Malam hari sepulang penutupan OSPEK. Ingin kulempar tas ke kasur, seperti dulu. Tapi tenaga terkuras, tas berat penuh isi, dan kasur tipis tanpa ranjang. Ealah, nggak jadi deh.
"Yan, kamu tahu Kak Alda nggak?"
"Hmmh, siapa?" balas Ryan seperempat sadar.
Kalau kujelasin masuk kepalanya apa nggak nih? "Kakak kelas waktu kita SMA dulu lo. Jaraknya sama kita tuh dua tahun."
"Hoahm.. di SMA toh, bilang dong. Kirain di universitas sini.. tahu kalau dia mah. Waktu itu jadi pendamping kelompok kita pas MOS kan?"
Sebenarnya ya disini juga, tapi dia mungkin bakal jarang ketemu. "Weleh, kamu inget juga. Eh kelompok kita? Kita sekelompok?"
"Anjay, Dika. Kamu nggak inget temen-temen pertamamu sendiri?" Ryan menepuk dahi.
"Hehehe.. gimana lagi, barengan cuma tiga hari habis itu udah. Orang kaya aku mana inget."
Dia pun mendengus, lalu mendengkur. Kalau ada lomba cepat-cepatan tidur dia pasti juara dunia deh.
***
OSPEK berlalu cepat. Banyak pelajaran dan pemahaman yang kudapat. Perkenalan soal lingkungan dan sistem kampus, orang-orang di dalamnya, dan budaya yang tertimbun. Sisanya, hal-hal tak penting dan berlebihan yang berusaha kulupakan. Karena tantangan yang sebenarnya baru akan dimulai. Fight!
Buku-buku tebal dan mahal, dosen killer tanpa ampun, senior yang beneran nakal, stok mie habis, dan deadline, deadline, deadline, deadline dan deadline. Benar-benar bukan aliterasi lagi, repetisi.
"Makanya itu, kamu kudu siap fisik dan mental jadi mahasiswa disini.. walau ya dimana-mana juga gitu sih," kata Kak Alda setelah menelan mi goreng.
Aku lagi-lagi hanya mengangguk. Meneguk es jeruk. Sejujurnya ada rasa ingin menjawab, membalas lebih banyak, tapi menentukan topik betul bukan khasku. Seperti biasanya jika mendapat tugas untuk menulis atau menggambar, pasti lebih kesulitan memilih tema dan judulnya.
"Kok mie nya didiemin, Dik? Keburu dingin loh."
"Eh iya juga.." selanjutnya menghabiskan makanan justru jadi kesibukan.
Hmm, tapi kalau diteruskan pasif, mana bakal berkembang? Aku harus cari bahasan. Seminggu ini tak banyak konteks, setiap kali bertemu cuma diajak ke beberapa spot penting kampus. Sedikit berbagi pengalaman. Lalu mencari makanan..
Penjual menyerahkan mie bungkus kepadaku. Kak Alda juga sudah meneguk habis es jeruknya. Baiklah, mungkin lain kali.
"Sekali lagi makasih banyak, ya, Kak. Dika balik dulu."
"Okee, Dik. Sukses yaa jadi mahasiswa, ciye ciye." Dia tersenyum manis sekali. Sampai bukan hanya semut, Ant-Man pun bakal mengerubungi. Aku jadi tersipu malu, wajah bersemu merah padahal bikin gerah, kaya bawang merah.
...
Di tepi jalan besar yang memotong dua bagian kampus, tempat dimana banyak mahasiswa berlalu lalang. Ada yang pulang karena kelas selesai, istirahat menunggu kegiatan mendatang, atau baru datang karena kelas malam satu dua jam lagi.
Seharian ini momen habis bersama sosok kakak, sepertinya butuh faktor sebaya. Aku berharap untuk bertemu Ryan di kos nanti. Tapi lebih baik, tebak siapa yang ada di seberang sana, duduk di trotoar sambil memeluk ransel. Dikelilingi teman-teman barunya. Kira! Aku baru mau menyebrang untuk menghampirinya. Eh..
"Dika! Dika, tunggu sebentar." Ada yang memanggil dari belakang. Diikuti dengan suara rem mendecit.
"Eh, Mas Jaka. Ada apa nih?" Tidak kusangka akan bertemu dia.
"Mau pulang kan? Ayo bareng motorku aja, sepedamu bisa ditinggal di parkiran. Aman kok.."
"Mm, iyadeh, Mas."
Kami pun meluncur di jalan besar dengan motor klasiknya. Suara mesin terdengar menggelegar. Dia belum bilang apa-apa lagi, membuat perjalanan pulang yang hanya sepuluh menit serasa seabad. Lampu kuning pinggir jalan tampak berlari melawan arah, namun tak habis-habis. Menghipnotis.
Akhirnya sampai di depan rumahnya.. tanpa basa-basi setelah Mas Jaka turun dari motor, satu pertanyaan berdasarkan pernyataan dilontarkan. Aku yang baru mau masuk rumah terhenti di bingkai pintu.
"Kamu belakangan ini sering main sama Alda ya?" Deg. Kok?
"Eh, apa, nggak kok nggak sering-sering amat. Dia kan kakak kelas dulu di SMA, jadi banyak minta tolong aja, sebagai balasan kadang Dika traktir mie.."
"Oh gitu."
Aku pun melanjutkan langkah, mengira bahasan selesai. Sebelum sampai ke anak tangga pertama, Mas Jaka berdehem.
"Terus, gimana kabarnya?"
Berkutat seakan sedang menimbang-nimbang, aku tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
"Baik baik aja. Kelihatannya sih gitu. Mm.. Mas Jaka kok kenal ya? Mas jurusan kesenian kan? Apa mungkin dari organisasi luar..?" Tanyaku bertubi-tubi. Kenapa sih nih, masa aku, cemas(?)
Mas Jaka tidak langsung menjawab. Dia melihat motor tuanya, kemudian mengelus sadel bagian belakang.
"Nggak juga, ceritanya panjang... Dia itu, mantan pacar Mas.."
Wanjay.
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.