Aku melambaikan tangan pada mereka semua. Dan berterima kasih untuk malam yang indah ini. Tak lama orang tuaku dan orang tua Max tiba. Lalu Max menghampiri serta memeluk kedua orang tuanya.
"Bibi Sharen, bolehkah aku mengajak Dylan, jalan - jalan?" mataku membelalak. Ini sudah larut malam. Aku tidak setuju dengan itu tapi ibu berkata lain.
"Tentu, tapi kamu harus menjaganya!"
"Tentu saja bibi!" Max langsung menggandeng tanganku dan mengajakku berjalan.
Dia membawaku ke Tower Bridge yang sudah sepi. Karena ini sudah larut malam. Toko - toko pun mulai tutup begitu juga dengan restaurant - restaurant besar di London.
"Kenapa kamu mengajakku kemari? Ini sudah malam Max!"
"Aku ingin kamu berkata jujur, sejujur jujurnya!" aku terdiam. Menunggu apa yang akan di katakan Max selanjutnya. "Aku bisa melihatnya, selama kita menjalani hubungan ini kamu sama sekali tidak terlihat bahagia. Ada apa?" tanyanya.
Aku mengalihkan pandanganku ke sungai Thames yang membeku di bawah Tower Bridge. Aku berpikir tentang apa yang akan ku katakan padanya.
"Jawablah, Dylan! Aku ingin mengetahuinya!" pinta Max.
"Maafkan aku... maafkan aku!" air mataku hendak keluar, tapi kutahan sekuat tenaga dan selama aku bisa. "Karena aku tidak mencintaimu..." lanjutku. Aku tidak mampu membendung air mata ini dan akhirnya menangis. "Aku mencintai Axe. Selama ini aku telah berbohong padamu tentang perasaanku yang sesungguhnya. Tapi ketahuilah, aku telah berusaha untuk mencintaimu... pada kenyataannya aku tetap tidak bisa Max! Aku tidak bisa melakukannya!" jelasku dengan pipi yang sangat basah karena air mata.
Max sama sekali tidak memandangku. Aku tahu mungkin hatinya telah tersakiti. Aku menutup mulut begitu juga dengan Max, itu berlangsung selama beberapa detik dan pada akhirnya Max membuka mulut.
"Kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?"
"Karena aku masih mencoba dan selalu mencoba untuk mencintaimu seperti kamu mencintaiku. Aku tidak mau menyakiti perasaanmu juga... tapi aku tahu aku telah melakukannya. Maafkan aku Max!"
"Jadi kamu terpaksa?" kami saling berpandangan. Sesekali aku melirik tangan Max yang tidak bergerak sama sekali. Aku berharap tangan itu segera menghapus air mataku.
"Jika kamu mencintai Axe, kamu bisa mengatakannya padaku. Aku tidak akan marah selama itu akan membuatmu bahagia!" lanjutnya. Dia terlihat sangat pasrah dan juga lemas. "Jika kamu mau mengakhiri hubungan ini, tidak apa. Tapi jangan menganggapku tidak peduli padamu dan mengakhiri hubungan ini begitu saja, aku hanya ingin melihatmu bahagia walau bersama orang lain... aku akan selalu mencintaimu Dylan!" lanjutnya.
"Kamu orang yang sangat baik Max. Andai hatiku memilihmu, aku tidak akan mengakhiri hubungan ini!" aku tersenyum, Max membalasnya.
"Kejarlah Axe! Kalian saling mencintai bukan?"
"Tapi Axe akan marah jika mendengar hubungan kita berakhir, karena dia menyuruhku untuk mencoba mempertahankannya!"
"Tenang saja, dia tidak akan marah! Aku akan berbicara padanya!" kami tersenyum dan segera berpelukan. Mungkin untuk yang terakhir kalinya, setelah hubungan kami berakhir.
Aku berterima kasih pada Max. Berterima kasih untuk semuanya. Dia lelaki yang sangat baik. Sebenarnya aku sedikit sulit untuk melepaskannya. Tapi inilah yang terbaik, setelah aku tahu jika cinta memang tidak bisa di paksakan, karena cinta berhak memilih seseorang yang telah di pilihnya.
"Baiklah, ayo kita pulang!" ajaknya dengan memberi isyarat agar aku segera melangkah mendahuluinya.
Aku menarik napas dalam - dalam. Lalu mengangguk disertai senyuman tipis. Baru beberapa langkah, aku berbalik untuk memastikan bila Max mengikutiku. Namun dia tetap pada posisinya. Dia diam mematung, aku tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini. Dan aku tidak lagi bisa berbuat apa - apa. Jadi, aku kembali berjalan dengan lamban.
Pikiranku dipenuhi oleh kenangan - kenangan indah saat bersama Max. Aku tidak yakin, apakah semua itu dapat terulang kembali. Aku tidak bisa tenang. Merasa merindukannya disaat dia tidak lagi berada di sisiku. Tapi aku tahu, aku tidak berhak untuk melakukannya.
Aku memberhentikan langkah. Kini aku benar - benar berharap bahwa Max sedang mengikutiku. Aku berbalik perlahan, dan benar saja Max berada beberapa meter di belakangku. Aku tersenyum padanya dan dia hanya membalasnya tanpa berkata apapun.
"Max, kenapa tidak berjalan disampingku saja? Mungkin aku membutuhkanmu" kalimat itu, begitu saja keluar dari bibirku. Aku merasa menyesal. Baiklah, aku menerima risikonya. Dia boleh menyebutku sebagai gadis tidak tahu diri yang telah mempermainkan cintanya lalu dia boleh juga membenciku untuk selamanya.
Dia tersenyum lebar, aku tahu ia berusaha menyembunyikan rasa sedihnya di hadapanku. "Aku selalu berada disampingmu, Dylan" katanya. Namun tetap pada tempatnya. Tidak melangkah atau bergerak sedikit pun.
Aku berpaling darinya, menatap jalanan yang kosong. Angin berhembus di sekitarku. Menyejukkan pikiran dan jiwaku. Aku bisa merasakan air mata menyengat di kedua mataku, namun aku bertekad untuk tidak menangis. Aku berusaha menjadi tangguh seperti Max. Jika dia tidak menangis, aku pun pasti bisa melakukannya. Namun aku bukanlah Max. Butiran air mata membasahi pipiku. Aku sengaja tidak menyekanya karena semua air mata memiliki penyebabnya. Aku mengeluarkannya malam ini, sebab aku sadar, aku telah menyakiti hatinya. Maafkan aku, Max.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In April
Teen Fiction"Dia mencintaimu. Aku ingin kamu menjaganya untukku. Buatlah dia selalu merasa bahagia. Karena hanya kamu yang dapat membuat dirinya bahagia" - Max Marin Terkadang menyakitkan, menyedihkan, membahagiakan serta mengharukan. Semua perasaan itu bercamp...