1.3 Selesai dan Permulaan

747 143 95
                                    

#13 - Menta
Mint

Author's POV

Luke menelepon Rianna sore itu. Baru sekitar beberapa kata yamg berhasil terucap dari bibir Luke, Rianna sudah mengerti apa yang terjadi. Perempuan itu kalut, memanggil mamanya dan memintanya untuk segera mengantarkannya ke rumah sakit.

"Pasien atas nama Mali Koa Hood, sus?" tanya Rianna dengan nada gugup. Ia sudah tidak mementingkan prosedurnya harus bagaimana terlebih dahulu. Yang ia tahu, ia hanya ingin cepat-cepat menemui keluarga Calum. Jadi ia memutuskan untuk bertanya di ruang informasi terdekat.

Suster itu mengecek layar komputer didepannya kemudian menggeleng lemah. "Sudah di ruang operasi sejak 2 jam yang yang lalu. Ikuti jalur yang hijau lalu belok kanan arah jam 11."

Rianna mengangguk lemah. Bersama mamanya, ia berlari menuju ruang operasi yang dimaksud tersebut.

Rianna tidak pernah menyukai lorong rumah sakit, dan hari ini, entah kenapa ia punya firasat buruk tentang hal itu.

"Al!" Seseorang memanggilnya dari arah depan, Luke. Lelaki itu mengisyaratkannya agar ia berjalan mendekat. Sudah ada Michael, Luke dan Ashton disitu. Diseberangnya, papa dan mama Calum berdiri gelisah. Sedangkan Calum, lelaki itu duduk diam dalam balutan hoodie berwarna hitam. Sadar akan kehadiran Rianna dan mamanya, Joy-mama Calum-berjalan sambil tiba-tiba memeluk dirinya.

Rianna balas memeluk dalam diam. Ia tahu ada doa yang terus dipanjatkan oleh mama Calum untuk putri pertamanya itu. Setelah melepas pelukan itu, wanita cantik itu berbisik pelan, "Makasih Ca." Rianna mengangguk kemudian Tante Joy beralih memeluk mamanya.

Keadaan hening. Rianna berjalan mendekat dan kemudian duduk disamping Calum. Menggenggam tangannya erat.

Lampu kamar operasi masih menyala, menandakan operasi masih berlangsung. Tak lama dari itu, setelah sekitar 30 menit selanjutnya, pintu kamar operasi terbuka lebar.

Semua yang duduk berdiri, termasuk Calum dan Rianna. Tak ada tanda-tanda harapan di raut wajah dokter itu, sedangkan anggota timnya menunduk lemah meski masker wajah sudah diturunkan.

"Bapak, Ibu, kami mohon maaf. Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkehendak lain. Kami turut berduka cita." Dokter itu menatap wajah orang tua Calum dengan pengertian.

Anggukan dari seluruh anggota tim operasi itu mengawali tangis yang kemudian pecah di lorong itu. Mama Calum tak henti-hentinya berteriak. Pilu dan sesak Rianna mendengarnya.

Calum tak berekspresi. Tidak ada tanda-tanda emosi di wajahnya dan jiwanya seperti ikut mati saat itu juga. Teman-temannya memeluknya singkat yang hanya ia balas dengan anggukan sebelum berjalan menjauhi semuanya.

Rianna ikut berdiri, mengikuti Calum pergi. Kemanapun ia pergi, Rianna tahu ia akan selalu ikut.

Lelaki itu berjalan kearah atap rumah sakit. "Ngapain lo ngikutin gue?" tanyanya membalikkan badan.

Rianna memilih untuk berdiri sejajar dengannya. "Kakak udah pergi, Ca." ucapnya pelan. "Kakak udah pergi dan gue enggak ikut, Ca," lanjutnya lagi.

Rianna menahan air matanya untuk tidak jatuh dengan sekuat tenaga. "Coba lo enggak pergi sama dia hari ini, coba dia pulang lebih cepet hari ini, coba hujan enggak turun hari ini, coba dia enggak ketemu lo hari ini!!" Teriaknya dengan suara pilu.

"Seharusnya kakak masih disini, Ca. Masih disini terus banggain mama dan papa. Seharusnya dia disini, Ca. Kuliah, lulus, ketemu sama orang yang dia cinta terus punya keluarga. Gue enggak bakal bisa jadi sosok kayak dia, Ca." Lelaki yang selama ini kuat dimatanya itu kini terisak.

Gelato // [cth] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang