Selusin Cucu

3.3K 108 1
                                        

Perjalanan Tangerang-Bali membuatku gila. Habis setiap terbang dan mendarat tanganku reflek meremas tangan Anto. Tiap kali otak kecilku memberi impuls supaya lepas dari tangannya, medulla spinalis mengambil alih dan menjadikannya gerakan refleks, sialnya, dia tau dan peka, alhasil selama dua jam aku ngga bisa menentramkan jantungku yang ngga karuan ini sebab Anto menolak melepas pegangan.

Aku ngga tau efek remasan tangan bahkan lebih jelek dari efek menghisap ganja.

"Wajah kamu merah tuh, kayak cabe-cabean,"

"Wajah kamu ungu tuh, kayak terong-terongan," balasku malas, sialan, mengapa dalam keadaan begini dia malah ngelawak, sih? Kan bikin salah tingkah.

Aku dan dia berdiri di luar terminal kedatangan, menunggu om Yudis yang kata nenek akan menjemput kami, karena rombongan nenek dan mama sudah di jalan menuju vila. Aneh, padahal berangkat bareng, turun juga bareng, mengapa nenek selalu selangkah lebih depan dari pada aku dan Anto?

Aku makin curiga dengan semua ini, tapi bingung juga, kalau memang para jompo itu menjebak aku dan Anto, mengapa sampai mengirim om Yudis yang pasti sibuk ngurusin kerjaan kakek di Jakarta?

"Pak Anto!" meski yang dipanggil Anto, aku tetap menengok dan menemui om Yudis berlari ke arah aku dan Anto, "Mobilnya di depan, pak,"

Aku segera mendorong koperku mengikuti arah jalan yang ditunjukkan om Yudis, di belakangku, Anto berjalan menarik koper. Kemudian aku menangkap bayangan tubuh tingginya di depanku, bayangan itu hitam dan jelas, rambutnya yang agak jabrik terlihat keren memantul di lantai. Aku menelan ludah, mengapa bayangannya saja terlihat begitu ganteng?

"Jangan berhenti tiba-tiba, dong," kata Anto, ternyata begitu aku melototi bayangan, aku berhenti dan membuatnya menabrakku tanpa sengaja, "jangan-jangan kamu mau pingsan, ya?"

Aku menggeleng sambil menatap sepatuku, enggan untung tetap tegak sementara pipi ini merona, untung saja dia tidak tau kalau aku berhenti hanya untuk menatap bayangannya yang superb sambil membayangkan bentuk aslinya Anto.

"Mari mbak Nabila, ibu Kaetlyn menunggu," kata om Yudis, dia menyadarkanku dan aku segera mengejar Anto yang ternyata sudah jauh di depan sana.

***

Ternyata gue ngga jadi dikerjain. Nenek, grandma, kakek, mami, ayah, dari Sayyid sampai Bintang, mama, papa, (bahkan) Adyo dan tiga pembantu mami diboyong ke Bali. Om Yudis tadi mengantar gue sampe depan vila yang cukup besar, vila ini letaknya di pinggiran Legian, langsung menghadap ke pantai (private beach, lagi). Cocok buat honeymoon, harusnya.

Gue segera menggiring koper memasuki halaman vila yang sepertiga lapangan sepak bola, yang bikin pegal juga. Di ruang tamu, para tetua lagi tea party sambil mengobrol.

"Akhirnya, yang ditunggu datang juga!" sambut mama sambil berdiri dan menghampiri gue dan Nabila, "ya ampun, udah rindu nih mama sama mantu,"

"Mama aja kangen apa lagi aku," kata gue sambil mengucek hidung dan menatap Nabila, para tetua tadi tampak ketawa ketika gue bilang begitu.

"Ish bikin malu aja lho," balas Nabila, dia mencubit lengan gue, tapi cubitannya bener-bener sakit.

Papa menurunkan cangkir tehnya, dengan semangat dia berkata, "Jadi, kata dokter kapan lahiran?"

Gue berdeham sebentar dan melirik Nabila yang ngga pinter akting, dia jelas-jelas shock berat denger perkataan papa sebelumnya. Meskipun gue bosen ditanyain momongan terus mulai dari keluarga sendiri sampai temen kerja gue, gue menanggapinya dengan santai. Kalau aja Nabila setuju, gue kepengen punya tujuh anak. Yang kembar dua.

"Kalau digangguin terus sih ngga akan proses-proses, ya ngga ... hun?"

"Ya kan ... sayang??"

Jeder.

Jedor. Berasa ada ondel-ondel menderita gigantisme lagi masukin petasan berbentuk tugu monas yang runcing ke kolor gue. Abis itu kolor seisi-isinya muncrat ke segala arah. Dia manggil gue hun? H-O-N-E-Y? dan SAYANG? Ngga mikir apa kalau gue nyaris kejengkang dengernya?

"I ... I ... ya," kata gue kemudian, menatap heran Nabila. Tapi pada detik ke tiga setelah para tetua tertawa gue mendapati kilatan geram sekaligus tak ikhlas dari Nabila. Ouch, jadi begini permainannya.

"Ma, aku sama Nabila setuju bakal kasih tujuh cucu cakep-cakep," kata gue, "nanti ada sepasang yang kembar ma, dijamin, mama pasti repot ngurusnya,"

Tau-tau Nabila mencubit pinggang gue tanpa sepengetahuan yang lain, dia mendekatkan bibirnya ke arah kuping gue, "Tujuh ya? Ngga sekalian aja selusin?" sambil tersenyum lebar bak penyihir.

"Kamu pengennya selusin, say?" mampus lo. Gue balas tersenyum selebar yang gue bisa.

Nenek berdiri, "Ya ampun, kalian ngga sabaran ya? Kakek juga dulu kayak gitu loh!" lalu disambut teriakan riuh para tetua, grandma bahkan terbahak paling kencang sementara Nabila menggeser tubuhnya supaya dekat dengan gue, dan dengan satu kakinya, dia menginjak kaki kiri gue.

"Ngomong lagi aku ceburin ke laut," ancamnya di telingaku, sambil senyam-senyum licik.

"Apa sayang? Mau bikin sekarang? Coba ulangi?"

Di ujung mata, gue bisa liat Nabila yang keki tiba-tiba tapi tetep ditahan plus senyuman paling ikhlasnya, para tetua grasak-grusuk ngomentarin pasutri baru di depannya yang lagi main drama. Gue melirik Nabila lagi dan dia membalasnya super garang, gue bisa liat bayangan gue dimakan hiu di matanya. Tangan gue langsung mengalung di pinggangnya yang ternyata naudzubillah kecil banget.

"UDAH SANA KE KAMAR! JANGAN UMBAR-UMBAR KEMESRAAN!" mama akhirnya mengeluarkan putusan yang tepat, padahal gue masih kepengin lihat Nabila kebakaran jenggot tapi ngga bisa ngapa-ngapain.

Setelah diberi arah menuju kamar, gue langsung menggiring Nabila yang balas melingkarkan tangannya di perut gue ke kamar, dua koper punya gue dan Nabila tertinggal di ruang tamu dan membuat tetua-tetua itu berkelakar yang aneh-aneh, kayak gini misalnya : saking bergeloranya gairah sampai lupa kalau lingerie ditinggal di koper. Tapi sebenarnya tanpa lingerie pun jadi. Hehe.

Gue menutup pintu kamar setelah memastikan gak ada orang iseng yang bakal stalking, mendorong Nabila masuk dan dalam hitungan ke tiga gue udah jadi bulan-bulanan cubitan dia.

"Gimana kalau mama bener-bener nagih tujuh cucu? Atau bahkan 12?" dia menendang-nendang bed cover yang ternyata ditaburi kelopak mawar merah—gue tau kerjaan siapa—saat gue mulai menginspeksi ruangan lebih lanjut, gue menemukan lilin-lilin di lantai membentuk hati.

"Mereka emang bener-bener niat, liat deh, bahkan kasur king sizenya pakai kelambu dan kelopak mawar udah kayak sprinkles di atas roti,"

"Makanya kalau ngomong bismillah dulu! Omongan tuh dipertanggung jawabkan,"

Ya gampanglah mempertanggung jawabkan tujuh cucu, ya ngga? Dengan senang hati, malah.

Sebenarnya pengen gue jawab begini : ya udah ayo bikin, tapi gue ngga mau nanggung resiko dikubur hidup-hidup, gue hanya membalas omongan Nabila, "Abis kamu provatif sih, bilang-bilang sayang, emang aku ngga liat apa mata kamu kayak gimana,"

"Lupa sama perjanjian kita dulu?"

"Yang aku bilang juga termasuk perjanjian itu lho, kan menyenangkan orang tua,"

"Tapi aku panggil sayang ngga ngefek apa-apa,"

Jadi degupan jantung gue yang seirama musik EDM yang jedug-jedug saat dipanggil sayang tidak masuk hitungan. Jadi euporia gue tidak masuk jangkauan kemungkinan efek yang dipikirkan Nabila. Well, satu kata : nyesek.

Gue membuka pintu kamar, hendak keluar villa, "Kamu harus tau kalau tadi ada jantung yang berdetak terlalu cepat,"

***

Gak Mau NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang