Part 6

76 9 0
                                    

1 hari sebelumnya

   Tinn tinn..
Suara klakson motor terdengar. Sinta yang sedang berada di kamarnya langsung mengetahui siapa pemilik motor yang sedang berada di depan rumahnya itu.

   Dengan cepat ia berjalan keluar kamar dan membukakan pintu untuk si pengendara, yaitu Reka. Reka memasukkan motornya ke garasi rumah Sinta. Bersamaan dengan mesin motornya yang mati, bunda Sinta keluar dari dalam rumah.

   " Eh nak Reka. Kirain siapa. " ujar bunda Sinta sambil tersenyum. Yang dibalas dengan anggukan dan senyuman dari Reka.

   " Emang Bunda nungguin siapa sih? " tanya Sinta, jahil.

   " Ya nungguin ayah lah. Kan Bunda juga pengen diapelin sama ayah. Emang kamu doang.. " ujar bunda Sinta, tidak kalah jahil, sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Lalu disambut tawa dari Sinta dan Reka.

   Reka membuka helm dan jaketnya, lalu menyodorkan sebuah bungkusan berlambangkan huruf BB kepada Sinta.

   " Aaaa Bunnie Burger! " Sinta berteriak saking senangnya.

  Bunnie Burger adalah restoran cepat saji favorit Sinta.
Sinta langsung membawanya masuk ke kamar, diikuti Reka di belakangnya.

   Mereka memang sudah terbiasa berada di kamar Sinta berdua. Bundanya mengizinkan, dengan syarat pintu kamar Sinta tidak boleh di tutup agar bunda Sinta bisa mengawasi mereka.

   Rumah Sinta memang tidak terlalu besar dan tidak tingkat seperti rumah Reka ataupun Angga. Cukup luas dan nyaman untuk keluarga kecil mereka.
Tetapi rumah Sinta memiliki pekarangan yang lebih luas dari kamarnya. Pekarangan itu berupa taman bunga yang merupakan ide dari Sinta.

   Reka melihat banyak kertas berserakan di karpet kamar Sinta. Dan tak lain tak bukan kertas-kertas itu berisi gambar desain buatan Sinta.

   " Lagi sibuk, Ta? " tanya Reka sambil duduk di atas kasur Sinta.

   " Iya. Lagi ada tugas desain kamar anak. My favorite! " jawabnya sambil sibuk membuka bungkus burger dan kentang goreng.

   Oh kamar anak. Pantes rajin. Ujar Reka dalam hati.

   Sinta adalah mahasiswi jurusan desain interior yang dimasukinya dengan -sedikit- terpaksa. Sebenarnya ia lebih menyukai seni lukis. Tetapi saat ia mengutarakannya kepada ayah bundanya, hal itu kurang disetujui. Karena menurut mereka peluang kerjanya sedikit. Akhirnya ia pun masuk jurusan desain interior karena menurut orang tuanya, jurusan tersebut memiliki peluang kerja yang bagus.

   Terkadang Sinta menjalani kehidupannya sebagai mahasiswi desain interior dengan malas. Lalu kembali kepada kanvas dan kuas lukisnya yang selalu ia simpan di belakang lemari.

Tapi jika ada hal berbau dengan desain kamar dan ruang tv, ia menjadi excited. Ia sendiri bingung ada apa dengan kegiatan mendesain ruangan lain, sampai-sampai ia tidak menyukainya.

   " Apa kabar lukisan kamu, Ta? ".

   " Baik kok. " jawab Sinta. " Perhatian banget sama lukisan aku. Jadi cemburu. " Sinta memberikan raut wajah cemberut yang setelah itu diiringi senyumnya karena tak sanggup berakting. Reka tertawa lalu mencubit pipi Sinta.

   Sinta mengeluarkan dua buah gelas plastik berisi coke dari dalam plastik. Lalu ia memberikan satu gelas kepada Reka.

   " Nih, Ka! " Sinta menjulurkan tangannya yang memegang gelas coke. Reka pun mengambilnya. Tapi sebelum ia menggenggamnya dengan erat, Sinta sudah melepaskannya terlebih dahulu. Jadilah, gelas yang berisi coke itu jatuh dan membasahi karpet dan kertas-kertas Sinta. Reka langsung spontan mengangkat gelas itu.

   " Yah, Ta, maafin aku yaa! " Reka menyingkirkan gelas plastik itu dan merasa tidak enak karena telah merusak tugas Sinta.
   Sedangkan Sinta berjalan menuju lemarinya dan mencari sesuatu untuk mengelap basah yang ada di karpet.
Lalu ia mengeluarkan sebuah slayer berwarna tosca dengan huruf AA di tengahnya. Ia pun mulai membersihkan, dibantu oleh Reka.

   " Nggak apa-apa kok, Ka. Ini cuma coret-coretan, udah aku aplikasiin ke laptop. " Sinta tersenyum. Reka pun merasa lega. Lalu..

   " Itu slayer dari siapa, Ta? Angga ya? ".

   " Iya. " napas Reka terhenti. " Tapi ini bukan dari dia. Ini punya dia. Belum sempet aku balikin. " lanjut Sinta, menjelaskan.

   " Kamu masih nyimpen rasa sama dia, Ta? " entah kenapa tiba-tiba kalimat itu yang terlontar dari mulut Reka. Dan kini Sinta yang dibuat berhenti napasnya.

   " Nggak kok. Tapi masih sedih kita nggak bisa jadi sahabat. " ujar Sinta sambil tersenyum pahit. " Masih penasaran sih, kenapa dia jadi kayak gitu.. ".

   " Aku percaya kok, di hati kecilnya dia masih mau jadi sahabat kamu. Cuma dia belum sadar aja. " Sinta mendengarkan dengan seksama.
   " Bagaimanapun juga, dia sahabat aku. Dia satu-satunya orang yang aku percaya buat jagain kamu kalo aku pergi. ".

   " Pfft.. Emang kamu mau pergi kemana, Ka? " Sinta menahan tawanya.

   " Kamu nggak tau? Aku kan mau pergi ke Hawaii. " Reka menunjukan senyum sombongnya, yang dibalas dengan lemparan bantal oleh Sinta.

- - - - - - -

   Reka mengambil gitar yang sedari tadi hanya bersandar di pojok kamar Sinta. Lalu membawanya ke atas kasur dan mulai memainkannya.

   Sinta yang sedang memainkan laptopnya menoleh ke arah Reka. “ Asikk.. Ada hiburan hehe.. “ Sinta tersenyum senang. Reka membalasnya sambil masih sibuk mencari-cari nada yang pas. Lalu Sinta kembali sibuk dengan laptopnya.

   “ Eh, Ta. Liat sini dong. Aku mau nyanyiin satu lagu buat kamu. “ ujar Reka. Dan Sinta pun menutup laptopnya dan bergabung dengan Reka duduk di atas kasur.

Dan mulailah terdengar alunan merdu dari petikan gitar oleh tangan lihai Reka.

   “ ... Aku hanya pergi ‘tuk sementara.. Bukan ‘tuk meninggalkanmu selamanya. Aku pasti kan kembali pada dirimu. Tapi kau jangan nakal.. Aku pasti kembali.. “.

   Sinta tersenyum mendengar nyanyian Reka. Antara tersenyum senang dan geli.

   Sinta bertepuk tangan kala Reka menyelesaikan lagunya. Lalu menatap Reka lama sambil tersenyum. Bahagia deh aku, Ka, punya pacar kayak kamu.

   “ Kenapa, Ta? “ tanya Reka bingung.

   “ Tau deh aku yang mau pergi ke Hawaii. Iya aku nggak bakal nakal kok. Janji deh! “ Sinta membentuk huruf V dengan dua jarinya sambil tersenyum menahan tawa. Lalu terdengar tawa dari Reka.

   Reka mengusap-usap kepala Sinta. “ Jangan nakal ya, pacar! “ ia mencium dahi Sinta membuat pipi si pemilik dahi bersemu merah karena senang bercampur malu.

Lalu mereka bertatapan lama sambil melempar senyum.

- - - - - - -

   Sinta menutup gerbang rumahnya sambil memandang motor Reka yang melaju menjauhi rumahnya. Sinta menutup matanya dan menaruh beban kepalanya di puncak pagar.

   Ini yang paling aku nggak suka. Bohong sama perasaan sendiri itu nggak enak. Apalagi bohongin kamu soal perasaan. Maafin aku, Ka.

House Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang