Persimpangan Kedewasaan

27 4 0
                                    

Dasar bocah emosional realis.

Mungkin itu ucapan yang cocok untuk dilontarkan kepada Dani. Bukan, bukan dengan tujuan mengejek, paling tidak untuk menyadarkan. Bahwa dia berada di tingkat yang aneh sekali. Dan itu pilihannya.

Dia mungkin tidak ingat nama atau wajah Bintang-sahabat perempuanya dulu-jika bukan karena teman-temannya. Melalui 'ejekan' atau macam-macam rumor yang ada. Karena mereka bukan teman dekat, dan tak begitu tahu-menahu apa yang terjadi.

Jadilah Dani malu-malu sendiri, marah tak peduli, bingung sana-sini.

***

Hari itu adalah kompetisi pertama yang Dani ikuti semenjak pindah ke sekolah baru. Dengan teman-teman yang benar baru. Bertemu beberapa kali latihan persiapan, lalu saat keberangkatan. Sudah.

Maka proses perkenalan terus berlangsung, di tiap langkah. Dan ada sosok di seberang sana yang buat dia bungah pertama pandang. Laki-laki dan perempuan tidak beriringan. Sekumpulannya justru terasa bagai distraksi baginya. Sungguh lega dia melihat Bintang pertama kali, menggunakan baju khusus, make up cantik, dan percaya diri tinggi. Dan yang paling berkesan, kamera yang mengalung padanya.

Penampilan Bintang pun Dani nantikan penuh kesabaran. Gladi bersih di depan pembinanya saja dia tonton, kemampuannya memang menakjubkan, katanya sejak kelas satu dia sudah mulai mengikuti semacam ini.

"Wah, aku tertinggal banyak rupanya.."

Namun saat giliran Bintang tampil, itu pula giliran Dani untuk menghadap pembina, di tes untuk terakhir kalinya. Tampaknya dia akan tertinggal informasi lagi.

Dasar bocah tak beruntung. Bahkan dalam kompetisi itu ia tidak menang, Bintang juga ternyata tidak mendapat gelar juara. Tak apalah, mereka sudah banyak berjuang, dan akan banyak belajar dari pengalaman.

Benar saja, pendistribusian kemalangan dan keberuntungan kian sampai pada simpang pergantian. Bintang ternyata adalah sahabat dekat dari Laila, yang berada satu komplek dengannya. Dan mereka berdua sering sekali bermain bersama, sesekali tentu berpapasan tak sengaja dengan Dani.

Dari pertemuan-pertemuan kecil itu Dani mulai mempelajari ketertinggalannya dan membuat usaha-usaha pengenalan. Bintang yang supel terbuka sekali menerimanya. Sedangkan seberapa ekspresif dirinya, masih ada saja karakter nya yang pemalu.

"Hai, Dani!" Sapa Bintang kapanpun berpapasan. Dibalas dengan senyum polos berisi canggung.

Sedikit banyak, tentu ia merasa berjuta macam. Senang lah, sungkan lah, penasaran lah. Sedangkan Laila bersikap biasa saja, seakan tidak ada yang aneh. Memang sebetulnya Dani lah yang terpikirkan macam-macam. Di masa yang sangat labil itu, dengan rasa penasaran tak terbendung tentang lawan jenis, dan tak cukup kesibukan untuk fokus ke hal yang lebih penting.

Di kelas sembilan, banyak waktu mereka habiskan di sekolah. Pulang di waktu yang sama dan melewati jalan yang lebih sepi karena lebih sore dari biasa. "Hai, Dani!" sapa Bintang lagi karena semakin sering bertemu.

"Hai juga, Bintang. Mau kemana?" cetus Dani tak banyak kepikiran.

"Ya mau pulang lah, Dan. Ngapain lagi udah mau maghrib gini," justru Laila yang membalas.

"Hehe, iya juga ya.. Yaudah, hati-hati,"

"Iya.. Sampai ketemu lagi, Dan."

Baru mereka pun berjalan berpisah, simpangan yang berbeda arah. Yang tentu Dani tak tahu adalah, ungkapan Bintang tadi tak berlaku semudah mereka menapak kaki. Sungguh tak berjalan maju begitu saja.

Les, lomba, kegiatan.. apa saja. Dani tak berada di tempat yang sama lagi dengan Bintang. Ia pun berkali-kali mencoba menghubungi lewat sosial media untuk tahu kabarnya.

***

Sampai akhir masa sekolah, kedekatan Dani dan Bintang tak lebih cepat dari merangkak. Mereka lebih sering mengobrol, membicarakan banyak hal, memiliki konteks humor yang sama. Kurang lebih karena hobi dan kemampuan di bidang yang sama. Meski tanpa kontak langsung yang serba terbatas. Dani selalu terpukau akan kelebihan Bintang, namun saat terkalahkan-karena selalu pergi ke kompetisi yang sama-rasa cemburu sering datang dan pergi.

Pada satu perpisahan pun, salah satu dari mereka harus benar-benar pergi. Tanpa hubungan perasaan yang terlalu dalam, namun pertemanan yang cukup didukung hukum alam.

"Kamu ngelanjutin SMA kemana?" Tanya Dani meski tahu betul arah pembicaraan.

"Aku mau pulang ke kampung halaman, di luar kota.. Kamu gimana?"

"Belum lama tinggal disini, masih banyak yang belum aku pelajarin.."

Sedikit-sedikit, mereka saling tahu tentang ketidaktahuan masing-masing. Hening sejenak.

Suara kamera terdengar mengambil beberapa foto berdua, kemudian mereka pun meneruskan jalan mereka sendiri-sendiri.

Karena sebanyak apapun kesamaan di antaranya, selalu ada persimpangan yang mengarah pada jejak yang seluruhnya berbeda.

Yang tersisa, hanya kenangan singkat. Dan sebingkai foto. Teman-teman Dani pun hanya sedikit tahu, tampaknya mereka cukup dekat. Padahal masih banyak sekali yang belum saling dimengerti..

..Dengan sedikit pengalaman tentang perasaan, Dani mencoba mengerti. Dan berharap bisa dijadikan pelajaran buat nanti..

Akankah ada lagi, persimpangan yang mempertemukan?

Case ScenariosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang