Ibu pemilik kos ku dulu, yang bisa dibilang, terkenal cerewet itu, tidak berubah. Padahal sudah salim, mau mengucap salam, tetap terus saja berpesan kepadaku.
"Hati-hati ya, Dika. Jangan lupa bawa jajan biar nggak lapar di jalan. Nanti ngekos disana jangan rewel, patuh sama pemiliknya. Jangan main komputer terus, cepet cari teman yang banyak. Lebaran tahun depan jangan lupa main kesini.. bla bla bla."
Untung anaknya cantik. Eh.
"Eh, iya. Iya, Buk. Udah ditunggu temen-temen nih. Takut ketinggalan kereta ntar. Dika duluan yaa, makasih banyak selama ini.."
Maka setelah kamar kos bersih dari barang-barang pribadiku—yang besar-besar sudah dikirim ke kampung halaman—Ryan dan aku menuju stasiun. Bella dan Kira seharusnya sudah siap disana. Dan perjalanan panjang pun terjadi.
...Rehat sejenak...
Kini, aku bertemu pemilik kos lain di kota ini. Rumah saudara jauh Ryan, dan daerah perumahannya tak terlalu jauh dari kampus. Sungguh beruntung kami dapat tinggal disini. Katanya sudah di-booking sejak kami memilih tujuan jurusan. Tapi namanya juga Ryan, entah berapa macam bumbu yang dia tambah.
"Bude, Ryan sama temen Ryan naik dulu ya, mau naruh barang-barangnya di kamar," pamitnya, kami takut membasahi sofa ruang tamu dengan keringat jika terus-menerus di sana.
"Silahkan, Le. Eh sebentar.. Jaka!" Ibu kos memanggil anaknya. "Mas, tolong anterin saudaramu ini ke kamarnya di atas, yang sebelah tempat jemuran itu lo."
"Oh, iya Mak.. ayo adek-adek." ujar lelaki usia dua-puluh-an berambut gondrong itu.
Melewati tangga putar yang agak sempit, kami kesusahan membawa tas dan koper. Kesimpulanku, rumah tangga memang repot. Oh tangga rumah maksudnya.
Untung Mas Jaka membantu, namanya saja rumah dia, sudah tinggal disini seumur hidup. Tahu lah tips dan trik 'survival' disini. Bayangkan aja berkali-kali bawa turun pakaian kering keluarganya.
"Nah, silahkan, boleh langsung tidur-tiduran. Atau.. keluar sedikit lihat pemandangan kota dari tempat jemuran. Disini kan wilayah perbukitan nih, jadi yang di bawah-bawah kelihatan.. plus, angin semilirnya adem, hehe."
"Nggak deh, Mas. Tidur siang aja enak." Ryan justru langsung memeluk guling.
Mas Jaka pun tak memaksa, akhirnya dia turun lagi. Tapi aku jadi penasaran. Maka setelah melepas jaket dan menggantungnya, aku berjalan menuju 'tempat jemuran' itu. Pada dasarnya hanya atas atap dikelilingi pagar pendek. Faktor sinar matahari dan hembusan angin cocok sekali sebagai tempat mengeringkan pakaian.
Kuarahkan lensa kamera ke sekitar, mencari komposisi menarik.
Daun pohon di bawah tampak bergerak-gerak. "Brr.. seharusnya nggak usah kulepas jaket tadi." Aku menghirup napas dalam-dalam. Mencoba menyatu dengan alam di lingkungan baru..
***
Malamnya, empat kawan calon maba kota ini memutuskan untuk mencari makan bersama.
"Waktunya jalan-jalan kuliner!" Ryan sangat bersemangat. "Gimana nih, Bel? Tadi kan kamu ke rumah nenekmu lewat kota, ketemu lokasi yang mantep nggak?"
Teman-teman berdiskusi soal tujuan kami. Tapi aku sibuk sendiri mencoba mengambil gambar long-exposure dari lampu kendaraan dari pinggir jalan.
"Tenang aja, sekarang kan ada teknologi, penilaiannya juga udah kulihat di internet. Dapet bintang empat setengah dari lima. Jaraknya juga deket, kita bisa naik taksi online dari sini." dengan lincah jarinya memainkan layar ponsel.
Tak sampai lima belas menit—lalu lintas disini terasa lebih tertata—kami pun sampai di rumah makan yang terkenal murah, harga anak kos. Menunya tak lain lauk ayam goreng, lalu nasi putih, teh, dan sambal 'sepuasnya'.
'Luar biasa'
Aku terbiasa tak banyak cakap saat makan. Dan, tak makan banyak juga. ecara ekonomi mungkin aku rugi karena tidak memanfaatkan fasilitas yang ada. Malahan, aku sibuk dengan ponsel..
"Dik, kamu lagi ngapain?" tanya Kira.
"Mm.. nggak apa-apa. Cuman ngetik, nyatet beberapa hal.."
Bella menatapku tak percaya, lalu mencoba mengintip tampilan layar. "Yakin nulis? Bukan nge-stalk si Alis.."
"Has hus, alis apa.. sulam alis?" Meski tidak terlihat wajah sendiri, aku tahu pipiku merona. "Jangan fitnah dong.. denger mottoku nih ya, hari baru hati baru," balasku tidak terima.
Bella mengangguk-angguk saja. Tentu dia memanfaatkan dengan optimal kesempatan kecil ini, untuk besok-besok dia harus mencari teman-teman baru yang sama tahan bantingnya terhadap jurus-jurus mulutnya.
Sedangkan seperti biasa di sisi lain meja Ryan konsentrasi terhadap santapan di hadapannya. Ber-huh-hah ria karena ambil sambal seabrek. Baiklah kuanggap dia mewakiliku soal itu. "Huhh Dik minta tehnya lagi dong."
"Loh, nambah aja sana, kan gratis.. gimana sih."
"Alahh lagi kepedesan nih. Lagian, aku udah dua kali kesana, sungkan dong."
Ladalah, yang malu siapa yang kena siapa. Gelasku pun dia comot begitu saja. Aku bangkit dari petak kecil lesehan. "Bentar ya, aku cuci tangan dulu.."
"Jangan ngambek gitu dong, ntar malah minum air keran?" goda Bella lagi. Apaan sih?!
Dalam kamar mandi, depan wastafel, aku ditemui remaja dalam cermin. Dia menatapku dalam-dalam. Dari matanya sudah terpapar pertanyaan-pertanyaan yang sangat ingin ditanyakan. Tampaknya dia bukan pembuat soal yang mainstream. Nomor satu sudah susah sekali.
Apakah kasih sudah benar-benar beralih.?
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomansaSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.