Menjangkau Masa

6 0 0
                                    

Aku menemukan banyak media yang bisa digunakan untuk, menyalurkan talenta ini. Sungguh beruntung hidup di era ini.

Selain dari 'menjual' puisi ke koran, aku bertemu salah satu dosen yang mau membayar lebih besar untuk video reportase. Memang sulit kalau sendirian, tapi aku bisa jadi penulis naskah dan pengoperasi kamera.

Cukup untuk membuat timku bertoleransi, jika bayaranku lebih banyak. Hehe..

***

"Bener kamu datang ke sini, Dik. Ada banyak yang mau kubicarakan.." ujar Kak Alda sangat welcome. Syukurlah dia mulai pulih.

Aku datang ke rumahnya untuk mengecek kabar. Dia sedang duduk santai di halaman belakang, ditemani laptop dan roti. "Hehe.. Makasih ya, Kak. Udah dikasih tempat dan konsumsi lagi.."

"Nggak masalah, btw roti ini buat ngasih makan ikan."

Oh..? Ternyata di dekatnya ada kolam kecil yang berisi ikan koi. Berenang dengan tenang meski lapang tak begitu luas. Tetap menggeliat cantik.

"Ya tapi kalau kamu mau makan juga nggak apa-apa sih, Dik.. hahaha. Tapi pertama, kamu baca dulu nih naskah novelku." Kak Alda memperlihatkan padaku file lima belas halaman ukuran kertas A4. Ukuran font sebelas.

Sudah lama aku tidak melihat senyum tulus itu. "Waah, udah banyak ya. Udah bisa jadi empat-lima bab ini di ukuran novel." Setelah itu aku membaca satu demi satu kata yang tertuang di sana. Sementara Kak Alda meneruskan memberi makan. 

Sepuluh menit, lima belas menit.. berlalu. Semakin banyak huruf terserap, semakin berat rasanya untuk menerima selanjutnya. Sampai tante datang membawa dua cangkir teh dan biskuit.

Menghirup dalam-dalam uap teh hangat. "Apa Kak Alda yakin.. bakal baik-baik aja nulis sebanyak ini, sejujur ini tentang kehidupan pribadi Kakak. Bersama Mas Jaka.."

Mulut ikan telah sampai di permukaan, terbuka-tertutup. Menunggu potongan kecil roti yang tinggal dilepaskan. Tapi tak kunjung. "Hanya ini cara untuk mengenangnya dengan sempurna, ya kan?"

Deg. Ditanya balik. Aku tidak layak untuk menjawab, namun hanya aku yang punya tempat.

"Betul, Kak. Itu yang diinginkan Mas Jaka juga."

***

Selain untuk meluruhkan masalah Kak Alda, aku datang untuk meminta pertolongan yang sepadan. Meminta beberapa tips menjalani hubungan, dan mempertahankannya.. karena dia sudah pernah kandas. Aku juga di ambang ombang-ambing. Maka ada janji agar tidak akan terulang kembali. Kami membawa misi untuk memaknai cinta dengan purna.

Tidak pulang dengan tangan kosong. Apalagi hati kosong. Aku penuh semangat. 

"Oy, Dik. Akhirnya dateng juga. Kemana aja sih Minggu pagi udah ngeluyur. Tuh masih ada sayur nangka di meja makan. Ibu kos sama aku udah selesai makan."

Baiklah. Tanpa kembali ke kamar terlebih dahulu, aku menaruh bawaan di meja makan, lalu mengambil nasi. Ryan mendekat lalu asal membuka kantung plastik itu.

"Katanya udah makan.." ujarku menggodanya.

"Kan baru makan berat, yang ringan belum. Biar impas dong. Hehe makasih lo ya, tahu aja kalau aku suka kukis.. eh sebentar. Apaan nih?" Dia mengeluarkan buku bersampul mika. Gambarnya ada suatu gedung kembar yang ikonik.

"Aku punya rencana besar untuk liburan semester dua ini, Yan. Hehe."

Ryan tidak langsung paham, masih membolak-balik buku, membaca judulnya. "Liburan.. kan masih sebulan - dua bulan lagi... Wehh, aku paham! Memang harus direncanain jauh-jauh ya!"

***

"Ra, kamu inget nggak? Kita dulu studi kampus ke sini waktu SMA," aku membuka percakapan dalam perjalanan menuju gedung administrasi universitas.

"Inget dong. Nggak kaya kamu yang pelupa," dia menjawab datar.

"Yahh masih ngambek nih? Hmh, intinya, lihat deh sekarang kita lagi bawa KTM sama sertifikat-sertifikat yang didapat selama sepuluh bulan lebih kuliah di sini.."

Kira tidak langsung menjawab, seakan memastikan, dia melihat dalam-dalam map biru transparan yang dibawa. Tampak lambang universitas kami dan universitas populer di luar negeri pada halaman pertama. Dokumen lamaran untuk beasiswa.

Hihihi.. terdengar tawa kecilnya. Volumenya meningkat. "Hahaha iya iya, Dik. Nggak kok aku udah nggak marah, kamu juga jangan jadi cemberut gitu dong,"

"Ih, siapa yang cemberut? Hmh," aku berusaha membuat ekspresi datar. Tapi entah tak berhasil.

"Tuhkan, itu kamu lagi cemberut. Salahnya muka sendiri, jadi nggak bisa lihat," dia lanjut tergelitik. Aku tersenyum lebar. Melihat dirinya bahagia adalah cita-citaku. Maka dari itu aku harus rela, bila memang perlu melepasnya kuliah sendiri di sisi lain bumi.

"Ayo kita sama-sama berjuang, Dik! Biar bisa sama-sama berangkat!" lanjutnya kini lebih serius.

Tapi bagaimana lagi. Tentu ada pikiran pesimistis. Tidak bisa aku mengambil jurusan Sastra Indonesia di luar sana. Bahasa Inggris adalah kedua yang paling kukuasai, namun tentu, jauh berbeda dengan semua yang telah kupelajari selama ini!

Harapan masa depan tak bisa diandalkan sempurna. Usaha kini harus tetap prima. Dengan langkah-langkah preventif tetap terencana. Inilah saatnya.

Aku memegang tangan Kira, agar langkah cepatnya dihentikan sebentar. "Ya, Dik..?"

"Anu.. sebelum betulan kesana untuk, kuliah. Gimana kalau kita latihan dulu?"

Dia kebingungan. "Latihan..? Latihan soal gitu?"

"Bukan." Aku merogoh ke saku tas. "Liburan semester ini, ayo kita ke luar negeri," dua tiket pesawat kuangkat di depan mukanya. Yang memerah, salah tingkah. 

Aku juga sama! Ini suatu keputusan yang besar. Ahh rasanya mau meledak!

"Ayo, Dik! Setuju!" dia menjawab semangat sekali. 

Case ScenariosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang