Kalau dianalogikan, suasana hatiku seperti pasar habis kebakaran, tadinya ramai, berapi-api, lalu disiram pakai ceramahan mahasiswa bolos kuliah, kini keadaannya sepi, tersisa isak tangis dan debu. Kira-kira seperti itu.
Bukan main sakit hatiku.
Kini Maureen tengah mengumpulkan tisu beringus bekasku, dia mengangkatnya tanpa jijik, tangan kirinya mengelus-elus kepalaku, "Positif, aja, positif,"
Positif ndasmu, suamiku bareng cewek lain tauk!
Kemudian dia menyalahkan sikap bocahku yang memilih kabur, bukannya mengadakan konferensi meja kotak untuk menyelesaikan masalah. Oh, mudah sekali baginya untuk bilang begitu. Kalaupun kepalaku sedingin dan hatiku tak sepanas waktu itu, tak mungkin aku mendarat di apartemennya.
Seakan dia belum membuatku bete, dia mengoceh lagi tentang wanita bersama Anto tadi siang. Aku tak ambil pusing, aku langsung keluar apartemen. Maureen benar-benar tak membantu.
Aku berjalan sambil menghentak-hentakkan kaki, kepala dan tangan. Intinya gila. Aku tiba di depan muka lift yang tertutup, namun di layar tampak angka 16 dan kuyakin itu memakan waktu lama. Aku memutuskan untuk nturun tangga saja, barang kali kepalaku mendingin seiring anak tangga yang kulewati.
Aku menyemburkan nafasku di depan pintu tangga darurat, sembari memejamkan mata dan meyakinkan diriku menuruni delapan lantai, aku membuka pintu dan meluncur di pagar tangga sambil berteriak kencang. Dalam hati aku berdoa, semoga tidak ada yang melihatku. Aku mendarat gemilang di lantai tujuh, sambil mengankat ke dua tanganku seperti huruf V, aku mengambil ancang-ancang untuk meluncur kembali, mengenyahkan selangkanganku yang perih. Persetan, aku butuh rasa sakit yang nyata.
Namun baru hendak melempar kaki, tangis anak kecil menghentikanku. Anak permpuan menggunakan piyama doraemon yang sedang menunduk di dekat tangga, menangis kecil, dari kepalanya entah kenapa tidak terasa asing. Sepertinya dia anak perempuan yang pakai rok tutu tadi siang. Aku mendekatinya, "Halo?" Dia tak bergerak, aku lalu menyentuh pundaknya, barulah dia menengok ke atas lalu dengan tiba-tiba memelukku.
Lalu aku menggendongnya, dan mengelus-elus punggungnya, sialnya dia manggil aku dengan sebutan 'mama'.
"Mama," dia mengalungkan tangannya di leherku.
"Yuk kita cari mamamu,"
Aku segera keluar ke tangga darurat untuk menggunakan lift di lantai enam, aku pikir, kalau anak ini ditemukan di lantai enam, maka unitnya tak akan jauh-jauh dari lantai ini, tapi masalahnya, saat kutanya rumahnya di mana, dia berteriak 'mama'.
Jadi kuputuskan untuk turun saja ke lobby, siapa tau ibunya pun mencarinya. Namun saat kutanya satpam, dia tak kenal anak ini karena baru bekerja sebulan. Aku bingung, petugas front recepsionist tidak ada pula.
"Lantai lima, lantai lima," kata anak perempuan itu tiba-tiba,baru aku mengerti maksudnya, seorang ibu pembawa megalodon di rahimnya mendatangiku terbingung-bingung.
"Oli kok di sini?"
Anak perempuan yang disbeut Oli itu turun dari gendonganku dan memeluk kaki ibunya, aku segera menjelaskan apa yang terjadi, karena aku tidak mau dicapsebagai penculik anak.
"Ahh, jadi ngerepotin gini, terima kasih, lho."
Aku memandangi mereka berdua, eh, bertiga sambil tersenyum, Oli terus-terus minta digendong ibunya tapi bawa satu megalodon saja sudah sangat berat, ibunya menolak terus sambil berusaha memberi pengertian pada megalodon besar.
"Oli keberatan nggak, kalau tante aja yang gendong?"
Aku langsung menyesalinya saat berjongkok dan dia melompat ke pelukanku. Berat banget.
"Kalau nyulik Oli sebenarnya gampang banget, dia sama siapa juga mau digendong," jelas ibunya Oli, "Anyway aku Sarah,"
"Nabila. Aku kira mbak Sarah pergi tadi siang," aku mengelus-elus jari Oli ketika dia mulai memainkan rambutku, bahkan menjilatinya.
Sarah memeluk perutnya, "Nggak jadi, saudara perempuanku dateng. Sama mantannnya lagi,"
Kemudian kami ngalor-ngidul gosipin saudara perempuannya yang datang membawa pakaian kotor bersama mantannya. Aku sempat masuk ke rumah Sarah sembari minum teh yuzu buatannya. Pembawaannya yang lembut membuatku nyaman, Oli yang manja denganku membuatku betah lama-lama di rumah mereka.
"I wanna ask you, can i?" tanyaku, memberanikan diri. Kurasa dia orang yang tepat kutanyakan seperti itu, apalagi kondisinya ditinggal suami ke Amerika, dan bersua enam bulan sekali.
"What?"
"I'm married," aku menghela nafas, "ini ... aku lagi kabur,"
Dia mengaduk-aduk sopnya di panci, "What's the matter?"
Aku merenung, sebenarnya apa inti masalahku, "Terlepas dari apapun itu ..."
"Ah, remind me of someone."
Aku memutar kursi pantry sambil membenarkan posisi Oli yang kupanku, "What should I do?"
Sarah mematikan kompornya dan menuang sup pada mangkuk, "Tergantung. Kamu tau Good Men Project? Aku suka tulisan tentang relationship punya Surabhi Surendra, katanya, ada tiga hal tentang pernihakan, salah satunya promise to never give up on each other," dia menyodorkanku semangkuk sup, "aku meyakini itu, meski ngga tau Alberth percaya sama itu apa ngga. Baca aja nggak yakin."
"But I didn't marry like you,"
"Emang kamu nikahnya sambil kayang?" dia terkekeh, Oli ikutan tertawa, "Ngga masalah dia suka atau ngga. Kalau kamu suka, don't give up, kalau ngga suka ya, harus suka,
Aku punya prinsip. Aku orang yang berlandaskan kesakralan sebuah pernikahan. Divorce itu haram. Makanya, bagiku itu ngga main-main. Pernikahan pertama akan menjadi pernikahan terakhirku juga. Konflik itu biasa, pengen pisah itu biasa. Kerikil kecil kan tinggal ditendang. Saranku, don't give up, Nab." Dia mengulum senyum.
"Karena sepertinya aku tau siapa suamimu,"
***
Halo!
Sejujurnya saya pengen upload tanggal 13 kemarin, karena tepat hari itu, setahun yang lalu, bab satu cerita ini kurilis. Yeyyy, sangat yeey. Saya bahagia ternyata ada yang baca dan suka, terima kasih telah menemani selama ini, terima kasih atas cinta yang kalian berikan (:3 GR saya), ini berat tapi saya harus bilang sebentar lagi kisah Nabila tamat. Kalau ngga keberatan saya pengen tau apa yang kalian suka, apa harapan kalian buat ending Nabila sama Anto.
Salam cium Xp

KAMU SEDANG MEMBACA
Gak Mau Nikah
ChickLitNabila Aku 17 tahun, baru saja hengkang dari SMA. Tau-tau, Aku dijodohkan dengan om-om berusia 27 tahun, dan dilamar lewat free call Whatsapp (Kurang romantis apa coba?), sialnya dia tak menerima jawaban selain 'Ya', padahal beribu kali kujawab 'AB...