Sembilan Belas

106 10 0
                                    

Max mencoba menghiburku. Namun tetap saja aku tidak menggubrisnya. Aku benar – benar sakit hati dan ingin kembali ke Indonesia. Hidup sebatang kara disana, mungkin dapat membuat diriku merasa lebih baik. Tetapi tidak ada yang setuju dengan itu.

Kenapa Axe tega melakukan hal ini. Mengapa dia mengkhianatiku, jika dia tidak mencintaiku dia bisa mengatakan itu, tidak perlu bersembunyi dan pergi bersama gadis itu. Pantas saja dia tidak pernah menghubungiku, dia juga tidak memberitahuku bahwa dia pergi ke Italia. Hatiku sungguh sakit. Permainan macam apa ini? Aku sungguh kecewa denganmu, Axe.

Air mata ini tidak bisa berhenti. Sakitnya hati ini tak bisa diobati. Ibu menyuruhku untuk melupakannya tapi aku juga tidak bisa.

Hari demi hari telah ku jalani dengan rasa sakit yang diberikan oleh Axe. Tetapi aku sudah merasa lebih baik karena Max. Jika dia tidak ada untukku, mungkin aku sudah menjadi gila.

Aku mengemasi pakaianku. Pagi – pagi sekali kami akan kembali ke Inggris. Ini adalah malam terakhirku bersama keluarga Max. Dan aku ingin menikmati malam terakhirku di atas atap. Memandangi bintang – bintang bersinar di langit yang gelap. Aku bahagia saat melihatnya. Karena mereka selalu bersama. Terkadang aku merasa iri.

Max menghampiriku sembari membawa gitar miliknya. Dia tersenyum saat melihatku merasa lebih baik. "Kamu sudah bisa melupakannya?"

"Tentu"

"Syukurlah. Aku senang mendengarnya" Max tersenyum sembari memandangku dengan serius.

Aku meraba pipinya dan bisa merasakan jantungnya berdetak kencang. "Lukamu hampir sembuh" saat aku sadar tanganku telah terdampar di pipinya, aku segera menjauhkan tanganku darinya. "Maafkan aku"

"Tidak apa Dylan. Benarkah?"

"Apa?"

"Tentang lukaku ini!" Max menunjuk luka yang berada di pipinya.

"Ya, sudah hampir tidak terlihat"

"Padahal aku rasa luka ini tidak bisa sembuh" Max tertawa. Kemudian dia terdiam dan kembali menatapku dengan serius. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu"

"Apa?"

"Tapi kamu harus berjanji padaku... kamu tidak akan marah, menjauhiku, atau membenciku. Berjanjilah!"

Hatiku berdetak dengan kencang. Aku ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh Max. Apakah tentang perasaan itu. Perasaan yang diberitahu oleh Daniel saat itu. Kalau benar begitu, aku sudah mengetahuinya. "Iya. Aku berjanji!"

"Sebenarnya... aku... aku..." Max berbicara terbata – bata. "Aku mencintaimu. Aku ingin memilikimu Dylan!"

"Aku tahu" kataku dengan santai. Max mengerutkan dahi. "Aku tahu kalau kamu mencintaiku. Daniel yang memberitahuku! Aku senang kamu mengatakan perasaanmu dengan jujur sekaligus berani!"

"Ja... jadi kamu tahu?"

"Ya"

"Lalu, apa kamu mau menjadi..."

"Max, aku tahu apa yang ingin kamu katakan. Aku menyukai kejujuran dan juga keberanian"

"Jadi?"

"Jadi..."

"Jawablah Dylan! Jika kamu tahu apa yang akan ku katakan tadi!"

"Apa kamu mau menjadi kekasihku? Begitukah?"

"Tepat sekali"

Aku mengangguk. Max sangat senang saat mengetahuinya, dan aku segera memperingatinya kalau kami berada di atap. "Terima kasih" Max memelukku. Lalu dia bernyanyi sebuah lagu untukku sembari menatap langit malam terakhirku di Italia.

"I see trees of green,

Red roses too

I see them bloom for me and you

And I think to myself

What a wonderful world

...

The colors of the rainbow

So pretty in the sky

Are also on the faces

Of people going by

I see friends shaking hands

Saying how do you do

They're really saying... I love you..."

Kami menikmati malam tersebut sembari bercanda. Aku bisa melihat kebahagiaan Max. Jujur saja, aku tak pernah melihatnya merasa sangat bahagia seperti ini.

Daniel yang melihat kami berdua langsung tersenyum lebar. Dia bahagia saat melihatku bahagia. Hanya kebahagiaan dari seorang adik yang bisa dia rasakan saat ini.

***

Keluarga kami sangat bahagia saat mengetahui hubungan kami. Mereka sangat mendukung. Terutama bibi Sienna yang memaksa Max untuk memberikanku sebuah cincin sebagai tanda bahwa kami adalah sepasang kekasih.

Di pagi hari, keluarga Max mengantarkan kami ke bandara. Mereka sangat senang dengan kehadiran kami dan sekarang saatnya kami untuk pulang. Sedari tadi Max menggenggam erat tanganku. Sepertinya dia tidak mau melepaskannya.

"Kita harus pergi sekarang!" ajak ayah.

Aku mendengarnya namun pandanganku tetap pada Max, yang menjadi kekasihku saat ini. "Aku harus pergi!"

"Aku tahu"

"Kenapa kamu tidak melepaskan tanganku?"

"Aku takut kehilanganmu"

"Kita akan selalu bersama Max!"

Max tersenyum. "Setelah kamu sampai, beritahu aku!"

"Pasti!" kami berpelukan. Kemudian aku masuk ke dalam pesawat dan melihat mata Max berkaca – kaca. Namun aku tidak bisa menghampirinya atau menghapus air matanya bila seandainya itu menjadi sebuah tangisan.

Hatiku memilih Max. Aku pun setuju. Tapi entahlah. Sebenarnya aku masih memikirkan Axe. Namanya terus menggelayut di kepala membuatku tidak bisa melupakannya begitu saja.

Pesawat terbang. Membawaku kembali ke Inggris. Aku terus merenung, memikirkan nasibku ini. Aku terpaksa berpacaran dengan Max. Karena aku ingin melupakan Axe yang telah menyakiti hatiku. Tapi aku akan berusaha untuk mempertahankan hubunganku dengan Max ini. Aku akan berusaha mencintainya seperti aku mencintai Axe. Max sangat berani, karena itu aku percaya bahwa dia dapat melindungi dan menjagaku dengan baik.

Jalanan di London nampak sepi saat kami menyusurinya. Tentu saja, ini sudah larut malam. Rasanya aku ingin sekali jatuh di tanah, karena merasa sangat lelah. Begitu sampai di rumah, segera ku lemparkan tubuhku ke ranjang yang empuk dan halus, lalu terlelap dalam hitungan detik.

Love In AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang