♪Do~
Momen akhir pekan yang berbeda. Karena besoknya diikuti libur nasional, jadi para mahasiswa bisa sedikit lebih bebas. Mengurangi tekanan deadline yang terus mengejar dan menumpuk.
"Selamat datang sebenar-benarnya hari libur. Haha," bahkan aku sempat mencuci beberapa pakaian, dan menjemur diiringi musik. "Untung tidak ada yang lihat aku joget-joget di atas sini."
Mendekati waktu perjanjian. Melalui jalur biasa aku pun mengendarai sepeda ke kampus, tepatnya menuju ruang terbuka hijau disana. Begitulah kesepakatan bersama Tyas. Soalnya kalau di taman kota atau biasa, pasti bukan hanya kami yang memanfaatkan waktu ini. Yakin ramai.
♪Re~
Tyas melambai-lambaikan tangannya dengan semangat.
"Pagi, Dika!" sapa dia. Seraya berdiri di dekat kolam kecil. Dia menggunakan kaos pink, celana dan sepatu olahraga.
"Juga, tapi menurutku jam segini sih udah siang. Hehe," jawabku. Pukul sembilan, suasana disini sejuk hanya karena banyak pohon dan tumbuhan. Di area lain sudah mulai menyengat.
Aku turun, Tyas berjalan di samping. Awalnya terhalang sepeda yang kugiring di kanan, dia pun pindah ke kiri. Dari dekat baru tampak jelas, keringat yang mengalir di seluruh tubuhnya. "Kamu lari dari mana?"
"Lebih kaya jogging sih. Muterin ini aja kok, ngikutin jalur sepeda. Makanya nggak usah lari-lari lagi ya. Capek," sebagai gantinya dia justru mengambil harmonika dari tas selempang kecil.
♪Mi~
Alunan musik blues dihembuskan melalui lubang-lubang kotak yang berjejer itu. Aku tidak tahu apa ada judulnya, Tyas juga menikmati, tak berkata. Sekali-kali dia menoleh ke arahku, mungkin menanti reaksi tentang melodi itu?
"Empat bulan ini, udah belajar apa aja dari kesenian?" tanyaku setelah not terakhir yang dia tiup.
"Teori dasar, gambar, yang masih di dalem kelas. Sekarang sih udah mulai ke studio, belajar alat musik. Kaya harmonika nih, belum pinter aku."
"Wih, udah merdu gitu kok. Aku niup aja nggak bisa mungkin."
"Hahaha, suka banget deh melebih-lebihkan. Emang anak sastra, suka pake majas." Ah nggak juga kok.. "Tapi nih, Dik. Yang paling aku tunggu-tunggu, kemungkinan dipelajarin bulan depan, tentang seni teater."
♪Fa~
Aku ikut bersemangat. Dalam kesempatan yang jarang, menonton pertunjukan seperti itu, aku selalu terpesona. Mulai dari properti, cara menampilkan, pencahayaan. Kurang passionate aja secara pribadi.
"Aaah pokoknya aku nggak sabar. Itu yang aku tunggu-tunggu sejak keterima di sini."
Kalau aku nggak pemalu, pasti aku juga sudah teriak-teriak seperti itu. Ehem, loh. Bahkan Tyas naik ke atas bangku terdekat, berdehem lalu berperan. "Jadi beda, satu purnama di New York dan di Jakarta?" Menirukan dialog singkat Cinta kepada Rangga.
Hmm, aku mungkin nggak paham banyak tentang akting. Tapi suara keras, nada dan tempo yang semangat.. tidak tepat untuk adegan melow itu. Ah apalah. Aku pun mendekat ke bangku itu. Setelah berjalan santai entah berapa lama, kami memutuskan berteduh di bawah pohon.
♪Sol~
Percakapan ringan—yang didominasi oleh Tyas—berlalu cepat. Dia masih terus berlatih musik, sedangkan aku mulai mengambil buku dan bolpoin untuk mencoret-coret beberapa hal. "Taruh dulu bukunya, Dik. Ayo selfie!" Klik. Sebagian wajah justru kututupi dengan buku itu..
Hari merangkak sore, untungnya awan senantiasa menaungi, memayungi. Namun akhirnya terlalu mendominasi juga. Berubah abu-abu. Rintik air pun jatuh dengan cepat, disambar oleh kilat dan guntur..
"Aaa mau hujan!" Tyas berseru. Aku langsung melempar buku dan bolpoin ke dalam keranjang sepeda. Goal! Yess, three point. Apaan sih nggak nyambung keles.
"Gonceng aku, Dik."
Eh. "Sepedaku nggak ada goncengannya Yas.. cuman ada itu.." aku menunjuk sepasang silinder besi penopang yang terpasang di pusat roda belakang. Entah apa namanya.
"Alahh nggak apa-apa, masih untung aku lagi pake celana. Daripada basah kuyup!" tanpa aba-aba pun dia sudah langsung naik, dengan posisi berdiri tentunya. Lalu kedua tangan bertumpu ke pundakku. "Tancep gas!"
♪La~
Kukayuh sekuat tenaga, melewati pepohonan basah, rerumputan becek, orang-orang lain yang juga menghindari hujan. Taman itu jadi terasa luas. Tempat berteduh yang tidak dipenuhi orang belum tampak di segala arah.
"Disitu aja, Dik! Itu di parkiran staf!"
Ciiit. Ban berdecit karena sepeda direm mendadak setelah berlari dengan kecepatan tinggi. Deg. Tubuh Tyas yang basah pun menubruk punggungku. Tidak, tidak ada unsur kesengajaan.
"Waduhh basah kuyup nih. Haha, parah banget, hujannya keburu-buru nggak sabaran." ujar Tyas setelah turun dari sepeda, di sela-sela napas terengah.
Aku menyeka air di wajah, dan mengendurkan kaos yang lengket karena juga kuyup.. "Iya nih. Perasaan sekarang belum waktunya musim hujan deh, ya kan?"
♪Si~
Menurut perasaan juga, sekarang mungkin bukan waktu yang tepat untuk bersenang-senang. Dalam artian apapun. Aku pribadi tidak butuh yang namanya 'piknik'. Namun ternyata, perasaanku belum terlatih, untuk merasa lebih peka terhadap sekitar.
Seperti badai yang datang dari kejauhan. Masalah itu bukan ada pada dalam diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.