Hari Minggu. 23 Januari.
Sejauh ini yang kutahu. Ada luka di kepala yang sekarang sudah terjahit. Masih ada rasa pusing. Dan ingatan agak terganggu. Selain itu tulang tangan kanan masih salah posisi. Dan tumpuan kaki kanan sekarang sudah dilepas, hanya saja masih dibebat.
Penampilanku serasa seperti Shinobi.
Menunggu tangan kanan sembuh. Aku berusaha keras melatih tangan kiri untuk coba menulis. Di atas kertas tebal beralas yang diharapkan tidak akan sobek atau bolong karena belum bisa mengontrol tekanan. Tapi pucuk pensil terus menerus patah. Kemudian mencoba dengan bolpoin, justru tintanya kemana-mana.
"Baiklah, mungkin lain kali lagi.." ujarku di bawah helaan napas.
Hari pertama latihan dan aku sudah bosan. Alat tulis menulis itu kutaruh tak rapi di atas meja. Lalu mengambil ponsel 'baru' di lacinya. Maksudnya baru diberikan oleh ayahku, karena yang lama di layarnya begitu banyak goresan. Tak jelas apa yang ditampilkan.
"Apa yang akan kuketik kali ini?" gumamku seraya menelusuri menu aplikasi hingga memilih note.
. . .
. .
.Haruskah aku tinggal dan mengabadikan pengalaman pedih ini. Atau malah meninggalkan dan mengabaikannya? Apakah alasan di balik terjadinya ini semua? Mengapa terasa bahwa ada sosok yang menyebabkannya? Apakah pada bab kehidupan ini, memang bukan hanya soal aku?
.
. .
. . .
Dengan jempol tangan kiri, yang masih sedikit lebih lama untuk mengetik sebanyak itu. Dan dengan nalar yang juga terus menimbang dan menembang. Butuh waktu sepuluh menit."Ah! Kalau saja semua tulisan yang tersimpan di catatan ponselku bisa kuakses sekarang. Mengulang dari awal pasti lebih sulit dari daripada melanjutkan yang sudah ada."
Aku pun kesal, menghempaskan kepala ke bantal lagi, mencoba menutup mata. Namun sekejap setelah pengelihatan hitam, bahkan sebetulnya aku belum berkedip, ingatan akan mimpi-mimpi selama tiga hari lalu terbayang jelas.
Peristiwa di dapur, kampung halaman, panggung drama, taman perumahan, ruang kelas, sofa ruang keluarga, dan tiap karakter di dalamnya...
Tangan kiri ku pun refleks kembali mengambil ponsel yang terhalang selimut. Tepat setelah mata terbuka. Lalu mengetik apa saja yang tertanam di ingatan.
***
Ibu datang dari hotel jam tujuh.
Pagi itu sarapan datang tepat waktu, pukul setengah delapan. Diantar petugas sampai ke pintu, lalu nampannya diambil oleh ibuku, ditaruh di atas pangkuanku. Seperti biasa menunya bubur, potongan sayur, bumbu yang sebetulnya tampak enak, satu buah pir, dan segelas susu.
Pertama-tama aku meneguk susu segar itu. Bukan vanila bukan cokelat. Yang pasti aku paling butuh nutrisi, kalsium yang dikandung..
"Beruntung sekali ya, kita terbentuk dari materi yang bisa diperkuat oleh apa saja yang sudah disediakan alam. Tidak seperti motor, misalnya, yang butuh oli yang kompleks sekali proses pengolahannya."
"Iya, Nak." jawab ibuku singkat. Yang mendengar celotehku.
...
"Maksudnya?" responmu seperti biasa. Yang kuhubungi lewat aplikasi chatting.
Tiba-tiba saja terpikir untuk menuliskan dan mengirimkannya. Rasa-rasanya aku akan senang mendengar
"Kenapa kamu tiba-tiba asal bahas ini?" tanyamu lagi.
"Oh, itu. Aku baru minum susu."
"Oh."
Dan begitulah percakapan kita usai. Setelah beberapa sanggahan argumentasi.
Aku cukup senang bisa berbagi pernyataan denganmu. Walau, masih, banyak, yang belum kunyatakan. Senyata-nyatanya.
***
Ibu menghampiri kasur dan mengecup keningku. "Maaf Ibu berangkat kerja dulu ya." Aku hanya mengangguk. Sudah seharusnya aku tahu diri dengan memahami perjalanan untuk Ibu ke kantornya yang di luar kota memakan waktu satu jam.
Setelah sarapan—agar tidak kembali tidur—aku menyalakan televisi. Berkat gadget yang Ayah bawa, melalui kabel HDMI televisi bisa tersambung ke internet dan menampilkan browser. Aku pun langsung mengakses situs video online.
Awalnya sih mau cari tahu lebih dalam, tentang kandungan susu. Lalu sampai di video produksi bermacam olahannya di pabrik besar luar negeri. Memang selalu tak kronologis. Akhirnya aku menonton vlog harian seseorang.
Aku selalu kagum dengan para pembuat video, yang profesional. Meski dilakukan setiap hari, mereka selu menemukan cara yang menarik untuk mengemas apa saja yang dialami. Dengan kayanya visualisasi, alunan nada tambahan, dan diksi yang memikat.
"Hehe.. itu mungkin ide yang bagus."
Kuakses kamera ponsel, dan mencari sudut pandang yang, 'menarik' untuk dipotret. Saat mencoba melihat ke bawah kasur, tanganku tiba-tiba terselip dan tubuhku begitu saja ambruk ke lantai..
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.