Dua Puluh

159 11 0
                                    

Seorang lelaki memencet bel rumahku. Aku mengenalnya. Tapi aku mencoba bersembunyi. Bukannya aku tidak mau menemuinya melainkan aku tidak tahu apa yang harus ku katakan bila kami berhadapan nanti.

Ibu dan ayah pergi ke rumah temannya. Sedangkan Daniel menemui Jones. Aku bersembunyi di balik pintu sembari memejamkan mata. Berharap semoga dia segera pergi.

Tanpa disangka Daniel datang dan berbicara dengan Fahri. Kini aku sangat bingung dan melangkahkan kaki menuju kamar. Aku merasakan kehadiran Daniel. Dia berdiri di depan pintu kamarku. Aku memejamkan mata. Apa yang akan dikatakan Daniel tentang Fahri yang tiba – tiba datang.

"Fahri!" kata Daniel. Aku memeluk bantalku erat – erat. "Kenapa kamu tidak menemuinya?" tanya Daniel. Aku hanya terdiam diantara ranjangku. "Dylan?!" panggil Daniel. "Jawablah! Kenapa kamu tidak menemuinya?!" lanjutnya dengan nada tinggi.

"Baiklah!" akhirnya aku membuka mulut. "Aku tidak mau menemuinya... kamu tahu mengapa?" Daniel hanya terdiam, menungguku untuk menjelaskan semuanya.

"Tiba – tiba saja aku merasa takut menemuinya dan aku bingung apa yang harus aku katakan padanya!" jelasku dengan nada pelan. Tubuhku langsung terasa lemas.

"Temui dia!" perintah Daniel.

"Tapi..."

"Temui saja, tidak perlu takut. Jika ada yang perlu di jelaskan, jelaskan saja!"

Dengan berat hati aku berjalan menuju ruang tamu. Aku ingin memberhentikan langkah ini, tapi tidak bisa. Tubuhku gemetaran. Keringat mulai membasahi dahiku.

"Dylan?" panggil Fahri saat aku hadir di hadapannya. "Jadi, selama aku kembali ke Indonesia... kamu dan lelaki yang bernama Max..." Fahri membiarkan pertanyaannya menggantung.

Aku menarik napas dalam – dalam. Fahri berhak mengetahui yang sebenarnya. "Aku dan Max berpacaran? Kamu pasti sudah tahu mengenai itu"

Fahri hanya mengangkat kedua alis matanya. Dia mengamati cincin perak yang melingkar di jari manisku. "Itu pemberian Max?" tanyanya. Bola matanya berputar tak mengamati benda yang di tanyakannya.

"Ya"

"Kalian bertunangan?"

"Umurku masih 18 Fahri! Tidak mungkin itu terjadi lagi pula aku belum siap!"

"Lalu?"

"Dia hanya ingin memberiku cincin ini. Tidak ada kata – kata yang dia lontarkan!" jelasku singkat.

"Apa kalian sudah lama berpacaran?"

"Belum lama. Dua minggu yang lalu"

Fahri menatapku dengan serius. "Kamu baru mengenalnya dan setelah itu kamu percaya begitu saja padanya?" tanya Fahri dengan nada tinggi. Aku hanya menunduk sedih. Sebab aku merasa sangat bersalah. Fahri mengeluarkan kotak kecil dari sakunya, kemudian memberikannya padaku. "Kamu tahu, kenapa aku kembali ke Indonesia?" aku menggelengkan kepala. "Ibuku meninggal, sebelum dia meninggal. Dia memberikannya padaku, dan menyuruhku untuk menikahimu kalau kamu siap..." jelas Fahri dengan wajah polos. "Tapi itu tidak mungkin. Simpan saja itu, sebagai kenang – kenangan dariku!" Fahri menarik napas sembari melirik cincin perak pemberian Max itu. "Semoga kalian bahagia!" tukasnya.

"Fahri... aku tidak tahu apa maksudnya ini!"

"Aku berharap hubungan kita lebih dari seorang sahabat... aku menyukaimu semenjak duduk di sekolah dasar. Tapi jika kamu berbahagia dengannya itu tak masalah buatku. Yang terpenting aku bisa melihatmu bahagia!" Fahri mundur seribu langkah dariku.

Aku tak bisa berbuat apa – apa saat mengetahui isi kotak tersebut. Sebuah cincin. Kotak kecil itu mulai di basahi oleh air mata. Aku merasa bersalah. Dia sahabatku dan dia mencintaiku. Aku juga sangat mempercayainya. Tapi aku memilih seseorang yang baru saja aku kenal.

Love In AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang