Banyak titik balik dalam hidupku yang terjadi, akibat kiamat kecil. Kecelakaan, kematian. Mungkin itu memang cara terbaik untuk mengingatkan seseorang yang bebal sepertiku, bahwa skenario kehidupan sangatlah tinggi bagi akal manusia.
Karena usaha yang belum kunjung berhasil, aku berhenti sejenak, ada sosok lain yang perlu kutahu kabarnya jua. Kak Alda.
"Permisi, Tante. Nama saya Dika, adik kelasnya Kak Alda. Mungkin Tante juga sempat melihat saya di pemakaman kemarin.."
Mata tantenya tampak merah. Tetap berusaha ramah. "Oh, Dika, iya silahkan masuk. Tante sudah banyak diceritakan sama Alda.. silahkan, boleh masuk ke kamarnya."
Ruangan enam kali lima meter dengan tembok berwarna ungu pudar dan lantai putih bermotif. Kebersihan sungguh tampak terjaga, namun soal kerapian.. banyak buku berhamburan, seprai kasur berantakan, dan yang paling parah. Ada toples kaca penuh kertas kecil, pecah bubrah.
"Kak, Kak Alda! Ada apa ini..?" Kak Alda duduk tak berkutik di kursi belajar, dan bahkan pucat bagai manekin. Bisu. Aku pun mencoba untuk menyentuh pundaknya. Kak..?
"Dika, tolong.. tolong sampaikan maafku pada Jaka.." baru jelas napasnya terengah, air mata terkuras.
"Sudah, Kak. Mas Jaka sudah memaafkan semua ini, dia bahkan menganggap tidak ada yang salah darimu.."
Itu bukanlah pertama kalinya dia meminta maaf. Pernah di warung mie, depan kampus, sudah keterusan sejak kubilang kami ada hubungan.
Aku bukanlah pecundang curang, yang memanfaatkan kondisi dukanya untuk diriku sendiri. Mengambil posisi yang selama ini terisi. Mas Jaka, sungguh kuharap aku bisa mengemban amanah darimu.
Seperti pesan singkat yang selalu dia bilang diakhir percakapan tentang Kak Alda. Jaga dia sedia kala, Dika.
Aku bukan adik yang baik bagi kalian berdua.
Jongkok, tangan berhati-hati mengambil sekian potongan kertas di antara pecahan kaca. "Kak.. boleh nggak aku minta tolong?" ujarku datar. Diikuti gelengan kecil Kak Alda. Bukan tanda menolak, tanda tak paham.
"Kamu, datang kesini untuk meminta tolong?"
"Iya, Kak," bukan, ini adalah permintaan Mas Jaka. Kutimpakan padaku jika kesannya buruk. Salah satu buku antik yang tergeletak di lantai, kuambil, juga satu pensil yang pertama kali tampak.
"Buat apa buku ini?" Suasana hatinya terefleksi pada binar mata yang kemarau.
"Aku.. Dika pingin Kakak nulis di buku itu." Ekspresinya melembut sedikit. Lalu mengisyaratkan pertanyaan, apa yang harus kutulis? "Kakak kan senior, pasti tahu apa dan bagaimana itu bahan tulisan. Luapan dari badan suatu karya sastra. Aku pingin Kakak berkarya."
Karena orang-orang di dekatnya tahu betul karakter Kak Alda. Apalagi Mas Jaka. Yang aku tahu betul tulisan tangannya. Tergores di kertas-kertas kecil warna-warni tadi. Penuh kata-kata menyemangati, memercayai, mengimplikasi semuanya baik-baik saja.
"Tolong ya, Kak."
Kupasang senyum selebar mungkin, meski dilawan penuh oleh mata yang berkaca-kaca. Genggaman tangan yang bergetar, napas yang tak terkontrol, hati dan pikiran yang berkecamuk.
***
Hari bagi Ryan untuk membuktikan tekadnya.
Aku stand by di area semula. Hanya sedikit mendekat dari tempat biasa menunggu Kira berhari-hari lalu. Beberapa langkah. Tepat di jarak pandang dari salah satu jalur keluar gedung psikologi..
Kira tampak berjalan, aku pun bangkit. Otomatis dia melihatku, lalu merubah arah langkah. Perlu lewat jalur satunya. Aku pun memasang wajah melas.
"Eh, Ryan? Udah lama nggak ketemu.." Kira agak terkejut karena bertemu dia di ujung jalur itu.
"Iya nih.. Maaf ya aku jarang, ehm, nggak pernah ngasih kabar."
"Haha iya, nggak apa-apa.." Kira berusaha ramah. Diikuti dengan tawa khas Ryan.
Aku yang selama itu sembunyi di belakang pot bunga akhirnya bangun. "Kalau aku kamu maafin nggak, Ra?"
Kali itu Kira sudah benar-benar kesal. Tanpa kuda-kuda dia langsung mencoba berlari, entah kemanapun tujuannya, asalkan, tidak ada aku. Tapi sebelum langkah kedua diambil.. Ryan menyambar tangan Kira. Deg.
Ryan menarik napas, dia, tahu ini bukan waktunya main-main lagi. "Apapun yang terjadi di antara kalian.. itu salah paham, Ra. Yang sebetulnya salah adalah aku. Ayo segera kita sembuhkan, aku yang tanggung jawab."
***
Kami bertiga pergi ke kos-kosanku. Sungguh banyak yang terjadi di sana, yang sedang berubah.
"Kalau kamu nggak mau dengar penjelasan Dika, dan juga kesal sama aku. Maka aku nggak minta banyak-banyak. Tolong duduk manis aja dulu di sini.."
Setelah mempersilakan Kira untuk duduk di ruang tamu, aku dan Ryan melakukan kewajiban terlebih dahulu. Melalui cara ini, ada harapan agar Kira mengerti.
Selang mengeluarkan air tak begitu kencang. Mengenakan celana pendek dan kaos pendek, di garasi kecil aku ditemani ember. Bertugas mencuci motor yang baru kembali pulih sedari bengkel.
Di dapur Ryan menguasai, lincah mencincang, memotong, membumbui. Memasakkan apa saja yang sedang diinginkan Ibu Kos. Sudah beberapa hari beliau mogok makan. Setelah siap saji, kemudian di antar ke kamarnya.
Kira tak berkutik di sofa ruang tamu.
Di bawah tatapan mati pemuda berambut keriting dalam foto berbingkai paling besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.