernah, cium juga dia yang nyuri-nyuri sewaktu di hotel, enak saja!

Tapi sebelum aku dikutuk dan tidak diwarisi harta kakek, aku membuatkan mereka green tea dan pancakes bertoping karamel, untung dapur Anto punya banyak bahan-bahan. Sementara itu, Anto menemani ke tiganya berbincang, aku ngga tau apa yang mereka omongin tapi terdengar jelas kekehan kakek-nenekku, kayaknya bahagia banget denger jokes Anto.

"Aku mandi dulu ya kek, nek, cepel nih," kata Anto saat aku menaruh matcha di atas meja. Nenek menyilakan Anto dan aku duduk di sebelahnya setengah keki.

"Kalian ngga berencana bulan madu, Nab?" tanya kakek.

HAH? BIG NO.

Aku membelalakkan mataku belum sempat mengeluarkan nafas yang tertahan. Bulan madu katanya? Kiamat!

Gak Mau NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang