Sebuah keajaiban, namun aku tidak pernah bangun dari tidurku atau bisa di sebut koma. Sampai musim dingin berakhir, aku masih tidak membuka mata. Aku di rawat di rumah sakit. Axe tetap setia menungguku bangun. Dia memegang tanganku dan terus memandangiku.
"You've been deep in a coma... but I stood right here..." air matanya mulai menetes dan membasahi tanganku. Dia menyanyikan sebuah lagu untukku.
"When you thought there was no one... I was still right here...
You were scared, but I told ya... Open up your eyes
Never saw me as someone who could love you well
Had to show you the hard way... Only time will tell
Revelations and heartaches make you realize
I was always in front of you... So wake up..." dia terus memandangiku, Axe sangat berharap aku membuka mata dan mengatakan sesuatu. Namun dia menyerah, aku tidak membuka mata sama sekali.
Jika aku menjadi dia mungkin aku akan pergi meninggalkannya karena apa yang kulakukan sudah tidak berarti lagi. Namun tidak dengan Axe, walau dia telah menyerah, dia tetap duduk di sampingku dan menunggu diriku untuk membuka mata. Tak peduli seberapa lama hal itu akan berlangsung.
"Aku menyukai lagu itu..." sahutku. Mata Axe membelalak seketika, dia terlihat sangat senang aku telah sadar dan bangun dari koma. Dia segera memelukku erat - erat.
"Jangan pernah meninggalkanku..." katanya. Aku tersenyum saat merasakan punggungku di basahi oleh air mata. Aku tidak percaya bahwa Axe akan menangis seperti ini. "Aku tahu kamu akan membuka matamu kembali, karena itu aku tetap disini menunggumu... aku sangat merindukanmu..." lanjutnya. Dia tetap memelukku dan memberikanku kehangatan untuk yang pertama kalinya setelah aku tertidur, entah berapa lamanya.
"Aku juga merindukanmu. Sangat rindu..."
Setelah puas memelukku, dia lantas berteriak untuk memanggil semuanya agar datang dan melihat diriku yang sudah terbangun.
"Dylan, jangan tinggalkan aku!" kata Daniel yang menangis karena bahagia. Aku hanya tersenyum melihat pernyataannya.
"Kami semua senang, kamu telah sadar!" kata ibu sembari mengecupku berkali - kali.
"Kamu ingin apa? Akan aku belikan!" tawar Daniel dengan senyumnya yang di liputi butiran air mata. Sesekali ia menyeka dengan punggung tangannya di hadapanku.
"Aku ingin..." aku sedang berpikir - pikir.
"Apa?"
"Aku ingin pizza, panekuk, ice cream, snack, salad, waffle, pasta dan..."
"Tunggu... kenapa banyak sekali? Aku tidak punya uang untuk membeli semua itu!" gerutu Daniel tiba - tiba, raut wajahnya berubah dengan cepat.
"Tidak apa, belikan saja Daniel!" perintah ayah.
"Tidak! Tidak! Aku hanya bercanda sebab... kalian terus bertanya padaku tentang apa yang ku inginkan. Aku hanya ingin kalian semua disini bersamaku..." mereka semua tertawa. Aku pun ikut tertawa.
Mereka terlihat sangat senang saat aku terbangun dari koma. Mereka bilang, aku koma selama tiga bulan dan itu menyakitkan bagi mereka. Tapi mereka tahu penderitaanku.
Aku mulai bertanya - tanya setelah Axe berkata "Aku tahu kamu akan membuka matamu kembali, karena itu aku tetap disini menunggumu..." Apakah dia menungguku selama itu? Duduk di sampingku dan terus menangis? Jika dia menunggu tanpa adanya sebuah harapan, apa dia tetap seperti itu? Semua itu bercampur aduk dalam pikiranku, lalu terlintas sebuah kalimat yang menjawab semua pertanyaan dalam benakku. Hanya kesetiaan yang tak pernah peduli oleh waktu dan hanya peduli dengan sebuah harapan, walau tidak akan pernah tahu kapan harapan itu akan datang, dia akan terus berharap tanpa menyerah dalam sebuah penderitaan.
Puas akhirnya diriku dengan kalimat itu. Namun aku hampir melupakan kehadiran seseorang, yang kini bukan lagi milikku.
"Bolehkah aku berbicara dengan..." mataku mengarah pada Max yang sedari tadi hanya terdiam.
"Oh ya! Tentu saja!" kata Daniel. Dia tahu apa yang ku maksud. Dia lantas mengajak mereka yang ada di ruanganku untuk keluar. Membiarkanku berbicara empat mata dengan Max.
"Hai, Max!" suaraku nyaris tidak terdengar.
Max menurunkan pandangannya. "Hai!" balasnya sembari tersenyum. "Aku senang kamu kembali" lanjutnya.
"Selama aku tertidur, kamu tetap disini?" tanyaku. Max hanya tersenyum. "Saat aku pergi, kamu menangis?" Max mematung. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
"Lupakan saja tentang itu!" aku mengibaskan tangan dengan lemah dan tertawa kecil saat Max tidak juga mengakuinya.
"Max, apa kamu mencoba menghindariku?" Max menggeleng. "Ya, kamu melakukan itu setelah hubungan kita berakhir! Kenapa Max? Kamu bilang bahwa kamu akan bahagia saat melihatku bahagia. Tapi apa yang kamu lakukan itu benar - benar menyiksaku! Ku mohon jangan lakukan itu Max! Aku membutuhkanmu... aku tidak ingin kamu pergi dariku... walau kita hanya sekadar teman"
Max memelukku. "Maafkan aku Dylan... maafkan aku..." dia melepaskan pelukannya tetapi tidak menjauhkan wajahnya dariku. Bibirnya menyentuh pipiku. Aku bisa merasakan napas penyesalannya. "Aku tidak bermaksud untuk melakukannya. Ku kira itu akan mendekatkanmu pada Axe, bukannya diriku. Aku hanya ingin kamu bahagia..."
"Tapi itu tidak membuatku bahagia..."
"Aku berjanji padamu... aku tidak akan melakukannya lagi, jika itu menyiksamu..."
"Terima kasih, Max"
Max memberiku sebuah ciuman. Membuatku merasa lebih baik dari sebelumnya. Aku tidak akan pernah melupakan ciuman ini.
"Setelah ini aku akan kembali ke Italia. Aku akan merindukanmu..."
"Tapi aku akan kesepihan..." jari telunjuk Max terdampar di bibirku.
"Axe akan selalu ada untukmu, dia yang akan merawatmu hingga pulih. Dia sangat mencintai bahkan membutuhkanmu" kata Max dengan tegas. "Kamu harus percaya bila hatimu memang hanya untuknya"
Bibirku terkatup rapat. Tidak ingin berkata - kata. Hanya ingin melihat senyum terakhir Max sebelum pada akhirnya dia benar - benar meninggalkan London. Aku juga akan merindukannya seperti dia merindukanku.
Malam berbintang melegakanku. Aku senang dapat melihat langit malam yang indah seperti biasanya walau hanya dari balik jendela rumah sakit. Aku merenung, memikirkan keajaiban yang terjadi pada diriku. Ini adalah sebuah keajaiban yang tak akan pernah ku lupakan.
Selama aku tidak bersama ragaku, Tuhan mempertemukanku dengan sosok mama dan membuatku bahagia walau itu hanya sebentar. Aku bahagia telah bertemu dan memeluk mama, sampai saat ini aku masih bisa merasakan pelukannya. Ini adalah sebuah rahasia yang tidak akan ku ceritakan pada siapapun karena ini adalah rahasia Tuhan.
Rupanya renungan ini membuatku tidak menyadari akan kehadiran Axelson di sebelahku yang tengah tersenyum indah padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In April
Teen Fiction"Dia mencintaimu. Aku ingin kamu menjaganya untukku. Buatlah dia selalu merasa bahagia. Karena hanya kamu yang dapat membuat dirinya bahagia" - Max Marin Terkadang menyakitkan, menyedihkan, membahagiakan serta mengharukan. Semua perasaan itu bercamp...