Part 23

31 3 0
                                    

Happy Reading!



Angga menghentikan mobilnya di depan sebuah florist, ia membeli sebuah bouquet yang berisi berbagai macam bunga. Setelahnya ia langsung melaju menuju rumah Sinta.

Ia menatap jam tangannya, masih pukul 9 pagi. Angga datang jauh lebih pagi dari yang dijanjikannya kepada Sinta. Dan ia memilih untuk tidak memberi kabar dulu bahwa ia akan datang lebih pagi.

Angga menatap kemacetan di depannya. Jakarta memang tidak pernah lepas dari kemacetan yang melanda sehari-harinya. Rasanya bukan Jakarta kalau tidak macet.

Apa di London macet juga?

Ah, ia jadi teringat kembali percakapan dengan Papanya semalam. Ia sungguh kaget dengan ide gila -begitulah menurutnya- yang terlontar dari mulut laki-laki yang selalu diidolakannya dari kecil itu.

Iya, dia sangat mengidolakan sikap berwibawa, bertanggung jawab, dan kerja keras Papanya itu. Dan tentu saja sikap-sikap itu yang membawa beliau mencapai kesuksesannya dan bisa membesarkan Angga dengan kehidupan 'serba enak' seperti sekarang.

Terlebih lagi, semenjak Tante Anne, istri dari Om Randi, sekaligus mama dari Angga meninggal dunia saat 3 hari sebelum Angga mengikuti Ujian Nasional SMP, Om Randi merasa ia harus bekerja lebih keras lagi agar dapat memenuhi segala keinginan Angga yang menurutnya dapat mengusir kesedihan akibat ditinggal oleh Mamanya. Termasuk mendaftarkannya di sekolah swasta bergengsi.

Padahal sesungguhnya hal-hal itu tidak dapat mengusir segala bentuk kesedihan Angga. Ia sangat terpukul karena kehilangan sosok lembut, penyayang, perhatian, seperti Tante Anne. Mamanya itu adalah seorang designer yang cukup terkemuka. Ia memiliki butik yang tersebar di Jakarta, Jogja, Semarang, dan salah satu butiknya ada di kota fashion, Paris.

Setelah istrinya meninggal dunia akibat serangan jantung, Om Randi sangat sibuk mengelola bisnis propertinya dan meng-handle butik milik almarhumah istrinya. Tapi setelah 3.5 bulan, butik-butik itu resmi ditutup.

Dan kini, setelah 2 bulan berada Singapura untuk mengunjungi rekan bisnis dan memantau bisnisnya di sana, tiba-tiba saja Om Randi ingin Angga mengikuti langkahnya. Padahal sebelumnya Om Randi membebaskan Angga untuk menentukan apa yang ingin ia ambil di kuliah S1-nya dan tidak pernah memaksa Angga untuk bekerja bersamanya.

" Jadi mau Papa apa? " tanya Angga.

" Udah jelas Angga, Papa mau kamu gabung di perusahaan Papa. Papa mau kamu belajar bisnis, tapi Papa enggak mau kamu lepasin kuliah arsitektur kamu. Karena bagaimanapun juga itu adalah ilmu. Ilmu itu pasti bermanfaat. " jelas Om Randi.

" Terus? "

" Papa mau kamu selesain dulu kuliah arsitektur kamu di sini. Lalu kamu bisa lanjut ambil master bisnis di London. "

" London? "

" Iya Angga.. jadi rencana Papa... " Om Randi duduk di atas ranjang Angga.

" Tunggu tunggu.. Papa bikin rencana buat Aku tapi enggak diskusiin sama Aku dulu? So selfish! " Angga bersandar di pintu yang menyambungkan kamarnya dengan balkon dan menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir.

" Justru sekarang mau Papa diskusikan sama kamu. Sini Angga, duduk dulu, " Om Randi menepuk-nepuk sisi ranjang di sebelahnya.

Angga menggeleng, " just keep going. "

Om Randi menghela napas panjang sebelum melanjutkan pembicaraannya, " seperti yang sudah Papa katakan kepada kamu, Angga. Papa sudah tidak lagi muda. Papa enggak mungkin selamanya ada di dunia ini. Cepat atau lambat, Papa butuh seseorang yang bisa melanjutkan perjuangan Papa, meneruskan hasil kerja keras Papa selama hidup, " ujar Om Randi, mencoba menjelaskan.

House Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang