Banyak foto yang kuambil saat perjalanan bis ke stasiun dekat kos. Rute yang aku lewati, termasuk melalui SMP dimana aku lulus. Sebelum aku pindah ke kota ini, sampai terpaku saat bertemu kamu.
Hari Selasa. 22 Februari. Kantin Sekolah.
"Keras kepala nih Dika. Kalau makan tuh pakai tangan yang bagus. Masih aja." canda Ryan.Aku melongos, bosan dengan guyonan itu. Bagaimana lagi, setiap kali mengangkat sendok, yang tentu saja hanya bisa pakai tangan kiri. Selalu saja ditegur begitu.
"Yek." aku menjulurkan lidah.
Kira juga bosan. "Dasar Ryan, jayus banget tahu nggak?.." sanggahnya. Malah dibalas dengan keluh Ryan. "Eh, dua bulan ke depan kan kita udah tinggal ulangan, ulangan, dan ulangan terus kan," lanjutnya.
Aku dan Ryan bareng mengangguk dan mengunyah.
"Emang persiapan kalian udah segimana?"
Aku dan Ryan bareng menelan ludah masing-masing dan saling pandang. Tiba-tiba ia menyeringai. Bisa kubayangkan suatu bola lampu lima watt menyala di atas rambutnya.
"Mm, aku dong, siap delapan puluh persen!" ujar Ryan percaya diri.
"Maksudnya?" tanyaku.
"Kok bisa sampai tahu persentasenya?" lanjut Kira.
"Ya tahu lah.. kunci kan emang dibuat nggak benar seratus persen. Biar nggak mencurigakan." jawab Ryan santai.
Apa? Aku dan Kira mendelik. "Heh, gimana sih, Yan. Pingin curang, masa sekolah kita tinggal sebentar lagi lho! Malah mau dipake aneh-aneh." Dia kesal sekali.
"Hehehe.. Iya iya maaf. Canda doang kok."
"Berarti.. kurang tiga bulanan lagi kita udah perpisahan dong..?" ujarku meneruskan.
Sekarang Ryan dan Kira yang saling pandang.
***
Hari Selasa selalu melelahkan. Aku pulang di antar oleh teman sekelas yang rumahnya searah. Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun masuk ke kamar kos dan langsung menyalakan komputer.
"Bagus! Besok adalah, Rabu ceria. Hm, setelah dipikir sih kurang pas juga mengingat aku udah kelas tiga.. tapi apa salahnya santai sebentar? Pekerjaan juga nggak bakal maksimal kalau dilakukan sambil stres."
Kok jadi kangen kenangan SMP dulu ya? Dengan refleks aku sudah membuka media sosial, yang mana, merupakan tempat hits bagi masa-masa itu. Aku yakin banyak yang bisa dilihat disana. Scroll, terus bergulir ke bawah, ke kiriman lama.
Ya Tuhan!
Aku menepuk dahi. Bagaimana bisa aku se..alay itu?? Dengan bahasa yang sulit dibaca, topik yang tak jelas dan tak perlu. Sungguh. Dasar bocah.
"Mungkin lebih baik langsung ke bagian pesta kelulusan aja kali ya?"
Kubuka album perpisahan yang diunggah oleh teman-teman seangkatan. Begitu meriah, megah, me..mbosankan bagiku. Saat kukira ujian tuntas, ternyata masih ada saja alasan untuk bangun pagi dan berangkat ke sekolah.
Tak sengaja, aku menekan tombol like. Ya, sengaja sih. Bulannya aku kena Alien Hand Syndrom atau apa. Tapi tanpa pikir panjang bahwa, foto ini kan sudah diunggah dari tiga tahun yang lalu. Pastinya menarik perhatian kalau ada yang jauh-jauh mengaksesnya. Cling! Satu pesan diterima.
"Apa kabar, Dik?" rupanya Tyas, temanku yang punya album itu sedang online. "Lagi kangen masa SMP nih ye?" lanjutnya.
"Hai, Yas! Lama nggak ngobrol, ya, lagi keinget aja. Aku baik, kamu gimana?"
"SMA disini seru, temen-temennya keren! Oh iya, aku tuh masih nggak nyambung, kenapa sih kamu milih ke luar kota? Yang—maaf ya—agak kurang maju lagi."
Layar komputer menerangi wajah datarku beberapa detik. Jemari tangan kiri merasakan hembusan helaan napasku.
"Soal itu.. sebagian besar sih keputusan ortu. Aku cukup setuju. Katanya aku harus lebih mandiri, dan, di kota kecil kaya gini lingkungannya lebih aman buat melajarin itu.."
"Ooh gitu," entah kenapa, aku merasa melihat poni warna-warnimu di foto profil seakan bergoyang. Seperti karena kamu mengangguk. Selanjutnya.. bahasan klise.
Oh.. betapa percakapan kita terakhir kali adalah saling bertanya mau melanjutkan ke sekolah menengah atas mana. Dan tiga tahun selanjutnya, bertegur sapa, hanya untuk lagi-lagi membahas mau meneruskan kemana.
Betulkah sesempit ini dunia kita?
Seiring terus menekan tombol next, muncul foto Tyas dan aku berdua, dengan latar belakang keramaian pesta wisuda. Kami—siswa peringkat satu dan dua—berdiri dengan jarak agak jauh, ekspresi sama-sama polos, dan pose yang sangat canggung.
Memangnya, hubungan apa sih yang diharapkan dari masa SMP? Mengenal jati diri sendiri saja belum, dapat teman sejati juga belum. Pokoknya belum ada aspek penunjang masa depan yang komplit deh.
Setelah kian patah kata. Ia pun undur diri. "Yaudah deh, Dik. Sukses yaa! Aku mau nongkrong dulu sama teman-teman. Ketemu lagi!"
Tapi seperti, kulihat di foto-foto yang baru, di sekolah baru, dia tak tampak seperti siapapun yang kukenal. Keluar malam, makan segala macam, berlaku seenaknya karena memang ada leluasa dan dukungan lingkungan. Tak lagi polos, walau supel justru banyak berteman dengan remaja yang, salah arah..
Dan aku merasa bersalah soal itu.
Jadi, ya.. Rupanya yang tersisa, hanya kenangan singkat dan sebingkai foto. Aku pun hanya sedikit ingat, kami pernah cukup dekat. Dengan masih banyak sekali yang belum saling dimengerti..
Aku cuma berharap, dengan tokoh dan suasana yang baru ini. Kita masih ada di jalan yang sama, tak cepat-cepat sampai di persimpangan. Karena.. kita belum bersamaan naik kendaraan. Apalagi bercengkrama sepanjang jalan..
Kalaupun ternyata harus berpisah.. Akankah ada lagi, persimpangan yang mempertemukan atau tanpa jalan pulang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.