Dua Puluh Enam

113 10 0
                                    

Salju mulai mencair, mengakibatkan jalanan menjadi licin. Aku berkemudi dengan sangat hati – hati di malam yang sepi dan sunyi ini. Ponselku bordering, aku merogo ponsel yang ada di dalam tasku. Saat aku hendak mengangkat telepon dari ibu, aku dikejutkan dengan seorang kakek yang sedang menyeberang. Aku mengerem mendadak kemudian menarik napas. Beruntung aku tidak menabraknya. Dan kembali berkemudi, aku tidak menghiraukan ponselku yang terpelanting entah kemana. Perasaanku tidak enak, aku ingin segera sampai di rumah.

"Aaaaaaa!!!" teriakku saat sebuah truk menabrak mobilku hingga terseret beberapa meter dari tempat kejadian dan menabrak pohon. Tubuhku terjepit. Aku bisa merasakan sakitnya tubuhku ini untuk yang terakhir.

Tiiiiiittttttttt... bunyi pacu jantung. Dokter dan para asistennya berusaha untuk menyelamatkan gadis itu. Tapi tidak bisa. Tidak ada detak jantung yang bisa mereka rasakan. Gadis itu telah tewas. Semua keluarga serta teman – temannya menangis di koridor. Mereka merasa sangat kehilangan.

Aku berada di kegelapan. Aku tidak tahu tempat apa ini. Ku lihat ada cahaya di ujung sana. Aku segera berlari dan keluar dari kegelapan. Seorang wanita bergaun putih tersenyum padaku, dia terlihat sangat cantik seperti malaikat. Bunga – bunga yang indah dan bermekaran pun mengelilinginya.

Aku bertanya pada wanita tersebut. "Apa kamu seorang malaikat?" wanita itu tidak menjawab, dia hanya tersenyum. Ku pandangi dia dalam – dalam. Aku rasa aku mengenalnya. Tiba – tiba air mataku menetes. "Mama?" wanita itu mengangguk. Aku segera memeluknya. Aku mengenal wajahnya, dia adalah mamaku yang selama ini tidak pernah ku kenal. Tapi saat aku mendengar tentangnya, aku merasa seperti mengenalnya.

"Aku merindukan mama..." kataku yang masih menangis.

"Mama juga merindukanmu sayang"

"Jangan tinggalkan aku..."

"Mama tidak akan pernah meninggalkanmu, mama akan selalu bersamamu... disini!" katanya sembari memegang dadaku. "Dihati" lanjutnya.

"Aku ingin bersama mama"

Mama tersenyum. Senyumannya bagaikan malaikat yang turun dari surga. "Tempatmu bukan disini Dylan... kamu harus kembali ke duniamu"

"Tapi aku ingin bersama mama"

"Dengarkan mama Dylan... kamu akan bahagia di duniamu karena kamu memiliki teman – teman yang baik, orang tua yang baik, dan juga kakak yang baik... mereka semua menyayangimu dan tidak mau kehilanganmu jadi kamu harus kembali..." suaranya sangat lembut, rasanya aku ingin selalu mendengarkannya. "Mama sayang padamu... kamu berhak mendapatkan yang terbaik..." lanjutnya. Lalu sesuatu menarikku menjauh dari mama. Ada dua laki – laki di sebelah mama. Itu adalah kak Devan dan kak Raka. Mereka tersenyum padaku. Dan muncul seorang pria di belakang mereka. Itu papa...

"Kak Devan! Kak Raka!" teriakku, mereka melambaikan tangan padaku. "Papa! Mama... aku menyayangi kalian semua!" teriakku dengan air mata yang turun dengan deras layaknya air terjun.

Kini aku berada di rumah sakit. Aku bingung, kenapa aku disini. Saat aku berjalan di koridor. Aku melihat keluargaku dan teman – temanku menangis. Aku segera menghampiri mereka.

"Kenapa kalian menangis?" tanyaku. Mereka tak menghiraukannya. Aku melihat Axe yang bersandar di dinding dengan mata sembab dan juga terlihat marah.

"Axe, ada apa?" tanyaku. Axe tidak menjawab. Dia terus menangis dan menghantamkan tinju berkali – kali di dinding.

Aku berpaling pada Daniel yang juga menangis. Tubuhnya lemas dan terlihat sangat berantakan. Begitu pula dengan kedua orang tuaku dan bibi Sienna, dia menangis tersedu – sedu sementara paman Marcel berusaha menenangkannya.

"Daniel!" panggilku. "Kenapa kalian semua menangis?" Daniel hanya terdiam sama seperti Axe. Sebenarnya apa yang telah terjadi sehingga mereka menangis seperti ini?

Selama tiga jam aku duduk di sebelah Axe yang tiada hentinya menangis. Aku sudah bertanya sekaligus memanggil mereka. Namun tak seorang pun yang menjawabnya. Apa mereka telah melupakanku? Apa mereka berpura – pura tidak mengetahui kehadiranku? Aku ingin tahu tapi juga putus asa.

Akhirnya sesuatu mengalihkanku. Suara isak tangis yang berasal dari ujung koridor ini. Aku menyipitkan mata, berharap mengenal lelaki tersebut yang hanya terlihat jari jemarinya tergeletak di lantai dingin ini.

Itu seperti Max. Aku berjalan perlahan untuk memastikannya. Ternyata benar, dia adalah Max yang sedang menangis.

"Max!" panggilku lembut. "Kenapa kamu menangis?" pandangannya sama sekali tidak berubah. Tetap menunduk dan membiarkan air matanya jatuh membeku di lantai.

"Max!" teriakku sembari menggoyangkan tubuhnya. Namun apa yang terjadi, lenganku menembus tubuhnya. Mataku terbeliak. Terkejut bukan main. "Apa yang terjadi?" aku menyentuh tangan Max dan hal itu terulang kembali. Aku mundur seribu langkah. Apa Max adalah hantu? Tanyaku dalam hati.

"Tidak mungkin!" teriakku. Aku terkejut saat mengingat kejadian yang menimpaku. Terakhir kali, aku merasakan sakit yang luar biasa di tubuhku. "Aku tewas?!"

Aku berlari secepat kilat, menuju Axe dan menyentuh tangannya. Tanganku menembus. Aku menggeleng tidak percaya. "Ini tidak mungkin!" aku mengamati pintu yang ada di hadapannya. Nama yang tertera di pintu itu bertuliskan "Kamar Jenazah"

Aku segera masuk ke dalam kamar jenazah. Di sana terdapat para perawat yang sedang memberi nama jenazah baru tersebut. Aku terkejut bukan main saat mereka menuliskan nama Dylan Kitsch, segera ku buka kain yang menutupi jenazahnya. Ternyata benar, itu adalah wajahku yang terdapat banyak luka. Jadi aku adalah roh yang pergi meninggalkan raganya, serta melayang – layang ke alam gaib dan bertemu orang – orang yang telah tiada.

"Dia bernapas!" kata salah seorang perawat.

"Tidak mungkin"

"Lihatlah! Aku bisa merasakan denyut nadi dan juga jantungnya!"

"Kamu benar! Ini adalah sebuah keajaiban!"

Love In AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang