Hidangan Persahabatan

29 3 0
                                    

Langit pagi birunya tak mencolok. Matahari masih sembunyi-sembunyi, di antara awan-awan yang tak beraturan. Keberadaan angin pun tidak begitu tampak, ataupun berpengaruh.

Semua sepi sederhana, begitu biasa.

Sungguh bukan awalan yang berasa bagi Faruq, tak tampak adanya ketegangan pun keterangan. Tahun pelajaran baru menanti, di setiap level yang ia jalani. Mulai dari kelas dan ekstrakulikuler di sekolah, bimbingan belajar lembaga luar, dan pengajian rutin di lingkungan rumahnya.

Wajah Faruq sejak tadi datar, menatap lumrahnya latar. Hingga dalam satu detik, senyum kecil tersimpul. ”Aku mungkin benar-benar tidak akan bangkit dari kasur, jika bukan karenanya." Seringai kian melebar, tas dan segala isinya ia sambar dengan semangat. Hari ini juga ada tanggung jawab cukup besar yang akan ia jalankan di sekolah.

***

Di tengah kebosanan yang mencandu, ternyata datang suatu obat berwujud kecil dan langka. Namun bedanya, manis.

Mungkin karena saking bosannya, ia semakin sering sempat memerhatikan teman-teman dari adik perempuannya. Lalu.. siapa juga yang bisa lupa. Di akhir liburan kemarin, salah satunya malu-malu mendatangi Faruq. Dipaksa oleh adiknya, yang cukup cuek.

"Kak.. sekolah di SMA Al-Furqon ya?" Ujar pertama dia, tak bersambut jawab. Faruq terus melamun.

"Kak Faruq!" Bantu Adik Faruq

"Eh, iya bener. Besok udah naik kelas XI. Emang kenapa, Dek..."

"Namanya Syifa, dia juga keterima di sana. Bareng aku, Kak." Syifa sendiri tak sempat mendahului perkataan temannya itu.

"Gitu.. Ada yang pingin ditanya?"

Mulai dari situ, Faruq mulai banyak bercerita dan diceritakan. Pada awal, adiknya masih sering hadir. Juga mendengarkan semuanya, secara masuk sekolah yang sama. Namun lama-kelamaan ia bosan sendiri. "Bahasannya lama-lama jadi banyak banget sih. Males ah ikut-ikut lagi", keluhnya.

Faruq dan Syifa akrab dengan cepat. Rupanya selain mendatangi sekolah yang sama, Syifa juga memutuskan memilih satu ekskul yang sama. Dan karena pengajian rutin yang biasanya dibagi per jenjang, mereka semakin sering bertemu. Faruq hendak menawarkan suatu bimbingan belajar, dia rasa itu sangat dibutuhkan di masa SMA ini. Namun terasa hal yang agak aneh. Ia merasa sungkan, malu nantinya dikira, ingin pertemuan berlebih, dan seterusnya.

Muncullah pertanyaan, "Apakah pertanyaan itu, retorika? Karena jawabannya sudahlah jelas..??"

Suatu hari, di tempat berbeda, mereka tetap bercengkrama. Entah bagaimana bisa sampai ke topik lawan jenis.

"Aku sih, gimana pun dibatasi ya.. tetap aja suka lihat laki-laki yang cerdas. Bisa tenang mecahin masalah apa aja yang dihadapi. Kalau penampilan sih nggak terlalu pengaruh, tapi yang pasti harus rapi kan?" Curhat Syifa.

"Oh, gitu.. kalau aku sebenernya ngefans banget sama kacamata. Seakan dengan bingkai tipis itu, udah bisa merubah drastis penampilannya jadi, plus plus lah. Apalagi tambah sifat yang ceria, tapi pemalu. Kan ngangenin tuh?"

"Iya, Kak... Setuju banget. Mm.. udahan dulu ya, udah malam nih. Takutnya besok sekolah malah ngantuk."

"Oke, jangan lupa juga ya besok ada rapat ekskul."

Mereka sungguh terlalu cepat dekat. Belum begitu tahu sifat masing-masing yang sebenar-benarnya. Bahkan tak begitu sadar dirinya sendiri bagaimana, di mata orang lain. Paling tidak masih dalam bingkai Kakak Kelas - Adik Kelas. Tak sempat tahu lebih jauh. Hingga keesokan harinya di sekolah.

***

Rapat di ruangan khusus ekskul.

"Terimakasih atas kedatangan semuanya, sebelum dimulai. Akan diumumkan terlebih dahulu ketua acara kita kali ini." Buka ketua ekskul. "Ketua acara tahunan ini adalah.. Saudara Faruq. Mari sambut dengan tepuk tangan meriah!"

Pengumuman itu disambut ramah oleh para anggota. Apalagi Syifa, langsung refleks memberi tepuk tangan paling keras, hingga diperhatikan oleh Faruq, dan sungkan sendiri.

Rapat pun dimulai. Faruq tampak sangat menguasai perencanaan acara yang ingin ia adakan. Banyak sekali inovasi dan pembaruan dari tahun sebelumnya. Berangsur-angsursur, Syifa mulai kagum. Dia hampir tak percaya, deskripsi yang ia ceritakan kemarin rupanya sangatlah mencerminkan orang di depan. Pipinya pun merah merona.

"Apa yang aku lakukan kemarin malam... Seakan-akan suatu pengakuan.."

Sedangkan dari sudut pandang Faruq, ia melupakan satu fakta kecil. Layar presentasi yang digubakan ternyata kurang tepat untuk ruangan yang luas. Agak mengganggu bagi kebanyakan anggota, sebagaimana pun ia coba selesaikan. Dan ternyata lebih berpengaruh pada Syifa, ia tak tahan dan kemudian mengeluarkan sebilah kacamata dari tasnya. Untuk melihat lebih jelas tulisan di depan. Faruq pun ingat sifat pemalu yang selama ini ia lihat.

"Apa yang aku lakukan kemarin malam... Seakan-akan suatu pengakuan.. Ah, ayolah, aku harus fokus menyelesaikan rapat ini."

Pertemuan siang itu berakhir canggung dia kedua pihak. Mereka terlalu malu untuk memulai percakapan. Ungkapan waktu itu sudah cukup menjelaskan banyak hal.

***

Satu hari, sekitar hampir seminggu setelah itu. Adik Faruq meminta untuk diantar ke suatu tempat. Tanpa banyak tanya, ia pun melakukannya. Setahunya, itu bukan alamat dari rumah siapapun teman dari adiknya. Justru alat dari teman sekelas Faruq.

Namun tepat saat melepas helm di rumah tujuan. Syifa tampak duduk di latar, bersama teman-teman adik Faruq yang lain. Tentu ia terkejut, sedikit. Apalagi saat teman sekelasnya memanggil namanya.

"Faruq, ayo mampir dulu. Adikmu dan teman-temannya biar mengerjakan tugas mereka dengan ibuku."

Faruq tak berani menolak. Ia baru ingat orang tua temannya itu seorang guru. Kalau diingat-ingat, ternyata Faruq seorang pelupa juga. 

Sekian jam berlalu, sekian cemilan sudah habis mendampingi serangkaian percakapan. Bu Guru yang terkenal sangat dermawan di sekolah, tambah mau menyuguhkan nasi bagi semua muridnya—termasuk anaknya. Syifa dengan cekatan ternyata sangat lihai memainkan alat-alat masak, membantu. Dan Faruq, ingin sedikit campur tangan, menawarkan diri cuci piring. Lupa kalau dia tak akan sendirian di dapur.

"Eh, Dek Syifa. Pinter juga masaknya ya.." sapa Faruq biasa. Benar-benar lupa dia kecanggungan lalu.

Syifa yang masih ingat betul, kaget. Potongan sayur menjadi terlalu tebal. "Nggak tuh, ini labunya kurang proporsional.." pintar ia gunakan itu sebagai alasan merendahkan hati.

Suhu dalam dapur terasa tambah hangat. Meski sejak tadi hanya satu kompor yang terus menyala..

"Bagus juga belajar di sini sekalian menyalurkan hobi memasak", celoteh Faruq. "Itukah alasan kamu milih ini? Atau cuma ikut teman-teman?"

"Hmm.."

"Nggak salah sih, dua-duanya juga nggak apa-apa. Aku juga pasti milih hal yang sama."

"Ehh.." Syifa agak bingung, ia butuh mengambil bumbu. Tapi tidak bisa melepas spatula.

"Kenapa sih? Aduh, hati-hati masakannya gosong lo" Faruq justru memahaminya lebih dulu.

"Itu.. minta tolong ambilin bumbu di rak bagian bawah.."

"Ooh, kirain apa.. bilang dong. Nggak usah malu-mal...."

"Udah dari sananya, Kak. Mau gimana lagi..."

Untung saja bumbu itu datang tepat waktu. Menghasilkan kombinasi yang serasi. Yang nantinya juga dinikmati bersama. Awalnya memang perlu paksa dimulai, walau belum sepenuhnya kenal, ada baiknya belajar sepanjang durasi. Nantinya juga tahu sendiri, bagian masing-masing, sebenar-benarnya. Dan akhirnya terhidang kisah manis di satu porsi sempurna.

Case ScenariosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang