Ada teori yang mengatakan bahwa hubungan itu daur dari dua konflik. Konflik internal terjadi dari dalam ke dua subjek, sementara konflik luar munculnya dari selain subjek. Jadi, konflik itu datang bergantian, selama kamu masih dalam hubungan.
Jangan tanya itu teori siapa, yang pasti bukan teori Ingenhous, ataupun Engelmen.
Aku melirik kuku-kukuku, bentuknya tak rapi hasil cetakan gigi-gigiku, "Reen?"
Wanita yang sibuk dengan MacBooknya kini mendeham, "Hmm,"
"What should I do?"
Dia menarik laptopnya, mengarukkan kepalanya di ujung sisi laptop sambil mengernyit, "Nikah lagi aja, mau ngga?"
Aku bangkit dari kasur, melepas kaus kaki dan melemparnya ke Maureen yang bereaksi tak berlebihan. Kulempar sebelahnya lagi dan mendarat di atas cangkir berisi teh Thailand hangat milik temanku yang punya sejuta solusi itu. Dia menegakkan kepalanya, melempar rambutnya dari atas ke bawah, "Syaiton!!"
Aku duduk termangu di pojokan menghadap jendela besar yang menghamparkan gedung-gedung menjulang ke langit, selagi Maureen membersihkan dan juga menyumpah, aku menengok ke bawah, di trotoar aku menemukan cowok ganteng.
Dan cowok itu, si Anto.
Sudah dua hari sejak kepergianku dari rumah, Anto seringkali terlihat di apartemen ini. Aku belum tau maksudnya apa, tapi ini sedikit membuatku lega. Aku pernah berpikir dia mencariku, mengkhawatirkanku, tapi yang menjadi pertanyaan besar, mengapa dia tak kunjung menemuiku di unit milik Maureen. Meski begitu, diam-diam, kadang kala, malam-malam aku tersenyum dan tertawa memikirkannya.
Kadang aku berpikir, mengapa aku harus pergi dari rumah karena Anto kejam tak mengakui perbuatannya. Tapi lantas aku teringat bahwa pernikahan ini bukan atas suka sama suka. Aku lupa bahwa ini bukan keputusan aku dan dia. Tak sewajarnya aku pergi.
Apa wajar?
Aku menghela nafas, di bawah Anto sedang berjalan beriringan dengan entah-siapa-aku-tak-tertarik. Bibirnya masih tersenyum manis sejak kedatangannya, dia tertawa kecil lalu menjabat tangan kawannya kuat-kuat.
***
Pukul 12 siang aku keluar dari persembunyianku. Setelah mengecek ponsel dan tak menemukan apapun selain pesan abang go-jek aku memakai sendalku dan mengunci pintu. Turun ke lobby menggunakan lift dari lantai delapan, aku mengetuk-ngetuk jendela lift besar. Di lantai lima lift berhenti, seorang ibu muda hamil menggandeng anak perempuan dengan rok tutu super imut masuk. Dia tersenyum lalu menarik anak perempuannya lebih dalam.
Perutnya yang membuncit besar sungguh menarik minatku. Selama kududuk di bangku sekolah, aku dijejali Pendidikan reproduksi, tapi aku masih takjub dengan kemampuan perut dan rahim makhluk sejenisku, wanita.
Aku sedang mengira-ngira usia kandungannya saat dia mengelus-elus perut, "Bentar lagi lahiran, mbak."
Aku terperangah, ke mana perginya semua keluarganya?
"Ini saya mau berangkat ke rumah nenek," dia menunjuk anak perempuan di sebelahnya.
Aku mengangguk, "Oo, berat banget ya mbak?"
Dia membenarkan posisi punggungnya, "Hm, berasa ngangkut megalodon,"
Aku terperangah, buset, berat banget, bayangkan suatu saat nanti bayiku ternyata bayi super, gembrot, mungkin beratnya seperti Argentinosaurus obesitas.
"Saya seneng, meskipun bebannya berat. Ada nyawa, ada makhluk kecil di dalam sana. Menunggu saya keluarkan." Dia mengelus perutnya lagi, "mbaknya udah menikah?"
Aku mengulum bibir, "Ng ... udah mbak,"
"Nanti juga tau rasanya,"
Pintu lift terbuka di lobby, ibu-ibu tadi tersenyum sambil bilang 'mari', meninggalkanku yang termangu menatap kepergian dua manusia dan satu fetus yang berjalan pelan menuju pintu keluar. Aku menatap ke bawah, memandangi perut tidak indahku. Membayangkan proses bikinnya aja udah ngilu.
Ponselku berdering saat pintu lift hendak menutup, aku buru-buru keluar dan menuju abang go-jek yang menenteng kresek putih berisi pesananku. Yuhu, happy mealsku.
Aku berbalik setelah berterima kasih, namun nahas ternyata momentum yang berkaitan dengan inersia ini tidak berujung baik. Karena terlalu happy dapat happy meals aku menabrak seseorang dan kopi yang ia pegang tumpah membanjiri kausku dan blazernya, juga tas kulitnya memuncratkan segala isinya. Yah sial.
"Aduh, sorry!" aku segera mengumpulkan dokumennya yang tercecer di lantai, sibuk sekali, lalu memberanikan diri untuk menengok wajahnya, di sebelahnya seorang lelaki membantunya membersihkan blazer yang langsung ia lepas.
Aku menggigit bibirku, wajah korban keteledoranku begitu sempurna, aku tak bisa membaca ekspresinya yang ternyata belum muncul, dia hanya mengulum senyum, menghela nafas, mengambil berkas dariku, sembari bilang, "It's okay. Ngga apa-apa"
"Biar saya yang cuci blazernya, mbak," aku menunjuk blazer putih susu berbercak Frappuccino yang dibawa oleh seorang lelaki, mungkin kekasihnya. Dia menggeleng, menolak halus sambil tersenyum, memberesekan setelahnnya dari torso ke lutut yang menampakkan body. Sialan, dari mana asalnya model Victoria secret ini.
"Saya bener-bener minta maaf," kataku sekali lagi, menghilangkan bayangan wajahnya yang mirip Adriana Lima.
Dia mengangguk, lalu menarik lengan lelaki itu, "We are in hurry, come on, Anto."
Aku menegakkan kepala dan melihat wajah yang kukenal, sementara dia hanya menatapku nyalang. Ke dua matanya yang kukagami itu seperti tak pernah mengenalku. Dia hanya diam, menatapku, seolah aku adalah orang asing. Dia, dalam sepersekian detik, menghancurkan hatiku.
Nama lelaki itu Muhammad Rodhianto Albazili.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gak Mau Nikah
ChickLitNabila Aku 17 tahun, baru saja hengkang dari SMA. Tau-tau, Aku dijodohkan dengan om-om berusia 27 tahun, dan dilamar lewat free call Whatsapp (Kurang romantis apa coba?), sialnya dia tak menerima jawaban selain 'Ya', padahal beribu kali kujawab 'AB...