Gadis kecil yang berkuncir dua dan memegang sebuah boneka beruang berwarna coklat tua itu tengah menyaksikan percecokan dua orang dewasa dari atas arah tangga menuju ruang tamu rumahnya.
Seorang lelaki dan wanita yang tak lain suami istri dan orang tua dari gadis kecil itu masih memanas dengan pendapat mereka masing masing. Bahkan mereka tak menyadari anak mereka yang sedang menyaksikan dengan wajah takut dan badan gemetar.
Suara suara ricuh seperti itu semakin membuat gadis kecil ini kalut."Mas, tolong, Mas, jangan bawa Iel aku mohon!" wanita ini menatap lelaki yang tak lain adalah suaminya dengan tatapan yang entahlah. Wajahnya yang cantik sudah ternodai dengan memar yang ada di pipinya karena tamparan lelaki itu.
"Tidak! Iel anakku, dia yang akan menjadi pewaris perusahaanku suatu saat nanti." kekeh lelaki itu menatap mata istrinya tajam.
"Tapi mas, Iel juga akan menjadi pewaris hartaku kelak, aku mohon mas."
"Masa bodo dengan hartamu itu," balasnya sambil berlalu membawa barang barang anak laki lakinya yang sudah berada dalam dekapan pengawal, siap meninggalkan rumah mewah yang terletak di depan jalan. Beruntung tembok tinggi melindungi rumah tersebut jadi tidak menjadi pusat perhatian para tetangganya.
"Mas mas tunggu mas, jangan bawa Iel mas!! Mas!!" wanita itu berusaha mengejar sang suami dan berlari keluar rumah.
Gadis kecil itu tersentak dan segera berlari mengikuti sang mama.Di luar rumah sang mama berusaha mengejar mobil hitam yang dikendarai oleh sang ayah yang juga membawa saudara lelakinya, hingga mobil itu melaju kencang karena sudah mencapai jalan raya. Meninggalkan komplek perumahannya. Entah kapan mobil itu akan kembali, mengembalikan sang abang pada dekapan mereka.
"Mas!!" mamanya berteriak kencang, kakinya melangkah hingga tengah jalan. Air mata tumpah ruah bersamaan mobil yang mengecil. Tanpa disadari olehnya, truk besar lewat dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Menghempaskan tubuh wanita itu hingga terhempas ke pinggir jalan. Badannya mengejang seiring darah keluar dari mulut juga hidungnya.
"Mama Awasss!" jerit gadis kecil itu percuma. Karena mamanya sudah tergeletak tak berdaya di atas trotoar.
Boneka yang dari tadi dipeluknya jatuh tak berdosa, dia segera berlari untuk menghampiri sang mama yang sudah tak berdaya itu.
"Ma ... Mama." Tangisnya tak terbendung lagi melihat kondisi sang mama saat ini. Ia berusaha membantu sang Mama bangkit. Namun, badannya masih terlalu kecil, tak kuat. Di mana orang-orang di saat seperti ini. Kenapa supir truk itu malah pergi. Kenapa tak membantu mamanya.
"Al-lly-ssa," ucap sang mama terbata bata.
"Jaga adik kamu ya! Da-n ja-nga-n menaruh dendam, karena Mama sayang Alyssa."
.
.
."Mama." Ify tersentak, ia melihat sekeliling. Ruangan bertembok biru dengan beberapa stiker kartun spongebob. Ini masih di kamarnya.
Ternyata hanya mimpi, mimpi dari masa lalu yang pernah dialaminya. Alyssa Saufika gadis cantik berdagu tirus dan memiliki senyum manis itu segera melirik ke arah jam hello kitty yang tergantung di dinding kamarnya.
"Pukul 5 pagi," gumamnya dan segera beranjak dari kasur. Ia tidak mau terlihat malas. Tuhan tentu akan marah. Ia tidak mau mama yang sudah berjuang keras untuk melahirkannya disiksa di sana karena Ify tak menjalankan kewajiban.
"Pagi kakakku." Seorang pemuda tampan dengan baju sekolah SMP melekat di badannya, berjalan ke arah meja makan dan mencium pipi Ifu yang asyik dengan makanan di atas piring yang telah disiapkan oleh mbok.
"Pagi," jawab gadis itu agak terkesan dingin dan biasa saja.
Pemuda itu mendengus dan segera duduk di kursi meja makan dan memakan sarapan yang telah disiapkan oleh sang kakak.Deva Ekada adik dari Alyssa Saufika, mereka hidup berdua semenjak 3 tahun yang lalu, di rumah mewah peninggalan almarhum sang mama dan fasilitas yang lengkap, pembantu yang merawat mereka sejak kecil memilih untuk berangkat dan pulang pada sore hari. Karena suaminya sedang sakit stroke.
"Kak Ify?" panggil Deva pelan.
"Hm...."
"Ck, gue hari ini bareng sama loe ya?"
"Emang motor lo kenapa?"
"Males nyetir, ya ayolah kakak ku yang cantik," melas Deva dan hanya dibalas anggukan oleh sang kakak, membuatnya bersorak senang. Dibalik wajah dinginnya jantung Ify berdesir. Melihat Deva yang begitu bahagia kala ia akan mengantar, memang jarang sekali Ify meluangkan waktu untuk Deva. Semakin Ify bersama Deva, semakin ia bersedih, karena adiknya itu hanya mampu merasakan kasih sayang kedua orangtuanya sampai umur dua tahun saja.