"Ayah?"
"Apa?" dia menatapku, dengan mata teduhnya, aku bisa merasakan kenyamanaan.
"Aku ngga ngerti kenapa ayah bisa tau kalau aku di bridal, nunggu taksi, ngga bawa hp ... ayah kok tau aku lagi dapat musibah?" aku memeluk lengannya erat. Ya jadi, yang bilang 'maaf terlambat' itu bukan Muhammad Rodhianto Al Bazili seperti yang kuharapkan, tapi ayahku datang menjemputku.
Dia membelai puncak kepalaku, "Radar ayah bilang, kalau putri ayah lagi kesusahan."
Aku menyandarkan kepalaku di lengannya. Memang sempat kecewa mendapati orang yang kutunggu tak datang, tapi keberadaan ayah sangat kubutuhkan dalam situasi ini, di sisi lain aku bersyukur karena tidak jadi mati kutu kedinginan di dalam taksi. Tapi aku juga memendam kesal kepada Muhammad Rodhianto Al Bazili. Lihat saja nanti.
"Lusa, kamu bukan lagi tanggung jawab ayah, sayang," kami sedang berjalan menuju tempat parkir, di bawah rintik hujan dia bilang seperti itu, kurang romantis apa coba ayahku.
"Lusa, kamu bukan lagi gadis ayah, tapi istri suamimu," dia menerawang, "bahagia ya nak, jangan lupa sama kewajibanmu sebagai istri. Ayah tau, kamu mungkin menginginkan pernikahan atas dasar cinta. Tapi ayah yakin, seiring berjalannya waktu, cinta itu akan tumbuh."
Aku merinding, malas banget jatuh cinta sama Muhammad Rodhianto Al Bazili.
"Jaga keharmonisan rumah tanggamu, supaya hubungan dengan besan juga terjaga. Ayah calon suamimu itu, sahabat papimu, lho, ayah juga kenal dia dengan baik.
Harapan mereka besar akan pernikahan ini, karena pernikahan abangnya Anto ngga berjalan dengan bagus. Mertuamu juga semangat banget ngatur pesta pernikahan, tapi karena Anto minta yang sederhana aja, ibu mertuamu gagal bikin pesta glamour," ayah terkikik kencang, apa lucunya coba.
Tapi demi menghargai ayah dan kegagalan calon ibu mertuaku yang kepengin bikin pesta glamour, aku tersenyum.
Tunggu ... calon ibu mertuaku?!
"Aku masih pengen gandengan sama ayah," kataku kecil.
"Kalau gitu, kita jalan kaki sampai rumah, gimana?"
Aku menelan ludah mendengarnya, dan menatapnya takjub, "Jantung sehat betis meledak sih iya." Dia kembali tertawa.
"Dengerin ayah, kalau dia main kasar sama kamu, pukul aja, ngga apa-apa, atau kalau kamu ngga tega, telpon ayah, biar ayah yang beresin."
Jadi setelah dia dengan begitu romantisnya mengatakan akan membuat Muhammad Rodhianto Al Bazili mengeluarkan darah apabila dia membuatku menangis, aku mengeratkan pelukanku di lengannya. Sayangnya, tidak bisa berlama-lama menikmati suasana ini, ternyata macet sudah terurai dan sopir ayah mengeluarkan mobil lebih cepat. Sebelum aku masuk ke mobil aku mencium pipi ayah dan membisikkan kalau aku menyanyanginya sepenuh hatiku. Tenanan.
***
Aku memang tidak pernah berniat kabur saat hari resepsi pernikahan, tapi, mendadak ada begitu banyak dorongan untuk kabur. Sekarang pukul 7 pagi, dan resepsi akan diadakan pukul 9. Aku memang belum didandani tapi yang kulihat dari kamar hotelku, para tamu sudah berdatangan, aku juga bisa melihat sudah banyak karangan bunga dipajang di sepanjang jalan menuju hotel. Bahkan ada yang pasang banner ucapan selamat, dengan fotoku terpampang besar banget.
Dorongan untuk kabur semakin kental saat Maureen, Dara, Denta dan Jasmine masuk ke kamar, "Gugup ya Nab?" tanya Maureen, dia ini teman sekelasku.
"Ngga waras kalau aku ngga nervous. Goddamn, kali ini aku pengin banget kabur, Reen."
"Ya udah, aku siap gentiin kak Nab jadi mempelai wanita," Jasmine menyahut, dia adikku yang ke dua, dia masih kelas 3 SMP.
"Ga mau, Denta yang ngantiin!" Denta, adikku yang ke tiga balas menyahut, dia tampak antusias banget.
"Lho, Denta kok gitu? Kan aku duluan yang lahir daripada kamu," Dara, adikku yang ke empat, kembaran Denta, merong karena adiknya mendahuluinya.
Aku menggaruk jidatku, sialan kenapa malah mereka yang ribut pengen kawin, "Nyuci pembalut aja ngga bener udah pengen kawin!"
Maureen tertawa, sedangkan adik-adikku mengeluarkan wajah kesalnya kepadaku dan satu per satu mulai keluar kamar saat mbak Wanda mengetuk dan bilang mau dandanin princess.
"Stay di sini Reen, tolong pastiin gue ngga ngecewain tamu dengan kabur," kataku saat Maureen beranjak dari sofa.
Mbak Yena mulai mengeluarkan peralatan make up dari kopernya. Meski aku ngga asing dengan alat-alat itu, tiba-tiba dadaku mencelos, nerveous, gugup, awkwrd. Aku menelan ludah beberapa kali saat dia mulai menampari pipiku lembut, saking gugupnya, tanganku yang menggenggam celana training hitam gemetaran dahsyat. Sialan banget. Sialan aku ngga bisa berhenti mengumpat.
"Mb ... mb ... mbaaaak," kataku sambil gemetaran.
Dia berhenti menyisir rambutku, "Apaan sih manten, segitu nerveousnya kawin sama cogan!" dia memang akrab denganku. Saat masa-masa aku menjadi Gadis Sampul, dialah yang setia menemaniku treatment dan lain-lain.
"Aku ... aku kabur, y ... y ... ya?"
"IIH! Udah deh jangan drama queen gitu, suami lo tuh keren badai, udah mingkem, bentar lagi kan mau ijab," dia melanjutkan menyisiri rambutku, sementara aku mengigil, ngga bisa apa-apa. Kabur di saat seperti ini memang beresiko, pasti bakal banyak orang yang nyalahin aku, apa lagi pesta pernikahan ini (ternyata) disponsori. Mati aja.
Persetan dengan sponsor. Aku gugup banget!
"Astriiiii, gaunnya udah selesai beeluuuum?" teriaknya, aku masih gemeteran. Lalu datanglah Mbak Astri dengan gaunku sambil tersenyum riang.
"Gue kalo nikah mau pakai gaun ini juga ah!"
"Heeh, Nab, inget ye, bersyukur lo dijodohin terus dapet paket komplit, awas aja lu kalo masih manyun abis nikah, gue tikung noh laki lo," mbak Astri, menunjukkan jarinya ke arahku.
Ya Tuhaaaaan, seandainya mereka berada di posisiku, masihkan mereka mau bersyukur?! Aku langsung bilang bodo amat saat mbak Astri menarikku untuk berganti baju. Aku yang ogah-ogan tersaruk-saruk sambil mengerang tak ingin menikah.
"Ayo siap-siap, Bila!"
Siapkah aku untuk ... menikah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gak Mau Nikah
Chick-LitNabila Aku 17 tahun, baru saja hengkang dari SMA. Tau-tau, Aku dijodohkan dengan om-om berusia 27 tahun, dan dilamar lewat free call Whatsapp (Kurang romantis apa coba?), sialnya dia tak menerima jawaban selain 'Ya', padahal beribu kali kujawab 'AB...