Part 8

78 7 0
                                    

Baru update lagi nih.

Selamat membaca!

●●●●

   Angga berlari di koridor rumah sakit. Napasnya memburu bagai penjahat yang dikejar polisi. Di belakangnya, Alya mengikuti dengan berlari kewalahan. Ia juga merasa panik setelah mengetahui Reka dan pacarnya kecelakaan.

   Bagai menemukan emas, Angga sangat bahagia matanya menangkap sosok Dara yang tengah duduk cemas. Ia menghampiri Dara. Gadis itu pun sedikit kaget.

   " Ra, Sinta sama Reka kenapa? " Angga duduk di sebelah Dara sambil mengatur napasnya.

   " Dua jam yang lalu, gue tiba-tiba di telpon sama pihak rumah sakit dan dikasih tau kalo Sinta kecelakaan. Dan gue panik, Ga. Gue tadi lagi ngampus, tapi gue langsung izin dan kesini. Tapi pas sampe disini, Sinta sama Reka masih di UGD. Jadi gue belum liat kondisi mereka. " Dara bertutur.

   " Kenapa lo yang ditelpon pihak rumah sakit? Kenapa nggak bunda atau ayahnya? " tanya Angga, penasaran. Napasnya sudah lebih baik sekarang.

   " Iya, jadi mereka nemuin nomor gue dari hp-nya Sinta yang nggak di locked. Dan Sinta kan nggak pernah kasih nama nomor-nomor di situ. Jadi mereka hubungin nomor yang terakhir kali nelpon ke hp itu. Ya gue semalem emang telponan sama Sinta. " Dara kembali menjelaskan.

   " Tapi gue udah kasih tau bunda sama ayahnya Sinta kok. Tinggal lo aja teleponin ortunya Reka. " Angga pun mengangguk-angguk mengerti dan langsung menghubungi orang tua Reka, yang sangat terkejut sampai menangis mengetahui berita tersebut. Sampai-sampai Angga harus menenangkan.

Lalu tak lama Alya datang dengan napas yang tersengal-sengal.

   " Siapa, ya? " Dara menunjukkan raut wajah bingungnya. Angga pun sadar bahwa mereka belum saling kenal.

   " Oh iya.. Dara, kenalin ini Alya. " Alya tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada Dara. Dara pun menyambutnya.

   " Hai! Gue Dara! ".

   " Hai! Aku Alya. Aku sahabatnya Reka. " Alya menunjukkan sederet giginya yang rapi.

   Lalu tiba-tiba seorang suster menghampiri mereka, mengatakan bahwa Sinta dan Reka sudah selesai dalam pemeriksaan dan berhubung mereka hanya bertiga, mereka semua dipersilakan masuk ke ruang UGD.

   Saat mereka masuk, disana berdiri seorang lelaki bertubuh tegap yang usianya sekitar di atas 40, rapi dengan jas putihnya sembari mengalungkan stetoskop. Ia adalah dokter yang telah menangani Sinta dan Reka. Ia berdiri di antara ranjang Sinta dan Reka.

   Dan saat mereka masuk juga, terlihatlah pemandangan Sinta dan Reka yang terbaring tak sadarkan diri dengan banyak perban di sana sini. Pemandangan yang sangat memilukan. Terlebih lagi untuk Angga, saat ia melihat perban di kepala Sinta, napasnya tertahan. Ia mengutuk dirinya sendiri akan apa yang terjadi pada Sinta.

   " Jadi gini, nak Sinta dan nak Reka mengalami kecelakaan parah. Dilihat dari CCTV di mobil nak Reka, ia panik saat menyetir. Panik akan kondisi nak Sinta yang sepertinya sedang ada luka di kepalanya.. " Angga menghembuskan napas dengan kasar.

   " Lalu nak Reka mengendarai dengan kecepatan tinggi dan menabrak mobil pick up di tikungan tajam. Cukup parah berhubung pada saat itu kecepatannya tinggi. Sehingga cukup parah juga kondisi mereka. Beberapa bagian patah, ada luka jahit yang cukup banyak. Bahkan terjadi pendarahan. " dokter Farhan --begitulah nama di name tag nya, melihat Sinta dan Reka bergantian. Sama seperti yang dilakukan Angga.

   Sedangkan Dara, air matanya sudah membanjiri pipinya. Begitu memilukan melihat sahabatnya yang terbaring tak berdaya, melihat bercak merah di setiap perban yang membalut bagian tubuhnya.

   Alya merangkul Dara sambil mencoba menenangkan. Ia sendiri sangat sedih melihat Reka. Begitu sakit. Beberapa tetes air mata jatuh ke pipinya tapi langsung diseka dengan tangannya. Tak ingin sampai ada yang melihatnya menangis. Lagipula, ia sudah berjanji pada Reka untuk tidak menjadi perempuan cengeng. Ia harus tegar.

   " Tolong disampaikan kepada keluarganya ya nak Angga. Nanti jika sudah datang, kami akan meminta persetujuan untuk memindahkan pasien ke ruang rawat. " dokter Farhan mengakhiri penjelasannya dan keluar ruangan. Diikuti Angga yang memilih untuk menunggu kedatangan keluarga dari Sinta dan Reka di luar.

   Angga menyalakan handphonenya. Membuka galeri dan membuka salah satu foto. Foto saat kelulusan SMA di halaman sebuah gedung pertemuan di Jakarta. Di sebelah kiri Reka tersenyum memperlihatkan giginya, tampak sangat santai. Sedangkan di kanan Angga berdiri tegang dengan senyum dingin.

   Dan di belakang, seorang gadis dengan kebaya merah dan kain, sedang dalam posisi melompat dan dalam keadaan tertawa. Matanya menyipit dan mulutnya terbuka lebar. Tapi ia tetap terlihat anggun dan cantik walaupun sanggulnya sudah tak terpasang rapi pada tempatnya.

   " Maafin aku, Ta. " ujar Angga spontan. Ia menundukkan kepalanya. " Aku selalu bikin kamu sedih, kecewa, sakit. Tapi aku belum bisa ngelepas kamu. Aku selalu pengen deket kamu. Dan sekarang aku malah bikin kamu celaka, bahkan Reka ikut jadi korbannya. Reka bener, seharusnya aku biarin kamu bahagia sama dia. Aku egois banget, Ta. ". Setetes air mata jatuh ke pangkuannya. Dirinya sangat teguncang dengan apa yang terjadi kepada kedua sahabatnya.

   Angga sangat menyesal. Seharusnya ia mengejar Reka saat ia membawa Sinta ke rumah sakit, bukan malah menemui Alya dan mengajaknya jadian. Lagi-lagi tindakannya menunjukkan bahwa ia sangat egois dan bodoh.

   Angga buru-buru menyeka air matanya saat sebuah tangan menyentuh pundaknya. Setelah diyakini tak ada lagi air mata yang tersisa di pipinya, ia menegakkan tubuhnya dan mendongakkan kepalanya. Seorang gadis duduk di sebelahnya sambil tersenyum.

   " Kamu jangan sedih.. Aku akan selalu temenin kamu. " ujar Alya, lalu ia memeluk Angga. Ia menempatkan kepalanya di dada Angga. Lalu ia menumpahkan air matanya disana dalam diam.

House Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang