Part 5

76 9 0
                                    

Hari sabtu siang. Angga berjalan keluar gedung fakultas teknik bersama dengan Reka. Tiba-tiba saja handphonenya berbunyi menandakan ada chat.

Alya Kinanti :
> Ga, nanti sore ada kelas gak? Temenin aku makan yuk

" Siapa Ga? " tanya Reka, kepo. Angga diam. Sibuk mengetik balasan untuk Alya.

Angga Agustaf :
> Dimana?

" Helo? " Reka melambai-lambaikan tangannya di depan Angga.

" Ah, ini Alya. ".

" Asik deh, kayaknya kali ini bakal berhasil nih sama Alya. Jadi lo udah sering chatan? " tanya Reka, yang hanya dijawab anggukan oleh Angga. " Terus sekarang mau jalan? " tanya Reka lagi dengan wajah meledek.

" Cuma makan. " Reka mengangguk-angguk.

Alya Kinanti :
> Di RC aja deh. Biar kamunya deket. Jam 3 aku tunggu

Angga Agustaf :
> Ok

• • •

Sinta mengikat tali sepatu runningnya. Kali ini ia akan ikut Reka dan Angga bermain basket.

Terkadang Sinta memang ikut bermain basket. Hal itu membuat permainan basket mereka lebih di dominasi oleh teriakan Sinta kala bolanya terlepas saat di dribbling olehnya.

" Ka, bolanya kasih ke aku deh! " Sinta menjulurkan tangannya kepada Reka.

" Kamu harus rebut, Ta! " ujar Reka sambil tetap mendribling. Sinta cemberut.

" Nggak usah main rebut-rebutan ah. Kan nggak enak kalo di rebut. ".

Dasar cewek baper. Angga tersenyum miring saat dirinya tidak berhadapan dengan Sinta ataupun Reka.

Lalu terdengar suara dering telepon.
" Aku angkat telepon dulu ya, Ta! " ujar Reka pada Sinta. Lalu ia berlari menuju bangku penonton untuk menerima telepon.

Kini tinggal Sinta dan Angga yang berada di lapangan basket. Angga masih asik men-dribbling bolanya di depan ring basket. Sedangkan Sinta berdiri di tengah lapangan. Menunggu gilirannya mencoba untuk men-dribbling. Sampai akhirnya ia tidak sabar.

" Ga, aku mau coba dribbling juga dong! " Sinta membuka suara. Dan yang terdengar hanya suara bola basket yang memantul di lapangan. Angga terdiam.
Sengaja. Ia masih ingin mendengar suara perempuan itu meminta sesuatu kepadanya. Ia rindu.

" Anggo!? " Sinta setengah berteriak. Mendengar panggilan masa lalunya itu keluar dari mulut Sinta, Angga reflek melempar bola basket di tangannya ke belakang. Bermaksud agar memantul ke lapangan sampai berada di dekat Sinta.

Tapi takdir berkata lain. Bola yang dilempar oleh Angga tepat mengenai dahi Sinta. Lalu terdengar teriakan 'Aduh' dari mulut Sinta sebelum akhirnya terdengar pantulan bola yang jatuh.

Angga dan Reka menoleh bersamaan saat Sinta akhirnya pingsan dan terjatuh. Kepalanya terbentur lapangan cukup keras.

Melihat itu, Reka melempar handphonenya ke sembarang tempat lalu berlari kencang menuju tempat Sinta berbaring. Angga juga berada di sana.

" Ga, lo apain dia hah!? ".

" Sumpah demi apapun. Gue nggak sengaja, Ka! ".

" Kalo lo benci sama Sinta, jangan kayak gini caranya! Emang bikin hati dia sakit belum cukup hah!? Belum cukup?!! ". Reka menarik kerah baju Angga dengan keras.

" Ka, lo nggak ngerti apa-apa. Yang tadi itu nggak sengaja. Gue nggak sejahat itu. " Angga memasang muka memelas. Ia mencoba meyakinkan sahabatnya yang tingkat emosinya sudah memuncak. Ia tau itu percuma, tapi harus dilakukan.

" Diem lo anjing!! " Reka mengangkat kepala Sinta, lalu merasakan sesuatu yang basah di belakang kepalanya. Darah. Tangan Reka menyentuh darah Sinta yang mengucur dari kepalanya.

" Ka, ayo kita bawa Sinta kerumah sakit! ". Angga bersiap mengangkat tubuh Sinta tapi Reka malah mendorong tubuh Angga dengan kencang.

" Sekarang lo nggak usah ikut campur! Gue bisa bawa Sinta ke rumah sakit sendiri! " Reka mengangkat tubuh Sinta dan membawanya menuju mobil dan melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat.

Meninggalkan Angga yang termenung sendirian di lapangan basket.

Angga berjalan gontai menuju bangku penonton. Ia duduk disana dan menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia memikirkan yang terjadi pada Sinta karena dirinya.

Lagi-lagi gara-gara aku, Ta. Ujarnya dalam hati.

- - - - - - -

Reka menggendong Sinta masuk ke dalam mobil, menidurkannya di kursi penumpang. Ia tidak peduli bagaimana darah yang mengucur dari kepala Sinta akan mengotori jok mobilnya. Dengan cepat ia duduk di belakang kemudi dan melajukan mobilnya.

Jalur utama menuju rumah sakit sangat macet. Membuat Reka panik setengah mati. Ia membunyikan klakson berkali-kali walau ia tau itu tidak ada gunanya.

" Tolong bertahan, Ta. Demi aku! ". Ujarnya sambil melihat keadaan Sinta di jok belakang.

Sudah 5 menit. Rasanya lama sekali bagi Reka. Menyakitkan melihat perempuan yang disayanginya tidak sadar diri di belakang sana.

Akhirnya ia memutuskan untuk berbelok melalui jalan pintas yang hanya dapat dilalui oleh satu mobil dan satu motor secara bersamaan.

Reka melajukan mobilnya dengan kencang, karena kebetulan jalanan sedang sepi.

Hingga saat ia tiba di sebuah belokan tajam, yang mengharuskan pengendara membunyikan klakson sebelum melajukan kendaraannya.

" Aaaaaaaa!! ".

- - - - - - -

Masih pendek juga ternyata yaa

Diusahakan bikin yang panjangan kok. Tapi emang pengen akhir partnya dibikin penasaran

Jadi maaf atas ketidak-puasannya 😂

House Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang