Seorang lelaki tampan berada dihadapanku, dia selalu membuatku tersenyum sekaligus menyayangiku dengan sepenuh hati. Namun aku tidak pernah menyadarinya, karena aku tidak pernah memikirkannya. Raka namanya dia adalah kakakku, walau terkadang aku tidak pernah memikirkannya atau memerhatikannya namun dia tetap menyayangiku, bahkan dia sering berdebat dengan kak Devan hanya untuk membelaku. Kak Devan juga kakakku, namun dia tidak pernah menyayangiku atau mengakuiku sebagai adiknya. Dia selalu berpikir aku penyebab kematian mama, mama telah tiada saat melahirkanku karena itu dia membenciku tapi aku sangat menyayanginya.
"Dylan, setelah ini kita pulang!"
"Iya kak"
Kami berdua keluar dari cafe tempat biasa kami bersantai. Motor sport kak Raka melaju dengan kecepatan sedang dan membawa kami menuju rumah dengan selamat.
"Ini sudah malam! Kalian dari mana?" tanya papa dari belakang kami.
"Dari..."
"Balap liar?"
"Tidak!" sahutku.
"Lalu?"
"Itu pa..." kak Raka menunjukkan giginya.
"Itu apa?"
"Kita dari cafe!" jawabku.
"Oh, jawab begitu saja susah!"
"Raka... Raka! Seharusnya suruh adikmu itu belajar atau mencari pekerjaan bukannya main!" sahut kak Devan.
"Ini malam minggu, lagi pula Dylan baru saja lulus SMA! Dia butuh bersantai sejenak!"
"Di hidupnya dia selalu bersantai! Itukah gunanya dia hidup di dunia ini setelah mama mengorbankan dirinya untuk anak itu!" teriak kak Devan.
"Hentikan! Devan!" balas kak Raka.
"Berani sekali kamu membentak kakakmu ini! Apa yang telah anak itu bisikkan padamu sehingga kamu terus saja membelanya?!!!" teriak kak Devan lagi.
"Sudah cukup!" teriak papa, mencoba menghentikan perdebatan mereka berdua.
Kak Devan menggelengkan kepala "Tidak cukup! Ini semua tidak cukup bagiku jika tidak ada mama disini!" teriaknya kemudian meninggalkan kami.
Kak Lucy yang baru datang itu menyaksikan perdebatan itu dari lantai dua. Dia terlihat sedih saat melihat raut wajahku yang juga teramat sedih.
"Tidak perlu dipikirkan!" hibur kak Raka "Maafkan kak Devan ya!" lanjutnya.
"Iya tidak apa - apa" aku tersenyum, kemudian kembali menaiki anak tangga.
Aku merenung sambil menatap langit malam yang indah itu. Sedikit demi sedikit air mataku tumpah karena aku tak lagi mampu menahannya. Ucapan kak Devan selalu membuat hatiku sakit, namun aku sudah terbiasa dengan itu.
Kak Lucy, kakak tertuaku masuk ke dalam kamarku. Dia mendapatiku menangis "Dylan, sudahlah jangan menangis!"
"Seharusnya mama memilih dirinya dari pada aku"
"Kak Devan sangat menyayangimu, tapi dia tidak ingin kamu mengetahuinya"
"Apa benar begitu?"
"Ya" kak Lucy tersenyum "Sekarang tiup lilinnya!". Kak Lucy membawakan kue tart untukku, dia ingat dengan hari ulang tahunku dan mau menyempatkan diri untuk datang menemuiku walau dia sudah memiliki suami dan tinggal bersama dirumah baru mereka.
Kak Lucy berusia 30 tahun, dia adalah anak pertama, kedua kak Devan yang berusia 25 tahun, ketiga kak Raka yang berusia 22 tahun, dan aku adalah anak bungsu, hari ini adalah hari dimana usiaku bertambah menjadi 18 tahun. Senangnya karena aku jadi lebih dewasa.
"Sekarang buat permintaan!"
Aku mengangguk "Semoga apa yang dikatakan oleh kak Lucy tentang kak Devan itu benar!" lalu aku meniup lilinnya. Air mata kak Lucy berjatuhan setelah mendengar permohonanku itu.
"Sekarang buka hadiahnya!"
"Wah! Ada hadiahnya juga!" aku segera membuka hadiah dari kak Lucy "Tiket ke London!!!" teriakku dengan semangat.
"Terima kasih kak!" kami berdua berpelukan.
"Sekarang kamu siap - siap, karena besok kita akan berangkat!"
"Kakak juga ikut?"
"Ya, tapi kakak tidak bisa menemanimu karena kakak harus mencari berita disana!" aku mengangguk, kemudian dia berpamitan untuk pulang. Saat ini dia bekerja sebagai seorang reporter dan sering berpergian ke luar negeri.
Dia tahu bahwa aku ingin sekali pergi ke London walau hanya sekedar untuk bersantai dan tentu saja berkeliling.
"Aku harus menghubungi siapa ya?" aku tidak tahu harus menghubungi siapa untuk menemaniku berkeliling di London nantinya.
"Ah, sudahlah!" tanpa berpikir panjang aku langsung berkemas.
***
"Akhirnya kita sampai juga!" kataku lega sembari melangkah keluar dari pesawat.
"Iya" tambah kak Lucy yang merasa bahagia saat melihatku bahagia "Setelah ini kamu berkeliling dengan siapa?"
"Entah"
"Sudah menghubungi teman - temanmu? Barang kali ada yang stay disini!"
"Aku akan berkeliling seorang diri!"
"Apa?!" kak Lucy menggelengkan kepala "Itu berbahaya Dy!" terlihat dari tatapan kak Lucy bahwa dia tidak menyetujui hal itu.
"Jangan khawatir! Aku kan pemberani! Lagi pula aku sudah bukan anak kecil lagi dan aku bisa menjaga diriku sendiri dengan baik. Percayalah!" kak Lucy hanya terdiam.
"Ku mohon kak! Ku mohon! Biarkan aku berkeliling seorang diri, hanya untuk hari ini saja!" pintaku yang memohon - mohon setengah mati pada kakakku yang sangat tegas ini.
"Kalau terjadi suatu hal yang buruk padamu bagaimana?" tanya kak Lucy dengan raut wajah yang masih tidak setuju.
"Jangan berharap begitu! Berdo'a saja agar aku baik - baik saja!"
"Hanya untuk hari ini saja!"
"Benarkah? Jadi kakak menyetujuinya?" tanyaku girang. Kak Lucy hanya mengangguk pelan. Sebenarnya berat baginya untuk melepaskanku begitu saja karena aku seorang gadis yang tidak biasa berkeliling seorang diri di kota sebesar ini, namun karena ucapanku meyakinkannya dia percaya bahwa aku akan menjaga diriku dengan baik.
"Baiklah, kakak langsung pergi bekerja. Barang - barang kita sudah ada di rumah Kim!"
"Siapa yang membawanya kesana? Lalu apa Kim akan kembali ke Inggris?"
"Rekan kerja kakak yang membawanya kesana. Kim tidak bisa kembali, dia masih banyak pekerjaan di Amerika, jadi dia memperbolehkan kita tinggal dirumahnya selama kita berada disini!"
"Ohh"
"Baiklah, kalau ada apa - apa. Telepon kakak ya!" pesan kak Lucy sembari masuk ke dalam taxi yang telah lama menunggunya.
"Iya. Hati - hati kak!" aku melambaikan tangan. Kini aku sudah berada di kota London, kota yang sangat ingin ku kunjungi dan akhirnya aku dapat berpijak disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In April
Teen Fiction"Dia mencintaimu. Aku ingin kamu menjaganya untukku. Buatlah dia selalu merasa bahagia. Karena hanya kamu yang dapat membuat dirinya bahagia" - Max Marin Terkadang menyakitkan, menyedihkan, membahagiakan serta mengharukan. Semua perasaan itu bercamp...