Aku bangun pagi – pagi sekali. Dan menunggu kehadiran keluargaku di dekat pintu. Seharusnya mereka sudah sampai. Tapi kenapa aku tidak melihat mereka dirumah ini, ku lihat sepatu kak Lucy pun belum menghilang tandanya dia masih berada dirumah. Aku membuka ponselku namun tidak ada pesan sama sekali.
Suara tangis terdengar dari kamar kak Lucy. Aku penasaran ada apa dengannya. Aku melangkahkan kaki dengan perlahan menuju kamar kak Lucy, matanya sembab, wajahnya pun merah. Aku menghampirinya kemudian memegang kedua tangannya, ia segera memelukku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa kak Lucy menangis.
"Ada apa kak?"
Dia tetap menangis. Lalu mencoba menenangkan diri dan mulai bicara. "Pe... pesawat... yang di... di... tumpangi kak Devan, kak Raka dan papa..." kak Lucy kembali menangis.
"Ada apa dengan pesawat mereka?!" aku mulai cemas.
"Jatuh!"
Mataku membelalak. Aku tidak percaya dengan apa yang diucapkan kak Lucy. "Tidak mungkin kak! Tidak mungkin!"
Kak Lucy menghidupkan televisi dan memberitahuku berita tersebut. Ada nama Andy Berk disana, itu adalah nama papa, Raka Devolta dan Devan Agasta. Di atasnya terdapat tulisan "Tewas" hatiku berhenti berdetak. Air mataku keluar dengan deras.
***
Sudah dua hari aku mengunci diri di kamar. Ribuan tisu telah ku habiskan. Aku seperti orang gila yang terus menangis di dalam kamar. Aku mencubit pipiku berkali – kali agar aku terbangun dari mimpi ini, tapi pada kenyataannya ini bukan mimpi. Aku terus memandang pesan terakhir dari kak Raka, ini sungguh tidak adil! Kenapa Tuhan mengambil semuanya dariku termasuk orang yang sangat kucintai. Kenapa ini semua terjadi? Kenapa?!
Aku mendengar kak Lucy berbicara dengan seseorang di ruang tamu. Aku mengenal suara itu, mereka adalah paman Aron, bibi Sharen dan Daniel. Aku tidak peduli dengan kedatangan mereka.
Kak Lucy mengetuk pintu kamarku. Aku tak menggubrisnya. Tak henti – hentinya dia terus mengetuk pintu kamarku. Pada akhirnya suara ketukan yang ku dengar tidak ada lagi. Rumahku nampak sangat sunyi. Aku tidak ingin di ganggu, aku hanya ingin sendiri bersama selimut yang menemaniku di ranjang yang tak keruan ini.
***
Sudah dua minggu aku tidak keluar rumah. Aku pun tak memikirkan siapapun. Teman – temanku berusaha menghubungiku namun aku mengabaikannya. Aku belum siap untuk berbicara atau menemui mereka saat ini.
Aku duduk termenung di salah satu anak tangga. Kak Lucy yang mengetahuinya segera menghampiriku sembari mengelus rambutku.
"Kamu tidak boleh terus – terusan seperti ini! Mereka pasti tidak akan bahagia bila melihatmu seperti ini!" katanya lembut.
"Tapi aku sangat menyayangi mereka kak! Aku ingin bertemu mereka!" air mataku mulai berjatuhan. Rupanya kak Lucy pun mengikutinya, aku dapat merasakan air matanya yang berjatuhan di tanganku.
"Kakak tahu! Tapi kamu tidak boleh seperti ini!" seseorang mengetuk pintu, kak Lucy pun bangkit untuk membukakannya. Itu adalah Axe, kak Lucy mempersilahkan. Langkah kakinya menuju ke arahku. Kemudian dia duduk di sebelahku. Aku hanya terdiam, pura – pura tidak tahu bila dia datang kemari.
"Hai!" sapanya mengawali pembicaraan. Aku tidak menjawabnya. "Dylan?" panggilnya. Aku tetap terdiam sebagaimana posisiku sedari tadi. "Dylan, aku tidak mau kamu seperti ini!" dia berhenti sejenak. "Dengarkan aku, kasihan kakakmu kalau kamu terus menerus seperti ini! Dia juga merasakan hal yang sama sepertimu, namun dia mencoba untuk tetap tersenyum walau di hatinya terasa sakit. Sama sepertimu!"
Aku menatap mata coklat Axe. "Tapi ini tidak adil Axe! Kenapa Tuhan memberiku hidup seperti ini?!" tanyaku.
"Tuhan selalu adil Dylan! Nanti kamu juga akan mengerti!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In April
Teen Fiction"Dia mencintaimu. Aku ingin kamu menjaganya untukku. Buatlah dia selalu merasa bahagia. Karena hanya kamu yang dapat membuat dirinya bahagia" - Max Marin Terkadang menyakitkan, menyedihkan, membahagiakan serta mengharukan. Semua perasaan itu bercamp...