Seorang lelaki yang sangat ku kenal membukakan kami pintu. Dia terlihat sangat bahagia dengan kehadiran kami dan mempersilahkan kami masuk.
"Ayah! Ibu! Mereka datang!" teriak Max. Ayah dan ibunya segera berlarian menghampiri kami.
"Apa kabar?" tanya bibi Sienna pada ibu.
"Baik!"
"Dylan!" bibi Sienna bergilir memelukku. "Max menantimu, dia bilang akan membawamu jalan - jalan saat kamu sampai!"
"Benarkah?"
"Ya. Tapi bibi rasa kamu lelah!"
"Tidak. Aku tidak lelah bibi!"
Keluarga kami pun melepas rindu dirumah Max. Aku melihat kebahagiaan mereka yang luar biasa, keluarga kami seperti saudara. Max mengajakku untuk keluar. Dan orang tua kami menyetujuinya. Aku mengajak Daniel, tetapi dia menolak karena dia merasa lelah.
Akhirnya aku dan Max pergi bersama dengan berjalan kaki. Karena aku ingin menikmati pemandangan kota Roma secara langsung, bukannya dari balik kaca mobil.
"Kamu ingin pergi kemana?" tanya Max.
"Terserah. Aku mengikutimu saja"
"Baiklah!"
Max mengajakku ke Colosseum. Betapa indahnya bangunan tersebut. Aku segera memotretnya berkali - kali dan menangkap sesuatu, orang yang ku kenal berada di foto itu bersama seorang gadis. Axe, apa benar sosok itu adalah Axe? Namun aku tidak melihat Axe di tempat itu. Ah, mungkin saja dia orang lain yang mirip dengannya.
"Dylan, aku punya kejutan untukmu!" kata Max.
"Ya dan kamu pernah mengatakan itu!" Max tertawa.
"Aku mengingatnya, dan aku akan memberikannya sekarang!"
Max mengajakku ke suatu tempat. Saat hampir dekat dengan tempat yang dimaksudnya, dia menutup mataku dengan kain hitam sembari menuntunku berjalan.
Berjalan seperti ini tidaklah mudah. Aku merasa takut bila nantinya aku akan terjatuh.
"Max, aku takut! Bagaimana jika nanti aku terjatuh?" aku meraba - raba udara.
"Jika kamu jatuh, aku akan menangkapmu. Mudahkan?" aku menghela napas. Dia tidak pernah menganggap hal ini dengan serius.
"Sebenarnya ada apa ini?" tanyaku dengan sedikit kesal.
"Kamu pasti menyukainya!" dia menyuruhku berhenti. Lalu dia mulai membuka kain yang digunakan untuk menutup mataku. "Bukalah matamu perlahan!' perintah Max.
Aku mengerjapkan mata dan mulai melihat sekeliling. Sangat terkejut sekaligus senang. Ternyata Max mengajakku ke Trevi Fountain, aku sangat menyukai tempat ini. Tapi bagaimana Max tahu? Aku memang memajang foto Trevi Fountain di dalam kamarku dan setiap hari aku memandangi foto tersebut.
"Aku pernah masuk ke dalam kamarmu. Tapi saat kamu tidak ada di rumah!" Max berkata jujur.
"Kamu masuk ke dalam kamarku? Apa yang kamu lakukan disana?"
"Tidak ada. Hanya melihat - lihat, maafkan aku Dylan!"
Masuk tanpa izin ke dalam ruangan pribadi seseorang merupakan sebuah pelanggaran. Tapi kali ini aku mencoba tenang dan berterima kasih padanya.
"Tidak apa. Terima kasih Max telah membawaku kemari!"
"Sama - sama! Oh ya, lemparkan koin ini!" Max memberiku satu koin untuk di lemparkan ke dalam kolam.
Banyak pengunjung yang melemparkan koin ke dalam kolamnya dengan cara membelakangi bangunan tersebut dan melemparkannya tepat di atas bahu, ada yang berkata bahwa jika koinnya masuk ke dalam kolam orang itu akan kembali lagi ke kota Roma. Percaya atau tidak itu terserah, aku pun mencobanya hanya sebagai hiburan.
Aku mulai merasa lelah dan mengajak Max pulang. Kami berjalan di jalan yang sepi, aku menggandeng tangan Max dengan erat. Aku sangat takut. Lagi pula, seharusnya kami sudah berjalan pulang sebelum senja.
"Apa tidak ada jalan lain?" tanyaku.
"Ada, tapi sangat jauh! Ini merupakan jalan pintas yang cepat membawa kita pulang!"
"Tapi aku takut Max!"
"Tidak perlu takut. Aku ada disini, aku akan melindungimu!" Max tersenyum padaku.
Dua orang pria menghentikan kami dari kejauhan. Kini aku benar - benar ketakutan. Kami berbalik namun di belakang kami terdapat tiga pria yang mencegah kami untuk pergi.
"Max!" mataku berkaca - kaca dan sangat ketakutan.
"Aku berjanji, aku akan melindungimu!" Max memegang tanganku erat - erat.
"Kalian mau pergi kemana?" tanya salah seorang pria.
"Itu bukan urusan kalian! Sekarang pergilah!"
"Tidak akan!"
"Apa yang kalian inginkan dari kami?"
"Gadis itu!"
Max memandangku, tangannya semakin erat menggenggamku. Aku menangis. Aku ketakutan. Aku tidak yakin bahwa Max akan melindungiku, badan mereka dua kali lebih besar darinya, mereka pun berjumlah lima tidak mungkin Max bisa melawannya.
"Max! Apa yang harus kita lakukan?" Max tidak menggubrisku. Pria itu semakin mendekat kemudian menarik tanganku. Max segera memukulnya. Dan mengajakku berlari.
Mereka tak mau kalah dengan kami yang berlari sangat kencang. Aku tidak kuat lagi. Aku ingin berhenti sejenak namun Max terus mencegahku untuk melakukannya.
"Kita harus lari Dylan! Lari sekencang - kencangnya!"
"Aku tidak kuat lagi Max!" kataku dengan napas terengah - engah.
Sebuah mobil berhenti di depan kami. Pria yang berada di dalam mobil tersebut menyuruh kami untuk masuk. Awalnya aku tidak mempercayainya namun Max menyuruhku agar percaya dengan pria tersebut.
"Kenapa kalian berlari seperti ini?"
"Pria - pria di belakang mengejar kami! Cepatlah!" perintah Max. Mobil pria yang menolong kami tersebut segera melaju dengan cepat sehingga pria - pria yang mengejar kami itu menyerah. Max memelukku dengan erat dan meminta maaf padaku.
"Tidak apa. Kamu telah melindungiku, terima kasih Max!"
"Max?" sahut pria yang menyetir itu. "Max Marin?" tanyanya.
"Bagaimana kamu tahu?" mata Max membelalak saat melihat pria yang menolong kami. "Paman Gerald!" teriak Max girang.
"Bagaimana kabarmu Max?"
"Baik"
"Lalu bagaimana dengan Vigo?"
"Dia juga baik paman!"
"Syukurlah! Apa kekasihmu baik - baik saja? Dia terlihat sangat ketakutan!" tanya paman Gerald yang melihat tubuhku gemetaran.
"Ya, dia baik - baik saja!"
Paman Gerald mengantarkan kami sampai di depan rumah. Max mempersilahkannya untuk mampir namun dia menolaknya secara halus.
"Aku harus mengembalikan mobil ini pada temanku. Sampaikan salamku pada Vigo, dan katakan kalau aku menyayanginya!"
"Ya, akan ku sampaikan padanya!"
"Oh ya Max! Sampaikan juga salamku pada ibumu dan juga ayahmu!"
"Tentu!"
Paman Gerald segera meninggalkan kami. Max dengan terharu melambaikan tangannya, walau dia bukan putra paman Gerald tapi dia memperlakukan Max seperti anaknya sendiri.
Kami mengetuk pintu rumah. Vigo yang membukanya. Dia melihat mata Max yang berkaca - kaca dan bertanya dengan rasa penasaran.
"Ada apa Max?"
"Tidak ada"
"Tadi aku melihat mobil di depan sana. Siapa itu?"
Max menunduk. Dengan sedih dia menjawab. "Itu ayahmu!"
Vigo terkejut dan langsung berlari keluar rumah. Namun mobil yang di kendarai paman Gerald telah menghilang dengan cepat, hanya terdengar suara decitan dari kejauhan. Kami berdua melihat Vigo meneteskan air mata. Mungkin dia merindukan sosok ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In April
Teen Fiction"Dia mencintaimu. Aku ingin kamu menjaganya untukku. Buatlah dia selalu merasa bahagia. Karena hanya kamu yang dapat membuat dirinya bahagia" - Max Marin Terkadang menyakitkan, menyedihkan, membahagiakan serta mengharukan. Semua perasaan itu bercamp...