Merintih, hanya itu yang bisa kulakukan. Tumpuan tangan dan kaki betul masih lemah. Tak kuat mengangkat badan naik ke kasur.
Lima menit serasa berjam-jam.
Pintu diketuk, lalu lagi-lagi ada wajah Bella mengintip dari jendela. Dia langsung terkejut dan memanggil petugas yang ada. Sedangkan kamu dan Ryan mendekat dan membantuku kembali ke ranjang.
Tak repot, ternyata memang hanya butuh sedikit bantuan.
Saat petugas yang dipanggil Bella datang, dan menemukan aku sudah berbaring lagi—yang mana Bella malu sendiri—dia memutuskan untuk memasang pengaman pada samping kanan dan kiri ranjang. Kemudian merendahkan tinggi dan membetulkan posisinya.
"Terimakasih, Mas." ujar kita berbarengan.
"Iya, sama-sama.." sudah.
Aku terus menggaruk kepala, sungkan dengan teman-teman. Cek cepat ke layar ponsel, bagaimana hasilnya. Sama sekali tidak bagus. Mungkin memang susah mencari sudut pandang yang menarik di lingkup ini.
Catatan:
Segera kulakukan saat keluar dari rumah sakit."Ngapain sih, Dik. Kok bisa-bisanya sampai jatuh ke lantai." Bella langsung saja komen. Dan seperti biasa, Ryan tergelak sendiri.
"Itu, tadi, ada tikus ke bawah kasur.." ujarku mengibul.
Oh..
"Hehe, mm, kenapa kalian datang kemari? Maksudku, makasih udah mau mampir.."
"Mumpung hari Minggu nih, kepikiran aja buat mampir lagi. Kemarin kan cuma sebentar gara-gara kamu perawatan, dan sekarang pingin tahu, perkembangannya. Jadi, gimana kabarmu sekarang?" jelas Ryan.
"Oh gitu, baik kok. Cuman agak kesemutan gara-gara nggak pernah gerak."
Senang sekali aku dihampiri teman-teman dekat. Walau sedekat-dekatnya bagiku itu, jujur masih belum sepenuhnya saling kenal. Menurutku itu tidak masalah, justru tidak akan terlalu cepat bosan satu sama lain.
Maksudku dari teman dekat, Ryan dan Bella. Kamu. Itu masih cita-cita.
"Wah, kamu nonton seri detektif itu?" tanya Ryan saat melihat tampilan di televisi.
"Iya, banyak yang bilang itu adaptasi ke layar yang paling bagus dari novel aslinya. Habis musim pertama aja aku udah suka banget sama sudut pandang dan cara berpikirnya."
"Iya gitu? Kedengarannya keren." katamu ikut antusias.
Bella pun semangat. "Ayo ayo kita nonton. Ayo, Dik, disetel aja!"
Tak terasa, cuaca mendung di luar. Awan kelam berkumpul bersama di langit-langit. Seketika, kamar yang menggelap menjadi teater kecil bagi empat remaja.
***
Suara lalu lintas yang ramai mobil pribadi dan taksi sampai ke ruangan. Namun aku merasa curiga, ada mobil lain yang stand by di luar sana. Tidak terlalu jelas karena hujan rintik-rintik.
"Aku tahu semuanya, Dika" katamu tiba-tiba. Bella membentuk ekspresi seperti sudah mengira hal itu akan terjadi, cepat atau lambat. Aku terkejut, banyak sekali yang sudah kusembunyikan selama ini.
"Ta, tahu apa?"
"Sudahlah, mengaku saja!" Bella membentak.
Di sampingku, Ryan tampaknya memegang sesuatu di balik badannya. Matanya berusaha cermat menatap sekitar. Menunggu aba-aba. Aku juga waspada, perlahan tangan kiri masuk ke dalam selimut. Perencanaan adalah akar dari setiap aksi.
"Tidak akan, aku bahkan nggak paham apa yang sedang kalian bahas." jawabku ketus, sudah muak.
"Stop basa-basi! Mending kamu langsung saja katakan pokok problematikanya."
"Sabar dong, Ryan. Aku tahu kamu yang bertugas di sini, kami cuma membantu. Tapi cobalah nikmatin penggerebekan ini." Bella mendukungmu, kalian sungguh pasangan yang serasi.
"Saudara Dika ini habis melakukan aksi kriminal yaitu pengkhianatan kepada kita semua. Dia bohong soal penyakitnya, terus memanfaatkan kepedulian kita biar dapat perhatian."
Mataku terbelalak, bagaimana kamu bisa tahu semua ini?! Aku tertangkap basah. Tidak seharusnya ada orang yang menjadi saksi dari aksi ini. Tanpa basa-basi, aku pun segera mencoba mengeluarkan pistol dari balik selimut.
Sebelum sempat teracung, satuan sensus mendobrak pintu. Ternyata ada mobil polisi di luar. Selanjutnya mereka menghujani ranjangku dengan puluhan peluru.
Sial.
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.