Pagi ini aku sarapan mie goreng dingin. Semalaman Ryan tidak pulang. Padahal awalnya kubungkus untuk dia. Mas Jaka selalu berangkat pagi sekali, saat suasana perbukitan ini masih dingin dan berkabut. Maka karena aku tidak ada kendaraan, jadilah terpaksa ikut-ikutan.
Hampir saja aku tidak mandi.
***
Tengah hari, selang di antara dua kelas cukup lama. Aku pergi ke parkiran untuk melepas rindu dengan sepeda yang ditinggal semalaman. Kemudian segera melesat. Melewati salah satu kantin dimana aku biasa makan bersama Kak Alda. Menu mie goreng. Tapi, ya, melewati. Kali ini aku menuju fakultas seni di bagian baratnya.
..Berkat ajakan langsung Mas Jaka.
Ini pertama kalinya aku masuk gedungnya. Sungguh suasana berbeda, tidak ada ruang yang tak lebar-kecuali mungkin WC, namanya juga kamar kecil. Dan aku memahaminya, butuh leluasa untuk penyaluran kreatifitas secara maksimal.
Kalau dipikir-pikir, kenapa tidak diaplikasikan ke semua jurusan sekalian?
"Gimana, Dika? Beneran kan ada. Berarti kurikulumnya emang nggak berubah."
"Betul, Mas. Hehe, jadi minta tolong ya untuk tugas ini." Dia menawarkan bantuan untuk materi dasar dan metode penelitian kebudayaan. Ya, ada pelajaran itu di Sastra Indonesia. Bukannya aku mengeluh.
Dan, dia memang pernah, membantu Kak Alda perihal ini. Uuk, pasangan yang suportif.
"Di perpustakaan aja, Dek. Referensinya lengkap terus suasananya juga nyaman. Ayo!"
Aku pun mengikuti langkahnya dari belakang. Menyusuri lobi seraya menikmati pajangan di sepanjang jalan-mau kuambil beberapa gambar, tapi sungkan banyak sekali orang-hingga.. wajah yang familiar terlihat keluar dari pintu di ujung lain lorong.
Tyas. Dia melambaikan tangannya padaku, kubalas. Lalu kami saling melanjutkan perjalanan masing-masing.
Awal yang singkat tidak selalu berarti lanjutan yang ringkas.
...
Secara pokok ini cerita klasik tentang dua laki-laki. Satu pakar cinta, yang satu pakar non-cinta. Yang sama-sama sok tahu. Tapi yang penting, saling membantu, bahu-membahu.
"Wih, bener juga. Mengapresiasi seni itu susah juga ya, banyak sekali aspeknya. Apalagi di era modern ini yang semakin sering menggabungkan bermacam-macam jenisnya. Semisalnya film, yaitu campuran gambar, suara, gerakan, akting, dan banyak lainnya..."
Hening.
"Kadang-kadang kamu emang suka, baku gitu, Dik?"
Duh, rambut terasa dikerubungi nyamuk. Gatal. Aku jadi sungkan. "Kali aja semua anak sastra kaya gitu.. hehe," mencoba cari alasan.
"Alda.. nggak gitu amat kok..."
-×=×-
Dua tahun lalu.
Waktu itu Mas seperti biasa. Berangkat ke sekolah pagi-pagi banget. Walaupun belum ada kelas. Berasa enak aja bisa menikmati suasana lebih sepi dan bersih, dari polusi udara atau juga suara. Mas yakin itu bisa nggugah pikiran kita, jadi fresh.
Sambil bawa gitar, Mas jalan-jalan di halaman kampus bagian selatan, bisa dibilang sih barat daya, yang, dari gedung ini arah lurus ke depan. Di situ ada bangku gitu. Adem tempatnya, pas di bawah pohon. Jadi lah Mas main gitar di situ.. sampai keadaan nggak jadi sepi sendiri lagi.
Senar yang aku petik serasa kaya musik latar, pas kami berdua sama-sama sibuk sendiri dalam pikiran masing-masing. Sampai di not terakhir. Memaksa ada yang bangkit lebih dulu.
Kayanya ada orang bingung, hampirin ah. "Permisi, ada yang bisa dibantu?"
"Mm.. itu, Mas. Aku ini mahasiswa baru." jawabnya dengan pernyataan.
Ya, agak kelihatan. "Oke, terus?"
"Lagi bingung nyari gedung administrasi, dimana ya?" jawabnya dengan pertanyaan.
"Ooh itu teruus ke pojok selatan sana, dikelilingi taman kecil, bangunannya warna krem." kata Mas sambil menunjuk arah. Lawan bicara Mas langsung nyatet sesuatu di buku kecilnya.
"Kalau, gedung fakultas bahasa..?
"Kalau yang itu dekat, sehabis air mancur ini tinggal ke arah barat. Nanti dekat kantin, kalau dari sini sebelah kanan fakultas seni, nah kirinya udah fakultas bahasa." Aku anak seni, deket situ.
"Oh.. hmm.."
"Gimana? Ada lagi? Kalau masih butuh petunjuk seputar arah-arah gitu bisa lihat di belakang pohon ini ada denah kampus.."
"Loh, gitu toh. Kok Mas nggak bilang sih dari tadi? Kan jadi malu kebanyakan nanya.." refleks dia menepuk lenganku. "Eh, maaf, maaf nggak bermaksud. Yaudah ya, makasih banyak, Mas."
Iya nggak apa-apa. Nggak sempat tanya nama, asal, atau apa saja. Di mata ataupun hati juga, belum ada rasa apa-apa. Pertemuan pertama itu terlalu singkat menurut Mas.
-×=×-
Tapi nyatanya terus bertingkat. Karena takdir sudah hakikat, mengikat. Dari atas tempat jemuran, kusapu seluruh arah pemandangan kota. Di tengah terbenamnya matahari, dan terbitnya bulan. Aku belum tahu lanjutan ceritanya, tapi melihat dua insan yang sama kuat memancarkan aura keramahan. Tak diragukan akan adanya pelajaran.
Apakah seperti keputusan langka alam yang, mempertemukan matahari hangat dan bulan menarik di langit bersamaan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.