Dalam posisi seperti ini, aku 'dipaksa' untuk aktif menganggap setiap detik pengalaman menjadi suatu halaman. Yang tak kalah penting dari buku paket. Bersikap selalu belajar namun tidak pernah tahu. Terus menyikapi informasi sebagai hal baru, tanpa merupakan modal yang sudah hadir.
"Semoga niat dan usahaku tumbuh dan berbuah kebaikan.."
Jurnal Seorang Mahasiswa Sastra Indonesia.
Sebuah buku tebal bersampul kulit sintetis berwarna biru pudar. Baru kubeli dan kulabeli, sebagai pengganti serta lanjutan-lebih profesional-diari dahulu. Harapannya bisa membantuku untuk menjadi penulis yang lebih baik.
Tulisan, isi halaman bagian depan setelah nama dan biodata, catatan perlengkapan OSPEK. Banyak sekali yang dibutuhkan untuk kegiatan penuh enam hari ini. Sebetulnya malah bisa dibilang seminggu, hari Minggu sebelumnya dipakai untuk bersiap-siap.
"Tas, sepatu, topi, celana training, tempat pensil seisinya,..."
Eh Ryan ikut-ikutan. "Celemek, pisau daging, kompor, mesin pencacah daging,.."
"Hah!? Yang bener Yan? OSPEKmu bawa barang-barang kaya gitu??"
"Hahaha, nggak lah Dik. Aku agak kesel aja nih, kamu bisa nggak bacanya dalam hati aja? Nggak usah disebutin keras-keras."
"Iyadeh iya.."
...
"Oke temen-temen, saya Bayu salah satu asdos disini, dan kali ini saya bertugas untuk memperkenalkan sekolah baru kalian. Jadi.. lorong ini, adalah tempat dimana ruang-ruang kelas utama kalian nanti belajar...
...kelas sepuluh ipa satu di ujung timur, terus berurutan sampai ips tiga di barat. Masing-masing ada taman di depannya. Kebersihannya dijaga ya!" Ujar kakak kelas dengan ramah saat tur gedung SMA.
Aku manggut-manggut tak banyak komen. Hanya terus berharap masuk ke kelas yang cocok, karena jujur.. sejauh ini dalam kelompok yang dibagi untuk MOS terasa kurang pas. Si pendiam ini tidak langsung nyambung dengan para bintang kelas dari sekolah-sekolah asal mereka.
"Baik adek-adek, sekarang waktunya istirahat. Silahkan bekalnya dikeluarkan."
Semuanya makan dengan lahap. Tak sabar mau melanjutkan kegiatan selanjutnya. Mungkin cuma aku yang agak malas, menyandarkan punggung ke tembok, dan memutar-mutar mi dengan garpu tupperware. Sampai aku menyadari kakak-kakak pendamping kelompokku saling berbisik di belakang.
Salah satunya-yang namanya Kak Alda-memutuskan untuk menghampiri dan menyapa. "Hai, Dek."
"Ya, Kak. Ada apa?"
"Nama kamu Dika kan? Dari SMP Sejahtera Surabaya.." Aku membalas dengan anggukan. Kakak itu pun lanjut bicara. "Kamu udah jauh-jauh lo sekolah kesini. Kok malah nggak semangat sih?"
Tidak komentar. Apalagi like, subscribe, atau beli souvernir online.
"Gini aja deh, kakak kasih bocoran," aku tertegun. Wih bocoran apa? "Jadi..sehabis ini kegiatannya itu demo ekstrakurikuler. Dari situ kamu bisa lihat pengembangan hobi yang cocok buat kamu. Bisa buat mempermudah ngelanjutin ke perguruan tinggi juga!"
"Ooh gitu ya, Kak. Memang disini ada ekstra apa aja? Kakak ikut yang mana aja? Yang paling populer apa?"
"Mm.. mending makannya diterusin aja deh. Kamu tinggal dengerin aku cerita."
Baiklah.. aku pun akhirnya terus dan terus melahap. Terfokus pada omongan Kak Alda. Bahkan, pada saat penampilan-penampilan dari para senior, aku justru tak memerhatikan. Melamun entah membayangkan apa..
***
..tentang hari pertama sekolah. Rupanya memang selalu ikonik, terekam dalam memori. Aku jadi teringat sosok Kak Alda itu. Yang populer di sekolah, terkenal karena keramahannya. Meski waktu aku kelas sepuluh dia sudah kelas dua belas, tak kenal dekat, aku dengar kalau dia diterima di univ ini, fakultas ini.
Menyandar ke pagar pelindung, lantai dua gedung, aku mencoret-coret halaman belakang buku. Kamera menggantung di pundakku.
Dalam hati tentu ada rasa ingin bertemu, paling tidak untuk menunjukkan perkembanganku sejauh ini. Nggak banyak banget sih.. tapi mungkin cukup lah buat dia pangling...
Bruk! Buku jurnal jatuh dari tanganku.
"Waduh maaf, maaf." Orang yang menyenggolku langsung mengambilnya dan menyodorkan ke arahku. Sedangkan aku menyipit-nyipitkan mata. Gurat wajah yang lembut, suara yang simpatik. Apa mungkin? Seberapa besar peluangnya?
"Kak, kak Alda?"
"Eh, kamu kok tahu namaku?"
Aaa.. aku mau jawab tapi Kak Alda mendekatkan wajahnya kepadaku. Juga menyipit-nyipitkan mata. Jadi merasa tak enakan.
"Ohh kamu. Dika si Cah Surabaya?"
"Hehe, iya, Kak. Masih inget ternyata.."
Dia pun sekali lagi memerhatikanku dari ujung rambut ke ujung sepatu. "Sekarang bisa dipanggil Cak nih. Ya Tuhan, Dik udah hampir banget lupa. Kamu sekarang lebih tinggi dari aku nih, wah. Bentar-bentar.. kamu ngapain disini? Sastra Indonesia juga?"
Aku mengangguk-angguk. Benar kan, dia pangling lah, satu dua hal. "Lagi mau kemana nih, Kak?"
"Nggak kemana-mana.. cuman ke kantin kok."
"Hmm siang-siang gini emang bikin baper, eh laper ya. Boleh ikut?"
"Siapa yang ngelarang? Eh tapi, bukannya habis ini turnya mau dilanjutin. Terus kalau ketinggalan gimana?" Dia paham saja apa-apa keadaan sekitar.
"Ah gampang. Kakak kan udah lama disini, bisa dong ngebimbing adiknya soal gedung aja.."
"Yaudah deh iya.."
---
Bagaimana dengan.. 'Jurnal Sepasang Mahasiswa Sastra Indonesia' ?
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomantizmSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.