Part 7

88 7 0
                                    

   Angga memarkir mobilnya di area parkir Roar Café. Akhirnya Angga memutuskan untuk pergi makan bersama Alya.

   Sebenarnya ia lebih ingin untuk menyusul Sinta ke rumah sakit dan melihat keadaannya. Ia merasa khawatir jika terjadi apa-apa pada Sinta.

   Tetapi ia tau, bukan pilihan bagus untuk saat ini karena Reka tengah amat murka kepada Angga. Dan akhirnya Angga memutuskan untuk melajukan mobilnya menuju Roar Café. Menemui perempuan yang belakangan ini mengisi history chatnya.

   " Angga! ". Sebuah suara memanggil nama Angga terdengar dari sisi pojok ruangan. Disana ada Alya, yang duduk manis dengan senyum menghiasi wajahnya. Angga pun menghampiri perempuan yang mengenakan blouse coklat, rok panjang putih, dan sebuah syal ungu yang menutupi kulit putih di lehernya.

   " Ga, kamu apa kabar? " tanya Alya saat Angga baru saja menghempaskan tubuhnya ke sofa di sebelah Alya.

   " Baik. Kamu sendiri gimana? ".

   " Good. Never been like this. " Alya tersenyum. " Kamu dari mana? Kayaknya capek banget. ".

   " Aku abis main basket sama Reka. ". Alya mengangguk-angguk.

   Lalu seorang pelayan menghampiri untuk menanyakan pesanan. Dan mereka terpaksa menghentikan percakapan untuk memesan terlebih dahulu.

   " Kamu deket banget ya sama Reka? ".

   " Iya, dia sahabat aku gitu. ".

   " Well, just want to know. Dia katanya punya pacar ya? Dan cantik. Emang iya? ". Napas Angga terhenti.

   Ah, Sinta. Pikiran Angga kembali melayang ke beberapa saat yang lalu. Saat dirinya terang-terangan menyakiti fisik Sinta, walau tanpa sengaja.

   " Ga? ". Alya memperhatikan Angga yang tiba-tiba saja melamun.

   " Eh, iya iya. Pacarnya cantik. Namanya Sinta. " Informasi tersebut terlontar secara spontan dari mulut Angga.

   " Cantikan mana sama aku, Ga? " Alya nampak sangat penasaran dengan jawaban Angga. Tapi Angga hanya diam. Sebenarnya ia tidak menangkap apa yang ditanyakan oleh Alya. " Kayaknya cantikan dia ya. Buktinya Reka lebih milih dia dari pada aku. " lanjut Alya dengan senyum terpaksa.

   " Kenapa? " Angga baru menyadari ada sesuatu yang aneh dari pernyataan Alya. Lebih milih Sinta dari pada Alya?.

   " Forget it. ". Alya tersenyum pahit.

   Lalu pesanan mereka pun datang. Mereka mulai menyantapnya dalam diam. Hingga saat dimana Angga tersedak minumannya. Lalu Alya panik dan memberikan sebotol air mineral, yang selalu sedia di dalam tasnya, kepada Angga. Sembari Angga meminum airnya. Alya mengelus-elus punggung Angga.

   " Kamu mau ngomong ya? " Alya bertanya. Angga mengerutkan keningnya sambil menjauhkan bibir botol dari bibirnya.

   " Maksudnya? ".

   " Iya, jadi kata mami aku, kalo ada orang yang tiba-tiba keselek pas dia lagi makan atau minum, itu tandanya dia pengen ngomong. " Alya menjelaskan dengan ekspresi datar dan kedua tangannya yang berada di pangkuan.

   " Emang iya? Tapi tadi aku nggak mau ngomong. ".

   " Ya, nggak tau juga sih. Tapi aku sering kayak gitu. Makanya aku nggak pernah ngomong kalo lagi makan atau minum ".

   " Itu sih paling cuma kebetulan aja, Al.. " Angga tersenyum karena menahan tawa melihat Alya bercerita dengan wajah polos.

   " Oh, kebetulan yaa.. " ujar Alya masih dengan ekspresi datarnya. Lalu tak lama terdengar tawa dari Angga. " Kamu kenapa? ".

   " Ekspresi kamu lucu banget! " ujar Angga disela-sela tawanya.
   Lalu Alya pun ikut tertawa. Mendengar tawa Alya, Angga tiba-tiba mengingat seseorang yang selalu ia dengar tawanya.

   " Mendingan lo sekarang jauhin dia. Daripada lo sakitin terus gini. Biarin dia bahagia sama gue, Ga! ".

   Tiba-tiba perkataan Reka --saat ia tengah membopong Sinta seorang diri tadi, terngiang.

   Dari dulu gue juga selalu pengen jauhin dia, Ka. Tapi gue nggak bisa. Ujarnya dalam hati sambil menghela napas panjang. Lalu ia melirik Alya yang sedang menyesap green tea nya. Alya cantik juga.

   " Dia itu baik, dewasa, walau kadang emang manja, easy going, terus dia juga bener-bener perhatian, penyayang kalo sama orang yang dia sayangin. " Reka bertutur suatu hari, di perjalanan menuju lapangan basket kompleks. Angga mendengarkan dengan seksama.
   " Tau dari mana lo kalo dia segitunya sama orang yang dia sayangin? Merasa disayang ya? " ujar Angga, meledek. Reka hanya tertawa dan meninju pelan lengan sahabatnya itu

Angga menatap Alya semakin intens. Ia bagai mendapat jawaban dari semua permasalahannya selama ini, setelah mengingat-ingat bahwa Alya-lah yang pertama kali membuatnya tertawa lagi setelah hubungannya dengan Sinta merenggang.

   Mungkin Alya is the answer for the all things gue selama ini. Gue percaya semua yang dibilang Reka. Of course, he is my bestie. Angga mengaduk-aduk makanannya sambil tetap memperhatikan Alya yang sibuk dengan spaghettinya. Tampak sangat asik.
   Mungkin ini juga cara gue buat bisa move on dari Sinta dan dia bisa bahagia sama Reka. He is good person for Sinta. Not me.

   " Ga? Kamu nggak makan? " Alya menyadarkan Angga dari lamunannya. Ia telah menyelesaikan makannya. Dan kini tengah duduk menghadap Angga dengan satu tangannya yang memegang bahu Angga.

   " Eh, Al. Eng..aku udah kenyang. " tiba-tiba saja Angga menjadi gugup. Alya melepaskan tangannya dari bahu Angga.

   " Yaudah nggak usah diabisin. Jangan dipaksa. " Alya tersenyum.

   This is it.

   Angga memegang kedua tangan Alya. Alya sedikit terkejut. Angga menghela napas panjang. Berusaha menghilangkan gugupnya.

Sedangkan Alya, merasa senang, bingung, dan gugup. Ia merasakan pertanda baik menghampirinya.

   " Al, would you be my... " ucapan Angga terpotong karena handphonenya berbunyi menandakan ada telepon.

Damn. Alya memaki di dalam hati mendengar permintaan Angga --yang sepertinya memintanya untuk menjadi pacarnya-- terpotong karena telepon masuk.

'Dara'. Begitulah nama yang tertera di layar handphonenya. Angga menekan tombol hijau dan menggesernya.

   " Iya, Ra? ".
   Lalu terdengar nada panik di seberang sana.

   " Hah!? ".
   Napas Angga terhenti. Ia menggenggam handphonenya dengan keras.

Sintaaaa!?.

House Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang