Dylan Kitsch, itulah namaku saat ini. Yang awalnya aku tidak memiliki nama belakang, sekarang aku memilikinya, terkadang terdengar aneh bagiku tapi aku menyukainya.
Tinggal di rumah keluarga Kitsch selamanya, membuatku merasa bahagia. Aku tidak kesepihan lagi. Tuan dan nyonya Kitsch memperlakukanku seperti anak mereka sendiri, betapa beruntungnya Sally memiliki keluarga yang bahagia seperti ini. Daniel pun sangat menyayangiku seperti adiknya sendiri, dia sama seperti kak Raka. Aku sangat beruntung dan bahagia sekali bertemu dengan mereka.
Keluarga Kitsch menceritakan tentang kematian Sally padaku. Saat itu Sally berumur 15 tahun, dia sangat senang bermain ayunan di taman. Dia mengayun terlalu kencang sehingga tali ayunan tersebut putus dan Sally pun tewas di usia yang masih sangat muda.
Musim semi mulai menyapa London. Bunga – bunga mulai bermekaran, mereka tampak sangat cantik dan memesona. Semua orang pun tak ragu – ragu untuk keluar rumah dan memulai kegiatan mereka masing – masing.
"Dylan, cepat turun! Kita akan berangkat!" teriak ibu. Aku melangkahkan kaki dengan cepat dan masuk ke dalam mobil.
Hari ini keluargaku akan pergi bersama keluarga Max, karena ini adalah hari terakhir mereka di London. Mereka akan pindah ke Italia, karena paman Marcel (Ayah Max) berasal dari Italia.
Keluargaku dan keluarga Max memang sangat dekat, jadi tidak heran kalau kami sering keluar bersama atau makan malam bersama.
"Hai Max!" sapaku saat keluarga kami bertemu di Regent's Park yang merupakan taman paling indah dan luas. Max membalasnya dengan senyuman indahnya.
"Kenapa hanya Max yang disapa?" sahut bibi Sienna. Aku menyengir dan ku jawab dalam hati karena semuanya menertawaiku. Aku telah terhipnotis oleh senyuman Max. Senyumku mengembang dengan sendirinya.
Ini musim semi, tentu saja kami dan para pengunjung lainnya dapat melihat aneka bunga dengan mencoloknya warna di taman ini.
Layaknya bocah kecil, aku, Max dan Daniel bercanda ria dan tertawa berkali – kali. Sementara Vigo hanya duduk tenang di sebelah ibunya yang sedang berbincang – bincang dengan kedua orang tuaku termasuk paman Marcel.
"Dylan, kamu suka ini?" tanya Daniel sembari memberikanku seekor ulat bulu yang sedang memakan daun.
Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Merasa mual sekaligus jijik.
"Ada apa?" tanya Daniel. "Kamu takut?"
"Menjijikkan! Buanglah!" perintahku.
"Dylan tidak suka itu Daniel!" sahut Vigo.
"Dia suka ini!" Max memberikanku sekuntum bunga mawar merah. Aku menerima bunga tersebut sekaligus tersipu malu.
"Dylan, Max! Aku akan memotret kalian!" sahut paman Marcel.
"Ya, setelah itu mereka menikah!" tambah Daniel sembari tertawa.
"Apa?! Tidak mungkin, aku masih berusia 18 tahun, Daniel!" kataku, tidak terima.
"Tapi kalian cocok! Seperti sepasang kekasih!" tambah bibi Sienna.
"Benar, tapi kurang satu hal!" tambah ibu.
"Apa?" tanya Max.
"Cincinnya!" kami semua tertawa. Aku dan Max tersipu malu. Pipiku merona. Mereka mencoba menyandingkanku dengan Max. Namun, aku tidak seberapa peduli dengan hal itu. Karena aku dan Max hanyalah sebatas teman. Tidak lebih.
Ketika sudah hampir dua jam singgah di Regent's Park, kami memutuskan untuk pergi ke tempat wisata yang lain. Seperti British Museum yang merupakan museum tertua di dunia, Windsor Castle yang merupakan kastil paling tua dan paling besar di dunia tempatnya pun sangat indah dan luas, kemudian kami menikmati kota London dengan menelusuri sungai Thames. Pemandangan kota besar ini bisa kami lihat dengan nyaman menggunakan kapal pesiar. Sungguh menyenangkan.
Terakhir kami pergi ke London Eye yang merupakan kincir raksasa terbesar kedua. Walau antrean untuk menaiki wahana ini sangat panjang namun kami tidak menyesalinya sebab mata kami sangat puas melihat keindahan kota London dari kincir raksasa ini. Dan saat kami menaikinya tepat pada saat malam hari, pemandangannya jauh lebih indah dan mengagumkan.
Di hari yang cukup menyenangkan ini, kami melupakan sesuatu. Yakni makan malam. Sedari tadi kami tidak memakan apapun kecuali kesenangan yang membuat kami melupakan hal itu. Namun lama kelamaan, perut kami mulai bergemuruh.
Sejalan dengan arah rumah. Kami mampir ke sebuah restaurant untuk makan malam bersama. Aneh, pikirku. Sebab, saat ini rasa laparku menghilang. Aku merasa tidak napsu. Daniel memohon agar aku memakan hidangan pembuka walau hanya satu sendok. Tetapi aku tidak bisa di paksa dan segera berpamitan keluar untuk menghirup udara malam yang segar.
Rupanya seseorang tengah mengekoriku. Namun aku pura – pura tidak menyadarinya dan terus berjalan di atas rumput hijau yang dingin. Lalu duduk di salah satu bangku jalan. Menarik napas panjang dan memikirkan tentang hidupku.
Aku bahagia bersama keluarga baru ini. Tetapi terkadang aku merasa bahwa aku tidak pantas untuk mendapatkan semua ini.
"Apa kamu baik – baik saja?" suara yang sangat lembut tiba – tiba datang. Aku mengenal suara itu. Suara Max.
Aku membuka wajahku yang tadinya ku tutupi dengan telapak tangan supaya dapat berpikir dengan tenang. Aku menatap jalanan yang kosong dan sunyi. Hanya terdengar suara lolongan anjing dari kejauhan.
"Aku baik saja" jawabku.
"Tapi kamu terlihat..."
"Max!" sahutku. "Aku baik. Hanya saja saat ini, aku sedang berpikir!" aku mendesah dan kembali menaruh telapak tangan tepat di wajah.
"Maafkan aku, Dylan" terdengar suara penyesalan Max.
Hening.
Aku tidak merasakan pergerakan sedikit pun. Entah, Max masih berada di sebelahku atau tidak? Ku putuskan untuk kembali membuka wajahku.
Ternyata Max masih berada di sebelahku. Menungguku untuk mengatakan sesuatu.
Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk memarahinya. Sekarang aku merasa bersalah padanya. Dia tersenyum, aku pun membalasnya.
"Kamu berjanji akan datang kemari, bukan?"
"Tentu saja"
"Aku akan menunggumu" kataku. "Lalu bagaimana dengan teman – temanmu?" tanyaku.
"Mereka tetap disini. Aku menyuruh mereka untuk menjagamu"
"Terima kasih. Tapi tidak perlu, ada kakakku yang akan selalu menjagaku"
"Kamu benar" Max tersenyum.
Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Tepat perpisahanku dengan Max. Besok pagi – pagi sekali dia akan terbang ke Italia. Sebenarnya berat bagiku untuk berpisah dengannya, dia sama seperti Axe yang membuatku selalu merasa nyaman. Mataku mulai berkaca – kaca saat Max mengucapkan selamat tinggal.
"Max!" aku memeluk Max dengan erat. "Jangan pergi! Aku ingin kamu tetap disini!" pintaku.
"Aku juga ingin begitu, tapi tidak bisa!"
"Aku membutuhkanmu! Aku tidak ingin kamu meninggalkanku!"
"Tatap mataku, Dylan!" perintahnya. Aku menatap mata abu – abunya. "Apa aku terlihat seperti akan meninggalkanmu?" tanyanya. Aku menggeleng. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu!" Max memelukku.
"Jika ada waktu kami akan datang kemari!" kata paman Marcel berusaha menghibur.
"Max pasti akan datang untukmu. Benar begitu sayang?" tanya bibi Sienna pada putranya.
"Tentu, aku akan datang untukmu!" aku lega saat mendengarnya.
Sekarang aku benar – benar peduli padanya. Saat dia melangkah beberapa meter dariku saja, hatiku terasa sangat sakit. Namun berkat kata – kata Max yang telah meyakinkanku itu dapat mengatasinya dengan baik.
Aku terlanjur mengutarakan perasaanku ini pada Axe. Bagaimana jika aku mencintai Max? Sebab akhir – akhir ini aku begitu dekat dengannya begitu pula keluarga kami. Max selalu ada untukku, aku percaya bahwa dia tidak akan pernah meninggalkanku. Tapi bagaimana dengan Axe? Jujur saja, aku masih memikirkan sekaligus merindukannya tapi terkadang aku juga melakukan hal itu kepada Max. Hatiku ingin sekali memiliki keduanya, tapi itu tidak mungkin. Bagaimana pun juga aku akan memilih salah satu dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In April
Teen Fiction"Dia mencintaimu. Aku ingin kamu menjaganya untukku. Buatlah dia selalu merasa bahagia. Karena hanya kamu yang dapat membuat dirinya bahagia" - Max Marin Terkadang menyakitkan, menyedihkan, membahagiakan serta mengharukan. Semua perasaan itu bercamp...