Turtleneck

3.1K 101 3
                                    

Hari ini rasanya panas sekali, berulang kali aku mengibaskan leher turtleneck sialan yang kukenakan di musim panas negara tropis. Gila. Panas banget. Bahkan pendingin ruangan 16 derajat pun ngga berefek sama sekali. Aku menyalahkan Anto kali ini.

Meskipun dia oknum, tapi dia juga pakai turtleneck yang bikin para tetua menatapku dengan dia secara seksama. Pasti mereka mikirnya macam-macam.

"Di pantai kok pake leher kura-kura," mami nyeletuk sambil menggendong Rania.

"Malu kalau dilepas, bukti keganasan semalam bisa-bisa terkuak," celetuk mama. Bener banget. Aku memang sengaja memakai ini karena noda-noda merah di sekitar leher menjelaskan segalanya. Mungkin yang akan mengartikan itu bekas kerokan hanya si bungsu kembar.

"Ah, mama bisa aja," Anto mendorong lengan mama sambil cengengesan as always, yang dibalas teriakan 'heh' mama yang khas.

"Kalian memang berjiwa muda. Papa suka itu." Papa membawa cangkirnya dan ikut duduk menonton bom panci di Jakarta.

"Aku juga suka, sama Nabila tapi," Anto menyenggol siku lenganku, aku menatapnya gerah. Bikin panas aja ini makhluk.

Kemudian aku berdiri dan pamit untuk menemui adik-adikku yang sedang bermain pasir di pinggir pantai tanpa mengindahkan tangan jahil Anto yang menarikku minta ditungguin Karena dia pasti ngga mau ikutan obrolan para tetua.

Sesampainya aku di luar villa, aku melepaskan tanganku dan menatapnya sebal.

"Nab, serius ngga mau ngomongin yang semalam?"

Aku menganga, "Nga—nga—buat apa?"

"Kamu ngga mau bunuh aku? Atas segala perbuatanku semalam? Tapi aneh lho, kamu bahkan ngga nendang-nendang aku, malah kesene—"

"OKE. OKE." Aku menutup mulutnya dengan tanganku. Duh, benar-benar deh, aku akui kok, semalam aku keenakan, tapi kan sudah kusesali amat sangat dalam dan, dan – sekarang aku malah keinget enam menit itu dan adegan selanjutnya. Aku berusaha untuk tidak menatapnya seakan dia bertelanjang dada. Aku menelan ludah.

TUHAN, KUATKAN AKU.

"Apa yang telah aku dan kamu perbuat semalam merupakan sesuatu yang entah kenapa dari tadi pagi membuatku kepengen mengulang waktu—"

"Kamu pengen lagi?"

"NGGAK! Maksudku, ya diulang supaya aku ngga kena jebakan kamu!"

Dia menarik kepalanya terkejut, "Aku kan ngga masang jaring. Lagian, suwer deh kamu ngga nyesel sama sekali, kan?"

"KESEL BANGET SIH. AU AH!" aku menghentakkan kakiku dan berjalan menuju pantai seperti pasukan pengibar bendera yang menghentakkan kakinya dengan keras. Kuinjak bumi ini kuat-kuat biar tau rasanya punya suami kayak Anto.

Ngga ngerti lagi deh gimana ngadepinnya. Di satu sisi aku pengin damai, tapi sisi lainnya ngga kepengen aku damai dengan alien itu.

Aku ngga mau jadi kupu-kupu independen nan langka tapi tak terancam punah menclok di bunga mawar yang banyak durinya. Maaf-maaf saja, tidak mau! Lelaki macam Anto mana bisa dipercaya. Fatalnya, semalam aku memberikan surgaku untuknya. Benteng pertahananku untuk tidak berhubungan dengannya runtuh sudah. Sekarang aku sedang memungut sisa-sisa bata untuk ditata kembali. Miris.

"Nab, serius?" tau-tau Anto sudah menjajariku.

"Apa sih? Ganggu aja!" aku berjalan dengan langkah lebar-lebar.

Dia menarik lenganku, "Kamu beneran ngga marah?"

Aku membelalakkan mataku, dengan segenap rasa kesalku, aku membanting tangannya dan menatapnya, "Aku marah, aku kesel. Aku tau meski kamu legal dan halal ngapa-ngapain aku, tapi tau kan? Kita nikah tanpa ba-bi-bu-be-bo, dan aku harus kehilangan .... Hmm, itu tanpa waras sama sekali. Why do you think I am fine with that? No I am not. Tapi semua udah terlanjur, kan? Seminggu lagi atau bahkan nanti malam aku bakal mual-mual, pusing—"

"Tunggu,"

"I don't have a choose. Aku berusaha untuk ikhlas, To. Jadi jangan bikin aku frustasi, nanti bisa-bisa fetusku mati, terus aku disalahin dan—"

"Aku ngga ngerti," dia mengerutkan jidatnya, setelah aku dengan kerennya marahin dia.

"Wanita memang sulit dimengerti, kan?"

Dia mundur beberapa langkah dan membekap mulutnya, metanya membelalak lalu tiba-tiba dia berteriak, "Kamu hamil?!"

Aku menatapnya tak mengerti. Apa sih yang dipikirkan seorang suami ketika sudah selesai proses produksi dan dia tadi bilang—apa?

"Hamil anak siapa Nab?" dia menunjuk perutku.

ORANG INI MINTA KURACUN.

"Anak siapa? Anak siapa kamu bilang? Anak kamulah!" aku mengerjap beberapa kali.

Dia menatapku tak percaya, shock benar-benar berat. Wajahnya pucat pasi. Aku ngga yakin kalau darahnya bahkan terpompa atau tidak. Dia mundur beberapa langkah dan lari, pergi, entah ke mana.

***

Aku mengunci diriku di dalam kamar, menutup semua jendela dan tak lupa gordennya. Hanya ada aku yang ditemani ponsel di kamar. Jujur, aku menunggu penjelasan Anto, bahkan dia belum pulang semenjak kabur dari obrolan sialan tempo hari. Meskipun aku galak sama dia, bukan berarti dia bisa seenaknya hilang tanpa kabar begitu saja, aku jadi semakin sangsi dengannya. Bagaimana kalau ternyata dia sebenarnya kabur Karena belum siap menjadi ayah? Apa kabar masa depan fetusku nanti?

Aku menghela nafas, kalau pahit-pahitnya, ternyata dia benaran ngga kepengen fetus itu, apakah aku harus mengurusnya sendiri? Tapi kan, spermanya ikut andil dalam pembuatan fetus. Tapi memangnya Anto peduli dengan spermanya yang ikut andil itu?

Aku menghela nafas lagi. Kalaupun itu terjadi ... aku ... aku ngga akan telantarin anak itu. Aku juga ikutan bikin, masalahnya, dan aku keenakan, fatalnya.

Tiba-tiba ponselku bergetar, ada free call whatsapp dari Anto. Aku menatap ponsel itu, haruskah kuangkat? Tapi nanti ngomongnya gimana? Masa tiba-tiba aku bilang, 'aku mau tanggung jawab sendiri, kalau kamu ngga mau'?

"Nab?" panggil Anto, disusul dengan ketukan pintu. Aku merapikan diri sebelum membuka pintu. Nahas, saat kubuka dia langsung menyerbuku, memelukku sangat erat.

"Aku bukannya raguin kamu, tapi beneran itu anak aku?"

Aku segera mendorong dadanya hingga terpental dua meter dariku, nafasku sudah menderu-deru, benar saja dia memang ngga bisa dipercaya!

"Aku mau pastiin, Nab,"

"Memangnya anak siapa lagi? Anak tukang ledeng? Kamu keterlaluan!" aku mendorongnya sekuat tenaga saat berusaha menggapai pintu, aku benar-benar sudah ngga tahan. Dia keterlaluan. Saat aku sudah hampir final memutuskan untuk hidup dengannya, sekarang dia meragukanku. Kalau dia ragu, lebih baik aku yang pergi.

Entah dapat kekuatan dari mana, aku akhirnya sampai di pintu dan langsung keluar sambil berlari, meninggalkan Anto yang berteriak memanggil-manggil namaku.

***


Gak Mau NikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang