Enam

178 13 0
                                    

"Jadi kamu akan pergi dengan Max?"

"Ya"

"Bagaimana dengan Axe?"

"Entahlah. Omong – omong, apa aku cocok mengenakan ini?" tanyaku yang memperlihatkan pakaianku sembari berkaca.

"You're look so beautiful like mother!" jawab kak Lucy senang.

"Thanks!" aku hanya tersenyum.

"Baiklah, kakak harus pergi! Sampai bertemu Dylan!" seperti biasa dia pergi bekerja.

Saat aku asyik berkaca, Axe meneleponku. Kini aku sangat bingung, apa yang harus aku lakukan dan mengapa dia meneleponku? Lagi pula hari ini aku akan pergi dengan Max. Ku tekan tombol merah dalam hati aku berkata "Maafkan aku Axe"

Betapa terkejutnya diriku saat mendapati Axe berada di depan rumah. Aku ingin kembali masuk ke dalam rumah namun ia terlebih dahulu mencegahku.

"Apa kamu masih marah padaku?"

"Pergilah Axe!"

"Maaf tentang tadi malam! Aku tidak bermaksud seperti itu Dylan! Aku sungguh menyesal!" Axe mengakui kesalahannya. Itulah yang namanya pemberani. Aku tetap menunjukkan raut wajahku yang kesal namun hatiku merasa senang karena dia datang kemari. "Untuk tanda permintaan maaf. Pagi ini kita sarapan bersama, kamu mau?"

"Ya" aku tersenyum, tak lama wajahku kembali datar. Mataku berkaca – kaca saat mengingat Max. Bagaimana dengannya? Bodohnya diriku ini. Kenapa aku menyetujui ajakkan Axe? Sungguh aku sangat menyesal.

***

"Dylan, aku ingin mengatakan sesuatu padamu!"

"Apa?"

"Apa kamu pikir aku ini pemberani?"

"Tentu"

Axe menghela napas dan menghembuskannya. Kemudian mulai berbicara. "Aku..." ponselku bordering membuat Axe menghentikan kalimatnya. Aku langsung menekan tombol merah, karena aku tidak tahu siapa yang meneleponku.

"Kenapa tidak diangkat?"

"Tidak penting" ponselku kembali berdering, Axe segera menyambar ponselku.

"Halo?"

"Kenapa kamu tidak mengangkat telepon dariku?"

"Ini siapa?" tanya Axe, ia beranjak dari duduknya dan menjauh dariku. Dari kejauhan Nampak Axe terlihat sangat marah, bibirnya tak berhenti mengeluarkan kata – kata. Ia menghampiriku.

"Ini!" Axe mengembalikan ponselku "Yang meneleponmu tadi itu Max! Dan pagi ini kalian berencana untuk pergi bersama ya?" aku yang awalnya tidak tahu apa – apa pun terkejut. Ternyata yang meneleponku adalah Max.

"Pergilah dengannya!" Axe meninggalkanku, aku pun berlari mengejarnya.

"Dengarkan aku Axe! Itu tidak..."

"Tidak apa?! Dengarkan aku Dylan!!!" teriaknya, aku sangat terkejut sekali. Ini kali pertamanya dia marah padaku. "Kamu tahu? Aku dan Max adalah musuh! Aku membencinya dan begitu pula sebaliknya. Dan sekarang kamu akan pergi dengannya! Aku sangat kecewa Dylan. Sangat kecewa! Aku juga mencintaimu, aku ingin mengatakannya tadi tapi... Max menghancurkannya!" Axe masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkanku begitu saja.

Aku ingin menangis, tapi aku berusaha menahannya sebab aku tidak mau dianggap cengeng. Pada akhirnya aku menangis juga. Sungguh! Aku sangat sakit hati, mengapa Axe begitu padaku? Jika dia ingin aku untuk menjauhi Max. Aku bisa melakukan hal itu untuknya...

"Dylan!" panggil Max dari dalam mobilnya, aku segera menghapus air mataku. Tapi aku tidak bisa, air mataku terus mengalir. Max yang mengetahuinya segera memelukku. "Kamu tidak apa – apa?"

"Ya" aku mencoba menghapus air mataku lagi.

"Jangan menangis!" Max membantu menghapus air mataku.

"Kamu belum sarapankan? Aku akan mengajakmu sarapan bersama teman – temanku di restaurant milik kakakku!"

***

"Jadi, ini yang namanya Dylan?" tanya salah seorang teman Max.

"Ya"

"Perkenalkan namaku Bill"

"Dan aku Fabrizio! Aku Remy! Aku Antonio! Aku Edgar!" sahut teman – temannya yang lain.

"Bagaimana dia bisa mengingatnya kalau kalian seperti ini!" Max tertawa.

"Pasti dia mengingatnya Max!" sahut Bill.

"Bill, Fabrizio, Remy, Antonio, Edgar!" kataku.

"Benarkan Max?!" Max tersipu malu.

Dengan senang hati mereka menyambut kedatanganku di restaurant Vigo. Mereka membuatku tertawa seakan mereka tahu bahwa aku menangis tadi, jadi mereka menghiburku. Benar – benar teman yang menyenangkan.

***

"Apa dia menyakitimu?" tanya Max sembari memegang kemudi mobilnya.

"Tidak"

"Lalu kenapa kamu menangis?"

"Tidak ada. Kalian saling mengenal?"

"Ya begitulah"

"Kalian bermusuhan?"

"Emm... kita sudah sampai Dylan!" Max tidak mendengarkan pertanyaanku. Di depan rumah aku melihat Daniel yang sedang menungguku.

"Daniel!" kata Max.

"Kamu mengenalnya?"

"Tentu"

"Kamu mengenal Daniel, Axe, lalu..."

"Jones, Ethan, Michael! Aku mengenal mereka semua!" sahut Max. Ini benar – benar membuatku bingung. Karena ku pikir mereka baru saja saling mengenal.

"Kenapa mereka tidak memberi tahuku?"

"Kamu mengira bahwa mereka baru saja saling mengenal?" aku mengangguk. "Akan ku ceritakan tentang itu. Tapi tidak sekarang!" Max membukakan pintu mobilnya untukku, kami segera menghampiri Daniel.

"Sudah lama kamu disini?" tanyaku.

"Ya"

"Tidak bosan?"

"Tentu saja tidak! Aku hanya ingin mengatakan sesuatu!"

"Apa?"

"Kami mengundangmu untuk makan malam bersama... dirumahku tentunya!" kata Daniel. "Kamu juga Max! Datanglah!"

"Aku?" Max meyakinkan. Daniel mengangguk.

"Bantu aku untuk menjemput Dylan!"

"Tentu"

Aku hanya terdiam, aku kembali memikirkan seseorang. Aku mencoba mengingat ucapannya tadi. Jadi, Axe juga mencintaiku. Namun kenapa hatiku tidak senang, aku biasa saja saat mengingat ucapannya, kenapa begini. Seharusnya aku senang telah mengutarakan perasaanku padanya dan senang mendengar bahwa dia juga mencintaiku. Sebenarnya ada apa ini? Aku sungguh bingung dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa ini karena kehadiran sosok Max? Aku melihat mata abu – abu itu melirikku sesekali sedangkan bibirnya berbicara dengan orang lain.

Love In AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang