Aku punya kampung halaman. Yang dulunya ditinggali hingga SMP, hingga ditinggalkan untuk sekolah di SMA Favorit luar kota. Aku hanya pulang saat liburan, saat ada kesempatan, atau keperluan.
Hari Minggu. 6 Februari.
Hari libur akhir pekan ini aku ke pulang ke rumah. Karena janji Ibu yang akan membelikanku kamera kalau sudah bisa lancar berjalan tanpa tongkat. Jadi setelah semalam dijemput, lalu sampai, dan terlelap di kamar tidur masa kecil, paginya aku bangun kesiangan.
"Ayo, Nak. Bangun, ambil handuk lalu cepat ke kamar mandi. Mumpung airnya masih hangat."
Aku pun keluar kamar, mendapati Ayah sedang membaca koran. "Iya, Bu.. eh, Yah, jam sembilan gini kok masih adem ya? Apa disini sering hujan juga?"
"Hahaha, makanya jangan tidur terus. Lihat dong ke luar,"
Aku pun mengintip dari jendela. Ada sepasang anak kecil yang berloncatan, bermain air..
"Tuh kelihatan kan. Sepanjang jalan basah, got kiri dan kanan juga penuh air."
"Mm, Iya juga, Yah."
Oh.. kalau begitu. Sebaiknya aku manfaatkan betul air hangatnya.
Dengan mengalungkan handuk, aku pun masuk ke kamar mandi. Keran dinyalakan, seketika uap hangat mengepul.
***
Pukul sepuluh, waktunya semua supermarket benar-benar buka. Menggunakan mobil pick-up kesayangan Ayah kami berangkat. Aku dan beliau langsung saja menuju ke toko elektronik besar di dalam. Sedangkan Ibu.. silaturahmi dulu ke setiap toko baju yang bertuliskan diskon.
Masuk pintu toko elektronik, belok kiri, melewati bagian ponsel-ponsel, hingga ke pojok. Itulah bagian fotografi. Aku pun melihat-lihat rentetan baris macam kamera.
"Ayah pernah pakai kamera apa aja?" tanyaku. Sungguh bingung mencari yang tepat dari puluhan merek dan tipe disini.
"Apa ya?" beliau menggaruk kepala. "Kalau begitu coba kamu browsing dulu deh. Ayah mau lihat-lihat televisi dulu.."
Kuambil ponsel dari saku celana bagian kiri. Ada satu pesan belum terbaca dari Ryan. Isinya tak lain yaitu pengingat agar aku tak lupa nanti bawa oleh-oleh. Buatku tergelitik. Lalu aku berpikir, mungkin saja dia tahu satu dua hal tentang kamera.
Selain Ryan, aku juga mencari namamu di kontak. 'Alissa Baru'. Aku tahu kamu orang yang luas pengetahuan, tahu macam-macam. Lagipula mungkin ini satu-satunya topik yang bisa kuangkat hari ini.
Nada pesan berbunyi. Kukira balasan darimu.
"Wah ngga tahu soal begituan Dik. Kayanya mending coba tanya Aini deh." -Ryan.
Baiklah. Kamu juga belum menjawab. Daripada sungkan berlama-lama tanpa membeli, aku pun membuka grup kelas dan mencari kontak Aini. Terpampang foto profil yang mana dia mengangkat kamera DSLR hingga ke wajah. Pose siap berburu foto. Kemudian baru kusimpan.
Ya, aku belum punya semua nomer teman sekelasku.
"Aini, ini Dika. Kata Ryan kamu thu soal kera. Kira2 yang cocok buat ak apa ya?"
Sent. Lalu tak lama kemudian.
"Hah ngapain kamu nyari kera? Buat peliharaan apa nyari saudara? Kok cocok-cocokan. Maap aku bukan petugas kebun binatang Dik."
Keningku mengerut. Apa? Lalu kutepuk. Baru sadar.
"Eh typo typo. Maksdku kamera. Maap auto-correct, pake tangan kiri lgi."
"😂 Oh kamera toh. Iya ya tangan kanan kamu kan masih sakit."
"Hehe.. Makasih lo udah ngingatkan. Jadi?"
"Aku saranin kamera ini aja. Ukurannya kecil dan ada touchscreen. Harusnya sih gampang kalau kamu sering main ponsel." pesan Aini seraya mengirimkan gambar produknya.
Betul juga. Aku pun segera mencari merek dan tipe tersebut. Tapi tidak ketemu. Untung saja ada petugas yang, bertugas.
"Mas, bisa minta tolong nyarikan kamera ini?"
"Hmm.. kalau yang ini sih udah nggak ada. Justru adanya yang versi lebih baru, mau?"
"Fiturnya tetap sama kan?" tanyaku memastikan.
"Iya, yang ini malah kakaknya. Ada fitur tambahan lagi. Ayo sini aku ambilkan."
Ayah pun menyelesaikan transaksi di kasir. Membayar kamera baruku, dan beberapa pasang baterai. Tadi ke bagian televisi hanya lihat-lihat saja. Yang sebenarnya butuh baru itu energi untuk remote kontrolnya. Beliau keluar dari mall dan menemuiku sedang mencoba memotret mobilnya.
"Hahaha Dika nggak sabaran nih."
Aku hanya mengangguk, terus konsentrasi menyesuaikan pengaturan layar sentuh.
"Oh.. Pilihanmu bagus juga, Nak. Kalau gini kan enak tinggal pencet-pencet layarnya. Soalnya dimana-mana tombol kamera ya mesti di bagian kanan."
Sekarang aku nyengir. "Iya dong, Yah. Dika kan berbakat belanja. Tuh kaya Ibu." ujarku menunjuk Ibu yang berjalan mendekat.. dengan membawa troli penuh barang.
***
"Jangan lupa diminum susu kotaknya. Jangan sampai masuk angin karena gerimis ini. Dadaa. Hati-hati, Nak!"
Sayang sekali hari ini Ayah dan Ibu tak bisa langsung mengantar pulang ke kamar kos. Aku pun harus naik bis sendiri, berangkat dari halte dekat supermarket kota tadi.
"Iya, Yah, Bu." Ada hal lain yang harusnya kuingat. Berterimakasih pada Aini.
"Aini, makasih y udah ngasih rekomendasi. Nih aku jdi beli yang ini." pesanku seraya menambahkan foto kamera baru.
"Wahh langsung beli ternyata. Okelah. Kapan-kapan aku boleh pinjam ya!"
"Oke.. sampai ketemu di kelas.." tak lama, bis datang.
Kendaraan besar itu mendekat sama sekali tak pelan. Cipratan hampir mengenai kami yang menunggu. Aku pun naik dan memilih kursi dekat jendela. Ke bawah sana, tetesan dari atap halte terus jatuh. Kelihatannya bagus. Jadi dengan kamera baru, aku berusaha mendapatkan komposisi gambar yang cantik.
Tangan seorang gadis di sana tiba-tiba menengadah. Menampung air tadi. Lalu mencipratkannya ke pemuda yang duduk di sebelahnya. Mereka tergelitik..
Hah, Tasya? Alan?? Seketika keningku terasa pening memikirkannya. Sedikit menggeleng, aku berusaha menghilangkan rasa perih.
Hmm mungkin saja.. bingkai cerita kehidupan ini, memang untuk penampilan berbagai macam cerita. Di bermacam tempat pula. Namun tentu idealnya, yaitu untuk kisah yang ditanggapi dengan sifat terbuka dan sejujur mungkin. Dengan memahami objek dan subjek, foregorund dan background. Baru terwujudlah komposisi cerita terindah.
Because a picture is worth a thousand words.
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.