Tiga

277 12 0
                                    

Aku tidak mengerti. Tiba – tiba Axe ada di depan rumahku saat kak Lucy masih belum berangkat. Entah apa yang dia lakukan disana. Saat aku menghampirinya, dia ingin mengajakku sarapan pagi bersamanya di sebuah restaurant. Ini aneh, kenapa tiba – tiba begini. Dia juga tidak membuat janji. Tetapi aku menyetujuinya karena kak Lucy memaksaku agar pergi bersamanya. Jadi apa boleh buat.

Saat kami sampai di tempat parkir. Aku melihat seorang gadis yang usianya kisaran 20 tahun sama seperti Axe. Rambutnya panjang bergelombang sedangkan kulitnya berwarna cokelat, walau begitu dia terlihat manis.

Axe menoleh kepadanya lalu melambaikan tangan, gadis itu membalasnya dengan semangat. Dengan senang hati Axe mengenalkannya padaku. "Dylan ini Maria dan Maria ini Dylan!" dia memperkenalkan diri kami masing – masing.

"Hai!" sapanya. Aku hanya tersenyum kecil. Bukan berarti aku tidak menyukainya hanya saja Axe tidak mengatakan, jika kita akan sarapan "Bertiga".

"Kamu pesan apa?" tanya Axe padaku. "Kali ini aku akan mentraktirmu"

"Bagaimana denganku?" sahut Maria.

"Tentu saja, kamu kan pernah menjadi temanku" canda Axe. Maria tampak kesal lalu mencubit lengan Axe. "Hentikan, hentikan itu Maria!" kata Axe sembari tertawa.

"Baiklah" Maria berhenti melakukannya dengan melipat kedua tangannya di atas meja.

Aku menggigit bibir bawahku. Mereka berdua terlihat sangat dekat. Gurauannya nyaris mencampakkanku.

"Kamu dan Fahri... apa ada hubungan di antara kalian?" tanya Axe tiba – tiba. "Hubungan yang spesial" lanjutnya. Pandangannya tertuju padaku begitu pula dengan Maria.

"Tidak. Kami hanya bersahabat, tidak lebih dari itu"

"Oh, ku kira kalian berpacaran"

"Menjadi seorang sahabat bukan berarti harus menjadi kekasihnya" aku berusaha menahan rasa sakit akan pertanyaannya itu.

"Aha!" pekik Maria. "Aku setuju denganmu!" Maria bersemangat menanggapi hal itu.

"Jika kamu menjadi kekasihku, bagaimana?" tanya Axe pada Maria.

Aku dan Fahri bersahabat. Tetapi kami berdua tidak pernah sebahagia itu. Di hidupku pula aku tidak pernah sebahagia Axe atau tertawa luas seperti Maria. Terkadang aku ingin sekali merenggut kebahagiaan seseorang, tetapi aku tahu hal itu takkan pernah membuatku bahagia. Kebahagiaan akan datang dalam hidup seseorang tapi tidak sekarang. Aku paham.

"Kenapa diam saja?" Axe membangunkanku dari lamunan. Aku tak menjawabnya, malah memandang sekeliling ruangan.

"Dylan!" tambah Maria. Aku menatap mereka berdua.

"Tidak ada apa – apa" aku tersenyum.

"Oh, begitu..." jawab mereka berdua serempak.

Selama sarapan berlangsung. Aku hanya menunduk, memainkan kedua tanganku agar tidak merasa bosan sebab Axe benar – benar mencampakkanku. Dia bercanda bersama gadis itu, sama sekali tidak menoleh atau mengajakku berbicara. Aku sudah tidak tahan lagi dan ingin pergi tetapi aku mencoba untuk bertahan dan bersikap baik agar tidak mengecewakan Axe yang telah mengajakku kemari. Aku harus menghargainya.

"Setelah ini kita..."

"Pulang!" sahutku dengan cepat, Maria melongo. Aku sudah tidak tahan.

"Apa? Kenapa?" tanya Axe.

"Kurasa ini sudah cukup. Aku harus kembali ke rumah!" jawabku sedikit membentak. Itu adalah awal dari amarahku. Akan tetapi sesuatu berbisik padaku. Kendalikan dirimu, Dylan.

Love In AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang