Semalam

3.9K 115 2
                                    

Kata orang, pernikahan itu ibarat pelayaran kapal, seorang suami atau imam sebagai nahkoda dan istri sebagai ... tukang masak kayaknya. Aduh gatau, gue lupa apa yang Kakek pernah bilang ke gue. Tapi intinya, nyampe engganya kapal itu ke sebuah pelabuhan adalah kerja sama antara nahkoda dan ... tukang masak.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, pelabuhan mana yang gue tuju sama Nabila? Never thought it before.

"Mama seneng kalau seandainya kalian benar-benar seperti itu,"

Gue juga ma, persetan siapapun itu, ngga ada suami yang ngga berharap bahagia bareng istrinya sendiri, kan?

"Bukan mama menyesal nikahin kalian. Ngga sama sekali." Dia menghembuskan nafasnya pelan, "agak sakit melihat kebahagiaan yang dipaksakan."

Mama, setelah makan malam tadi mengajak gue jalan-jalan sebentar di tepi pantai, dia ngga pernah ngelakuin kaya begini sebelumnya, makanya, pas dia narik gue, ada feeling kalau gue bakal jadi santapan hiu di laut sana. Tapi ternyata ngga, berhubung hiu pun ngga tega lihat tampang tampan gue, mama blak-blakan kasih tau kalau dia sadar semua sandiwara itu. Dia senang awalnya, tapi miris selanjutnya.

"Awas kamu ya, kalau mama tau dia begitu karena kamu ngga berusaha," mama memincingkan matanya, "papa berencana laksanain merger setelah Nabila hamil,"

Gue menghela nafas. Salah satu alasan kenapa bokap dan nyokap gue memaksa gue untuk nikahin Nabila : merger perusahaan. Gue menolak untuk tau siapa yang dimerger ataupun memerger. Toh ngga ada sangkut pautnya sama karir gue. Dan alasan inilah yang Nabila ngga tau. Nabila taunya gue nikahin dia karena almarhum papi nitipin Nabila ke gue.

Dan sekarang gue amat sangat ingin ngejedorin kepala ke terumbu karang.

"Aduh mama lupa tanya mba Kuning, si Chloe udah makan malam belum ya?" dan mama langsung ngacir ke vila sambil mengaduh-aduh.

Yah, sial gue ditinggal.

Gue mengais segenggam pasir dan hendak melemparkanya ke laut, tapi baru saat gue ambil ancang-ancang, suara jeritan kecil terdengar dari belakang gue.

"Aduh! Jangan lempar-lempar pasir, dong! Kelilipan nih!" Nabila menunduk sambil menutup matanya. Sontak gue langsung mendekat, membuka ke dua matanya sambil membasmi pasir sialan. Berani-beraninya pasir itu.

"Kurang kerjaan, ya?" tanyanya setelah gue selesai meniup matanya, "bahaya tau, untung ngga sampe buta,"

"Kalau kamu buta, aku mau kok ngurusin kamu," gue masih menggenggam wajahnya, menatap dalam matanya yang memerah, "bahkan sampai bunga matahari tumbuh di Mars,"

Deburan ombak dan cekikan kepiting menjadi saksi bisu malam ini.

"Kamu udah mati duluan bahkan sebelum astronaut pembawa biji bunga matahari sampai ke Mars," Nabil memincingkan matanya.

Gue masih memandangi mata kecoklatannya, mata Nabila, istri Anto yang gantengnya astaghfirullah. Yang bakal gue sayangi bahkan sampai bunga matahari tumbuh di Mars. Ngga peduli dia jatuh cinta sama gue atau ngga.

***

"Stop it, you being weird." Kataku, dari tadi Anto menatap mataku sendu, penuh keputus asaan, dan sangat lama, bikin aku mati kuku, bikin suhu badanku naik, bikin jantungku ngga karuan detaknya. Iya sialnya lagi, dia lagi dalam fase ganteng-gantengnya, dan mataku menolak untuk berpaling dari dua mata tajam nan sexy itu. Damn, godaan suami ganteng. Hiii, ngeri sendiri aku.

"Aku ngga keberatan dikatain aneh." Katanya, tentu bikin aku merinding.

Seolah wajahku kurang mengatakan kalau aku blushing sekaligus takut, Anto mengangkat tangnnya dan menyelipkan rambutku yang terbang tertabrak angin ke belakang telingaku, dia melakukan itu berkali-kali karena rambutku tetap jatuh meski diselipkan dengan erat.

Gak Mau NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang