Badai Pasti Datang

5 1 0
                                    

Dua cangkir kopi panas terhidang di atas meja. Aku sadar kalau kalimat ini klise, banyak sekali dijumpai dimana-mana. Tapi baru pertama dalam kisahku. Kopi bukan minuman favorit, dan minum berdua bukan momen yang kerap.

Kami masih menggigil di samping jalan ramai itu. Dengan rintik hujan terus tampak dari jendela. Menyeruput perlahan-lahan, kucoba untuk fokus pada panas yang mengalir.

"Grr, seger ya. Pas banget." komen Tyas.

Slurp. Kukembalikan cangkir ke piring cawan. "Heem. Tapi secocok apapun kayanya aku mending minum pas keadaan biasa aja deh." Aku benci menggigil kedinginan.

"Eh, kok gitu sih. Kan kopinya berasa jauhh lebih nikmat sekarang. Berkali-kali lipat."

Kami terkurung dalam kubus kecil bernama kafe. Terpaksa untuk lagi-lagi menggunakan ekspresi klise. Hujan meresonasi kenangan atau memori yang telah berkutat jauh di dalam benak.

-×=×-

Dik, jadi keinget masa-masa sekolah dulu ya. SD, terlebih SMP sama SMA.. Kamu itu dulu anak pindahan ke kelas 8-B bukan sih? Terus naik kelas, 'pindah' lagi ke 9-A. Dasar emang, di tengah jalan tiba-tiba ada aja yang mau menggantikan tahtaku. Hehe, canda.

Pokoknya walau nggak pernah ngobrol, apalagi tengkar betulan, kita berlomba-lomba terus kan. Selalu berusaha jadi yang terbaik, ranking pararel. Tapi sampai akhirnya.. pas ujian nasional kita malah kalah sama yang pake kunci. Duh duh.

Intinya, jadilah kita sampai di obrolan mainstream waktu itu. Dengan pertanyaan "Ngelanjutin SMA kemana?" Waktu itu juga kita sadar bakal saling pisah, walau nggak pernah begitu satu.

"Sekolah favorit dong! Temen-temenku juga pada berbondong-bondong mau kesana. Kamu sendiri gimana, Dik?" kataku.

"Mm rumit sih. Intinya orangtuaku kurang srek sama lingkungan di sini, dan aku harus belajar lebih mandiri.. jadi aku bakal sekolah di kota seberang. Sebetulnya malah, kabupaten."

Aku ngira pernyataanmu waktu itu konyol. Paranoid banget sih. Emang seberapa buruk sih pergaulan di kota, anak muda metropolitan.. sama sekali.

Aku, selalu, salah.

Rokok, kafein, alkohol. Sepi, tengah malam, beramai-ramai. Dari sudut pandang objektif aja semua itu udah parah. Siapa yang nggak mau punya teman populer? Jadi populer. Mengikuti trend dan, selalu relevan di sekitar. Sekitar 'teman' yang menjerumuskan.

"Ayo dong, Yas. Gimana sih kamu udah susah-susah masuk sekolah terfavorit kok cuma jadi bayangan. Jadilah orangnya, jadilah subjek, jadilah pelaku!"

Seragam putih abu-abu hanya jadi tanda bahwa aku membayar iuran tiap bulan, dan punya data tersimpan di database sekolah. Namun yang terbalut di dalamnya, sungguh, tidak mencerminkan sosok penerus bangsa, yang berilmu.

Aku ngerasa nggak punya pilihan. Selain mengikuti arus yang, sudah jelas tercemar.

-×=×-

"Aku sempat.." sebulir air mata berekor mengalir dari matanya yang kian jernih berkaca. "..tersesat, Dika." Helaan napas panjang mengikuti.

Aku benci diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa. Yang tidak peka akan sekitar. Tidak bertindak saat dibutuhkan. Padahal tepat di hadapan.. Meminum kopi yang sisa setengah, dan kian dingin, jadi satu-satunya perilaku yang tertuju.

Tyas menyeka pipinya. "Aduh apaan sih, hehe, aku jadi cengeng gini."

"Nggak apa-apa kok, Yas. Lumrah banget buat kita punya banyak emosi." Semuanya tidak selamanya menyenangkan kan.. "Kali ini kamu bener, kopinya nikmat banget." Karena Tyas sudah pernah jatuh ke jurang, diterjang badai yang membekukan. Maka sinar matahari menerpa wajah, atau secangkir kopi saja sudah berarti banyak untuknya..

Membuat orang yang tak tahu ceritanya, melihat perilakunya sebagai di luar porsi. Lebay, overreact, overdramatic. Tidak memberi harapan agar dia menemui dunia yang tepat.

Aku pun memasang senyum selebar mungkin.

Tyas membalas tak kalah lebar, meski masih disambi sedikit isak. Tiba-tiba dia memegang tanganku, erat. Jujur mengejutkan.

Matanya masih berkaca-kaca, tapi berusaha senyum setulus mungkin. "Makasih ya, Dik. Buat hari ini.. mm.. gimana tentang hari-hari ke depan?"

Perlahan-lahan, aku coba melepas genggamannya.. apakah ini yang dia lakukan pada seorang 'sinar matahari'? Tidak, aku tidak bisa jadi orangnya. Sungguh ada sesuatu yang mengganjal. Kami, sama-sama masih jauh di dalam palung, gelap.

"Aku juga terimakasih banyak, Yas. Buat hari ini." Tak bisa kubiarkan salah satu pun dari kita, menyesal kedepannya.

Setelah itu aku bangkit dan menuju kasir, membayar dua cangkir kopi yang masih belum habis. Lalu melangkah keluar. ♪Do•

"Dika?"

Siapa yang memanggilku? Suaranya familiar, lama tak terdengar, ngangenin.. "Oh hai, Kira! Lama nih nggak ketemu."

"Iya nih kamu kemana aja. Barusan dari kafe? Ngapain?" ujarnya setelah melirik arah kedatanganku.

"Itu, ada Tyas. Temen lama itu loh yang waktu kamu ketemu. Dia lagi ada, masalah.."

"Oh.. kasihan..." hening.

"Ngomong-ngomong soal masalah nih.. aku ada banyak kasus kemanusiaan. Tentang alam bawah sadar, luar kepala, dan luar kendali." kataku dengan santai.

Namun reaksi Kira tidak. "Hah? Maksudnya kasus apaan? Kok, kedengaran mistis gitu sih.."

"Hahaha, mistis apanya, itu.. soal perasaan. Katanya di psikologi ada pelajaran, rumus-rumus cinta gitu kan?"

"Oalahh aku kira apa, Dik, Dik. Hmm, kamu ini emang masih newbie ya soal cinta. Siap deh Kira bantu." Ia menepuk bahu lalu merangkulku, mendorong agar aku berjalan. "Pokoknya sekarang antar aku dulu ke parkiran, nanti biar pulang sama-sama naik sepeda, oke?"

Ke O

Case ScenariosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang