#9 Cotton Candy
⭕⭕⭕
Ada satu hal yang tidak aku mengerti dalam perasaan, atau mungkin (sebenarnya) tidak bisa aku terima. Dan itu adalah fakta bahwa perasaan tidak bisa dipaksakan. Aku tidak bisa memaksakan idola yang aku sukai untuk membenci pacaranya, 'kan?
Sama seperti hubungan Tante Ira-adik papa-dengan Om Ronald yang dipertemukan di Bandara Seokarno-Hatta ketika mereka sama-sama akan terbang ke Tokyo. Walaupun nenek melarang Tante Ira untuk berhubungan lebih serius dengan Om Ronald, nyatanya kini mereka berdua sudah menikah. Bahagia. Nenek tidak bisa memaksakan perasaan Tante Ira.
"Gue enggak pernah ada niat untuk serius sama Leona, Ri," ujar Michael kepadaku siang ini saat jam istirahat. Aku bela-belain meninggalkan jadwal makan siangku supaya bisa mengobrol dengan Michael.
"Serius, Michael?" Aku menaikkan nada suaraku. "Kemaren Leona telepon gue, dia nangis. Dan lo seenaknya jawab kayak gini?"
Michael menatapku lama. "Oke. Biar gue perjelas, gue enggak pernah mau ada hubungan sama dia, Ri. Gue rasa, dianya aja yang-"
Aku memotong kalimat Michael dengan cepat, "Enggak. Tolong jangan bilang kalau Leona yang baperan or whatever. Because, seriously, Michael, lo ngajak perempuan untuk main sama temen-temen lo, ngajak dia pulang bareng, every fucking single day, if i may add, ngajak dia nonton, terus ke rumahnya setiap hari dan lo bilang lo enggak serius sama dia?"
"Tapi bukan dalam hal romantis gitu, Ri. I mean, dia lumayan untuk gue jadiin temen main. So why not? You can't blame me in this, sorry," balas Michael tidak mau kalah. Kuberi tahu, aku paling tidak setuju dengan penggunaan kata lumayan, karena, diantara kata-kata yang lain( juga yang lebih pantas) dia memilih lumayan? What an asshole.
Aku menggelengkan kepalaku, "That's not how you treat girl. Especially with the girl that clearly shows interest on you, Michael."
"Ya jangan salahin gue dong," Michael tertawa kecil. "Leona yang terlalu baperan."
Aku memejamkan mataku. Jadi, kemarin Leona bercerita padaku bahwa ia merasa seperti Michael mempermainkan dirinya. Aku juga tidak bisa menyalahkan Leona, karena aku tahu ia amat menyukai Michael.
"Kalau emang lo dari awal cuma buat main-main, enggak kayak gini caranya Michael. Cari aja cewek yang bener-bener lo suka, keep her. Kenapa harus buat cewek lain nyaman dulu sama lo coba?" cecarku kesal.
"Kalau cewek yang gue suka juga suka sama gue, enggak masalah, Rianna." Michael menatapku. "Tapi masalahnya, dia udah terlanjur benci sama gue."
Aku tertegun. "Siapa?"
Michael menatap taman sekolah yang sudah sepi. Ia mengambil napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, "Valen." jawabnya pelan.
"Va-valen temen gue?" Aku kaget. "Valen anak kelas gue? Valen yang rambutnya sebahu?"
Michael tersenyum, "Iya." Michael berbisik, "Valen temen lo. Valen yang sekelas sama lo. Valen yang rambutnya sebahu. Valen yang cantik itu. Valen yang kalau ketawa matanya suka ilang. Valen temen kecil gue."
"Temen kecil lo?" tanyaku lagi. Heck, aku tidak akan menyangka akan mendapatkan pengakuan dari banyak orang dalam waktu sesingkat ini.
Michael mengangguk, "Temen kecil gue. Gue kenal dia dari umur 2 tahun. Waktu SD, gue termasuk orang yang suka nge-bully dia, sekitar kelas 5-6 gitu. Waktu kelas 2 SMP, dia pindah."
"Dan akhirnya, kita sama-sama SMA disini. Valen, yang dulu giginya ompong, pendek, kurus, kecil, lemah, rambutnya diiket dua, dan sekarang? Gue enggak ngerti lagi." Aku tahu 'enggak ngerti lagi' yang dimaksud Michael adalah bahwa Valen kini menjadi cantik, kuat, dan berubah drastis. In good way.
"Gue kayak, ini, cewek yang suka gue bully dulu? Gue enggak pernah nyangka, Ri. Kalau tahu dampak nge-bully dia bakal serumit ini, man, gue mau balik ke jaman SD dulu."
"Nyesek, Rianna. Kayak perempuan yang lo sia-siain dulu, yang gue enggak tahu kalau ternyata kejamnya kata-kata gue itu masih ngebekas di dia, berubah jadi perempuan yang simply, out of my league." jelas Michael panjang lebar.
"Lo enggak nyoba untuk memperbaiki hubungan lo sama dia?" tanyaku. Saat ini, cuma itu yang bisa aku tanyakan.
Michael mengangguk. "Dari awal kelas satu. Tapi dia lupa sama gue, Rianna. It feels like, bomb. This is what you deserved, Michael. Dan semenjak itu gue enggak pernah coba kontak dia lagi. Bahkan senyum aja gue enggak bisa."
Michael tersenyum pahit, "Tragic isn't it? Like, perempuan yang dulu suka sembunyi di pundak lo waktu TK, yang waktu awal ketemu ngajak lo main barbie dan lo suka main di kamarnya; bikin tenda dan ngobrolin tentang games terus dia bakal bosen dan ngantuk dan akhirnya tidur di pundak lo."
"Gue cowok brengsek dari SD," Michael tertawa. "Gue bikin masa-masa SD-SMP Valen sengsara. Kenapa juga gue mau ikut-ikutan yang kayak gitu, sih? 'Hey Michael, she's a freak and a loser. Why would you stick with her?'" Michael menirukan suara orang lain sambil tersenyum pahit. "Dulu gue ketua tim futsal, btw."
"Lo tau apa yang paling gue sesalin, Ri?" Michael bertanya kepadaku, kemudian ia melanjutkan meski tidak mendapat balasan dariku. "Kenapa gue baru sadar kalau gue suka sama dia sekarang?"
"Lo dulu masih terlalu kecil untuk bisa tau lo suka sama seseorang atau enggak." jawabku serius.
"But that kind of look in her face when i told her funny stories, when she cried in my arms that time she fell from her bike when we were 5, or when she asked me to dance in her kitchen when nobody's home and we both listened to that Bee Gees song that played softly from her parent's tape."
"Gue seharusnya sadar itu dari dulu, Ri." Michael menggigit bibir bawahnya. "People change. Feelings change. That's suck. We're growing up, that's suck too."
"Boleh gue peluk?" tanyaku tiba-tiba setelah Michael berhenti berbicara. Aku manahan tawa.
Michael menoleh kearahku dan mengangguk sambil berbisik pelan di dekat telingaku, "Gue bakal dibunuh Calum kalau dia liat."
Aku tertawa. Kemudian aku peluk Michael. Aku tahu bahwa bagi beberapa orang, masa lalu adalah hal yang sulit untuk dibicarakan. Aku selama ini menganggap masa lalu adalah hal yang bisa dijadikan kekuatan terbesar seseorang, tapi aku tidak selamanya benar.
Masa lalu justru dapat menjadi senjata yang akhirnya membunuhmu. Membunuh cahaya yang hidup di hatimu, yang aku yakin kamu sebut cinta. Oke, ini menggelikan.
"It's OK, Michael. Bukan salah lo kalau suka sama temen kecil lo. Bukan salah lo kalau dulu lo bego dan gampang terpengaruh, " aku tertawa. "But trust me, everyone deserves a second chance. Dan Valen belum benar-benar lupa sama lo, gue yakin itu."
Aku yakin itu karena Valen tidak pernah menyinggung Michael saat bersamaku, berarti ada yang disembunyikannya, 'kan? Aku harap.
See, kalau saja perasaan bisa dipaksakan, aku mau memaksakan Michael untuk melupakan masa lalunya dengan Valen dan menyukai Leona.
Serta, memaksakan Luke untuk bisa menyukai Valen. Mudah sekali.
Tapi ( aku sudah mengatakan ini berkali-kali) nyatanya aku salah, perasaan bukan hal yang bisa dengan mudah kamu paksakan. Kecuali, ada perasaan lain yang bisa tumbuh tiba-tiba, tanpa ada paksaan.
⭕⭕⭕
Makasi buat 1k nya hehe
Im waiting for my plane to boarding and i'm bored so i update heheWith lovee,
R