Gah! Seruku saat batang besi yang tertanam di tanganku dicabut. Darah merah mengucur begitu saja. Kapas tebal melingkar dan direkatkan di pergelangan. Sudah sebulan lebih, akhirnya fisikku pulih betul. Harus siap untuk ujian minggu-minggu ke depan.
Hari Kamis. Tanggal 10 Maret.
Akhirnya bisa mengendarai sepeda lagi, aku mencoba menikmati terpaan angin pagi. Gesekan rantai dengan gir, roda dengan aspal, benakku dengan aliran memori.
Tentang.. penyesalan selama ini, sebagaimana kamu dan aku tidak punya kesamaan. Bayangkan saja seberapa mudahnya kita jadi dekat jika, datang ke tempat sama, suka makanan sama, senang musik dan film yang sama.
Sama-sama suka dan selera.
...
"Waduh minggu depan kita udah mulai ujian praktek nih. Tahu yang paling aku takutin? Tes kewirausahaan! Kita harus masak coba.." ujarku pada Ryan, langsung setelah mendapat jadwal ujian.
"Hahaha, dasar cowok ngekos. Kan bisa, masak mie ala rice cooker?" ejek Kira.
Untung Ryan tidak berniat melanjutkan. "Udah nggak usah bingung, Dik. Kalau mau mampir aja ke rumahku. Emang masih dapur lama sih, tapi dari situ juga bisa lahir makanan-makanan yang nggak kalah dari restoran bintang lima."
Dia membusungkan dada, lalu nyengir lebar ke arahku. Sepertinya ada sesuatu.
"Tapi?" kataku mewakili.
"Yah, tau aja kalau ada syaratnya. Anu, kamu ajarin buat praktek Bahasa Inggris ya?"
"Oh gitu. Siap deh. Cepil." aku menyanggupi. "Ikut nggak, Ra?"
"Mm.. Iyadeh, kalau sempat."
***
Dengan kepalan tangan kiri—ternyata jadi terbiasa, aku mengetuk pintu. Semoga ini rumah yang benar, semoga ini rumah yang benar.. harapku berkali-kali. Ini pertama kalinya datang, dengan bermodal arahan dari Ryan dan sedikit coretan denah di kertas sobekan buku catatanku.
Setelah ketukan kedua, terdengar suara langkah ringan mendekat. Lalu kedua engsel yang berkarat pun mengeluarkan bunyi.
"Sore, Kak.. ada keperluan apa?" kata gadis pembuka pintu, ia masih berseragam putih biru. Berkulit sawo matang, dan berambut hitam panjang. Di badge namanya tertulis Dwi Kartika S.
"Eh, sore. Aku nyari Ryan, ini rumahnya kan?" tanyaku tanpa basa-basi. Pertama yang penting agar tidak salah rumah, ngobrolnya nanti saja kalau ada kesempatan. Eh.
"Iya, iya betul."
Wah, lega.
"Mas! Mas Ryan! Dicari temennya nih!" suaranya begitu melengking saat memanggil. Refleks wajahku mengeryit.
Wah, nggak jadi lega.
Tak lama, setengah wajah Ryan muncul dari balik tembok. Matanya menyipit mencoba melihat siapa yang sedang ada di bingkai pintu. Baru kemudian mendelik.
"Oh, Dika toh. Ayo masuk!"
"Permisi.."
***
Dapur lebar dengan alas semen, satu kompor gas, dua kompor tradisional, tumpukan kayu bakar, dan penuh kepulan asap. Aku siap mengeluarkan catatan. Tiba-tiba seperti intro teater, Ryan maju menampakkan diri.
"Jadi minggu depan kan kita disuruh praktek masak. Nah bahan pokoknya tuh ditentukan. Yaitu, ikan! Uhuk uhuk.."
"Siapa juga yang nyuruh, asap kok dipake jadi kabut."
"Hehe, ayo deh mulai, kita bersihin dulu ikannya!" ajak Ryan.
Aku pun mengambil selang dengan air yang terus mengalir. Sedangkan Ryan mengambil dua ikan nila sebagai contoh. Adiknya ikut datang dengan membawa beberapa wadah juga pisau.
"Pertama-tama hilangin dulu sisiknya. Kita kuliti tanpa ampun, hahaha!"
"Ih apaan sih, Mas Yan."
"Ternyata di sekolah atau di rumah sama aja ya?" ujarku seraya memainkan bolpoin.
Setelah bersih dari sisik, kami membelah perutnya dari bawah. Dibuka dengan perlahan, lalu dikeluarkan semua darah dan kotoran. Dengan berhati-hati agar tidak tertusuk duri atau merusak daging.
"Jadi, Mas-Mas mau masak apa hari ini?" tanya Dwi.
Aku langsung teringat makanan kesukaanmu, ikan goreng bumbu pedas manis. Yang mana aku kurang suka karena selalu malas membersihkan durinya. Hm.
Akhirnya kami memutuskan untuk membuat pempek. Aku sempat coba cari resepnya di internet, tapi ternyata adik Ryan sudah hapal. Dia cekatan membuat adonan bahkan sambil menunjukkan kami tahap-tahapnya. Ryan hanya manggut-manggut dan aku lanjut mencatat.
Kriuk! Hmm.. gurih. Pukul lima sore, akhirnya masakan jadi.
"Gimana rasanya, Mas, enak?" tanya Dwi memandang Aku dan Ryan.
Seperti biasa, kalau Ryan sudah memasukkan sesuatu ke mulutnya, tak bisa diganggu. "Hmm, nyam nyam,"
"Hehe, kayanya bagi Ryan udah jelas deh. Tuh dinikmatin banget. Sampai nggak kedengaran kalau ditanyain."
"Kalau menurut Mas Dika gimana?"
"Mm, enak, gurih.. jadi keinget dulu aku pernah makan pempek langsung di Palembang. Tapi emang mungkin yang susah itu nyamain cukanya ya? Di sana paling khas."
"Oh gitu ya, Mas.."
"Iya.."
Hening sejenak. Terdengar suara letupan tungku api mewakili. Perasaan yang berapi-api? Ah, tidak mungkin. Aku pun menggeleng-geleng. Tiba-tiba tangan Ryan memanjang, meraih piring di tengah meja.
"Eh eh, bentar Yan! Jangan diembat semua. Sini aku foto dulu. Ditata yang rapi, ntar aku upload deh."
"Jangan lupa tandain aku lo, Dik!"
"Loh, Dwi juga dong. Yang masak aja siapa, ih," sekarang dia merengut.
"Iya iya tenang aja. Memang nama akunmu apa?"
Namanya masak itu ada resep dan prosesnya. Soal cocok-cocokan. Kapan harus memasukkan bahan pokok, bumbu, dan komposisi lainnya. Agar kombinasi dan nutrisi serasi. Agar nanti, hasilnya bisa dinikmati bersama.
Sampai terhidang kisah manis di satu porsi sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.