Dua Puluh Tiga

106 11 0
                                    

Aku menceritakan semuanya pada Daniel. Tapi tidak pada Max. Aku ingin marah padanya, setelah ku pikir - pikir aku tidak berhak melakukan hal itu. Mungkin Max yang akan marah padaku, jika dia tahu aku telah berbohong padanya tentang perasaanku.

Musim dingin ini, Max dan Vigo menginap di rumahku untuk beberapa pekan. Daniel tahu jika kehadirannya di rumah ini membuatku terpuruk.

"Kamu belum menemuinya?"

"Belum"

"Kamu harus segera menemuinya!"

"Bagaimana caranya? Max terus mengawasiku!"

Daniel mengetuk - ngetuk jarinya di kepala. Dia sedang berpikir keras agar aku bisa bertemu dan meminta maaf pada Axe. "Aku tahu!" pekiknya.

"Apa?"

"Malam ini kita adakan makan malam disini! Aku akan mengundang Mike, Axe, Jones, dan Ethan!"

"Tapi Axe dan Max..."

"Mereka tidak akur? Aku tahu itu, justru itu kita harus membuat mereka menjadi akur!"

"Benar sekali! Tapi bagaimana jika orang tua kita tidak mengizinkannya?"

"Pasti mereka mengizinkannya. Lagi pula, nanti malam mereka akan menjemput bibi Sienna dan paman Marcel di bandara!"

"Benar juga!" kataku girang saat mengetahuinya.

"Sebaiknya kita bersiap - siap sekarang!"

Tepat sore hari kami bersiap - siap untuk mengadakan makan malam. Ibu membantuku memasak. Max dan Vigo membantu membersihkan rumah. Sementara Daniel memberitahu Axe, Michael, Jones dan Ethan jika kami mengadakan makan malam yang sederhana.

Ayah dan ibu berangkat ke bandara untuk menjemput paman Marcel dan bibi Sienna. Ku harap mereka tidak terjebak tumpukan salju yang menutupi jalanan. Aku bisa merasakan betapa dinginnya di luar sana.

Sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah. Empat orang lelaki segera keluar dan berlari menuju teras rumahku. Mereka tampak kedinginan, padahal mantel yang mereka pakai sudah bertumpuk - tumpuk. Aku segera membukakannya dan mempersilahkan mereka masuk.

Mata Axe tertuju padaku. Dia tak mau mengalihkan pandangannya dariku. Sebenarnya aku juga ingin melakukan hal yang sama, tapi aku tidak bisa.

Daniel menyuruhku duduk di sebelah Axe. Pintar sekali, itu akan memudahkanku untuk berbicara padanya. Sedangkan Max duduk di sebelah Daniel. Makan malam pun dimulai, tapi dengan ketegangan dan kesunyian yang membuatku ingin sekali menjerit agar mereka mau berbicara satu sama lain.

"Paman Aron dan bibi Sharen terjebak salju. Mereka butuh bantuan kita Max!" ujar Vigo, pandangannya tertuju pada ponsel yang di bawanya.

"Apa mereka baik - baik saja?" tanyaku yang merasa khawatir.

"Ya. Mereka butuh bantuan kami, jadi kami harus segera menyusulnya! Ayo, Max!"

"Baiklah!"

Mereka berdua berpamitan. Kelihatannya Max sedikit khawatir meninggalkanku di sebelah Axe, namun dia harus menuruti apa yang di katakan oleh kakaknya. Max dan Vigo telah menghilang dari balik pintu. Aku merasa sedikit lega dan siap untuk meminta maaf pada Axe.

Tanpa di sangka, tangan Axe menyentuh lenganku. "Dylan, aku..."

Aku segera memeluk Axe dan tidak kunjung melepaskannya. Aku menangis dan Axe bisa merasakannya. Itu adalah air mata penyesalanku. "Maafkan aku Axe... seharusnya aku mendengarkan penjelasanmu! Aku sangat menyesal!" kataku.

"Maafkan aku juga, Dylan!" kata Axe sembari mengelus rambutku.

Aku melepaskan pelukanku, kemudian memandang wajah Axe yang tidak berubah sama sekali. "Aku merindukanmu! Saat aku bertemu kamu, aku ingin sekali memelukmu!" kataku.

"Kenapa kamu tidak melakukannya?"

"Aku tidak bisa..."

"Aku tahu. Kamu mencintainya sekarang, dan kamu juga telah menjadi miliknya!"

"Apa kamu masih mencintaiku?"

Axe menunduk sedih. Matanya berkaca - kaca. "Ya, aku selalu mencintaimu! Tapi jangan terpengaruh oleh perkataanku. Kini kamu bersama Max, dan kalian tampak bahagia sekali! Aku tidak akan mengganggu kalian. Aku ingin kalian mempertahankannya!"

"Kamu salah Axe! Aku tidak bahagia bersamanya dan selama kami berpacaran, aku sama sekali tidak mencintainya!"

"Kamu harus bisa mencintainya, dia sangat mencintaimu, Dylan!"

"Aku tahu itu. Tapi aku mencintaimu!"

"Max sangat mencintaimu begitu pula diriku, cinta kami padamu sama. Jadi tidak ada bedanya, Dylan! Cobalah mencintainya seperti kamu mencintaiku. Aku percaya bahwa Max bisa melindungi dan menjagamu!"

"Max adalah Max. Dan kamu adalah kamu. Aku tahu cinta kalian padaku sama. Tapi bukan berarti kalian sama - sama membuatku merasa nyaman. Aku hanya merasa nyaman bersamamu Axe, bukan Max!" jelasku.

"Tapi kamu harus mempertahankan hubunganmu dengannya!"

Aku menarik napas dalam - dalam. "Baiklah, akan kucoba!" aku melirik Michael yang tersenyum saat melihat kami berbincang - bincang. Aku kembali memandang Axe. "Kenapa kamu minum?"

"Dari mana kamu tahu?" Axe balik bertanya.

"Dia ada disana saat kamu tidur!" sahut Michael.

"Jadi kamu berada disana?"

"Ya. Seharusnya kamu tidak melakukan itu!"

"Saat itu hatiku terasa sakit dan aku juga sangat bingung! Pikiranku begitu kacau!"

"Kamu harus berjanji padaku bahwa kamu tidak akan melakukannya lagi apapun yang terjadi!"

"Aku berjanji!" kami berdua tersenyum.

Malam yang terindah bersama teman - temanku dan juga Axe. Hubunganku dengannya semakin membaik. Walau dia menyuruhku untuk mempertahankan hubunganku dengan Max, aku akan tetap mencintainya dan cintaku padanya tidak akan pernah luntur dalam kondisi apapun.

Pada saat kami bercanda ria. Max dan Vigo datang, Max terlihat murung saat melihat diriku dan Axe semakin dekat. Tapi aku berusaha untuk mempersatukan mereka semua karena itu memang menjadi salah satu tujuanku.

Love In AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang