Chapter 21

1.4K 122 8
                                    

"Gawat!" Elang langsung berdiri dari duduknya saat terdengar bunyi bantingan gitar dari samping panggung.

Memang jika dari posisi mereka yang berada ditengah itu tidak terlalu terdengar dengan jelas.

Alvin tentu mau tidak mau mengikuti Elang yang mulai berlari, langkah Elang terhenti didepan pintu aula dimana Hani sudah melewatinya satu detik sebelummya.

"Elo kejar Hani!" Elang mendorong bahu Alvin.

Alvin melirik Elang yang sudah bersedekap di didepan Aula nampak sedang menunggu seseorang, membuat Alvin menghela nafasnya dan mulai mengejar sosok mungil yang mulai menghilang dari pandangannya.

Alvin tau ia tak akan mampu bersikap tegas pada Zandar karena mereka adalah sabahat sedari kecil, jadi pilihan tepat bagi Elang jika menyuruhnya untuk pergi menenangkan Hani dan bukannya menghadang Zandar.

.

.

.....

Lari Zandar saat ia mengejar Hani terhenti dengan paksa ketika melihat Elang yang sudah berdiri didepan pintu Aula dengan ekspresi datar. Gelengan lambat pemuda itu membuat sesuatu didalam dada Zandar bergemuruh dipenuhi oleh amarah dan penyesalan.

Amarah karena tidak bisa mengikuti Hani.

Dan penyesalan karena apa yang ia lakukan terhadap gadis itu.

Zandar membuang mukanya dengan kesal. Dengan langkah cepat ia mendorong Elang agar menyingkir, agar membiarkannya lewat.

"Zandar!" Elang berlari dan mencekal tangan Zandar "mau kemana lo?"

"Pulang!" Zandar menghempaskan tangan Elang dan memijit pangkal hidungnya "gue titip maaf sama Hani" .

.

Zandar berjalan dengan pasrah menuju gerbang sekolahnya.

.

.

Jujur, pikiran Zandar saat ini sangatlah kacau,  disatu sisi ia ingin meminta maaf kepada Hani, dan disisi lain ia tidak ingin membuat Elang kembali murka padanya.

Pikiran Zandar terus berkecamuk hingga ia menghentikan langkahnya. Saat ia tepat berada satu meter dari depan gerbang sekolah Zandar benar - benar menghentikan langkahnya. Untuk sesat Zandar bertahan dalam diamnya, dan entah mendapat keberanian darimana,  dengan cepat pemuda itu berbalik dan berlari menuju taman belakang sekolah. Tempat dimana ada banyak pohon yang dapat menyembunyikan tangis dan kesendirian seseorang.

.......

.

"Lo kenapa?" Alvin menanyakannya pada Hani yang sedang duduk termenung dengan pandangan kosong dan tangan yang memeluk kedua lututnya.

"Han?" Alvin menyentuh bahu Hani setelah ia duduk disamping gadis itu "elo masih idup kan?" Entah kenapa hanya pertanyaan itu yang terlintas dikepalanya.

Mungkin jika Elang mendengar kalau Alvin menanyakan itu kepada Hani, pemuda itu akan mencekiknya dengan segera. Tapi sungguh! Alvin kehabisan kata - kata ketika melihat tatapan kosong Hani.

Pada akhirnya mereka berdua diselimuti keheningan dalam nyaris dua menit hingga Alvin melihat salah satu suduh bibir Hani tertarik selama sepersekian detik dan disusul airmata dari mata kiri gadis itu.

Hani menggigit bibirnya saat airmatanya mengalir semakin deras.

Gadis itu menangis dalam kesunyian yang membuat ia yang melihatnya merasa begitu terpukul akan pemandangan itu.

"Han" Alvin menyentuh bahu Hani dengan lembut. Pemuda itu tersenyum ketika pandangan mereka bertemu setelah Hani menolehkan wajahnya kearahnya "kalo elo takut bilang takut, kalo kesel bilang kesel, jangan dipendam, nanti elonya yang bakal lebih terluka, oke"

INTROVERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang