"Tinggi badanmu sekarang berapa nih?" -AD
"Dih, ngapain sih tanya-tanya gitu -_-." -HN
"Yaa nggak apa-apa. Mau mastikan aja kamu tumbuh apa nggak." -AD
"Parah, ya tumbuh lah, Di. 15!" -HN
"Masa, gak percaya!" -AD
"Beneran kok. 15, milimeter :p." -HN
Adi sedikit tergelitik. Sambil berbaring di atas sofa dengan televisi masih menyala, dia bosan-bosan bermain ponsel. Waktu itu Hani sedang online, setelah sekian lama. Adi pun berinisiatif untuk mengajak ngobrol.
Dulu sekolah mereka sama, kelas yang sama. Meski tidak begitu dekat, sering ke kantin bersama, bermain ke taman, atau sekedar mengobrol hingga larut malam, mereka tahu satu sama lain. Hani selalu ranking pertama, dan Adi kedua.
Kompetisi diantara mereka cukup ketat, walau tidak tampak. Selalu ada saja usaha-usaha terselubung, di bimbel masing-masing, atau metode pembelajaran sendiri. Hampir tidak ingin berbagi.
"Hahaha, masih kerdil dong. Itu memuai doang paling." -AD
"Iya kali ya. Kepala panas banget nih ngerjain fisika." -HN
"Gila dah, kamu yang biasa ranking satu aja mendidih. Gimana aku?" -AD
"Nggak apa-apa, hati kamu kan dah dingin beku. Paling juga jadi suhu ruangan." HN
"Bisaa, bisa." -AD
***
"
Ni, Hani, nilai ujian IPAmu berapa?" tanya temannya. Saat duduk-duduk di bangku depan kelas.
"95. Kamu berapa?"..
Adi yang berada di bingkai pintu, mendengar percakapan itu. Lalu mengeluh dan menyesal. Di tangannya ada selembar kertas yang bertuliskan nilai sembilan puluh tiga.
"Apasih, Di. Biasa dong. Aku dapat tujuh puluh lima saja biasa." ujar teman Adi saat menyadari mimik mukanya. Entah bermaksud menghibur atau malah mengejek.
Sedangkan di kali lain, tepatnya esok hari dimana hasil ujian Bahasa Inggris dibagikan. Adi mendapat nilai 98, saat mengerjakan dia memang merasa lancar sekali. Dengan percaya diri, ia pun mendatangi Hani.
Waktu itu Hani tampak kesal. "Hai, Han. Nilaimu berapa?"
"Ih kesel deh." Hani masih merengut.
"Kenapa sih emangnya.."
"Ini nih, tinggal sedikiiit lagi. Masa nilaiku 99??"
Adi melongos, tidak jadi dia menang melawan Hani. Sudah, sampai situ saja interaksi mereka waktu itu.
Namun di kelas, kompetisi berlanjut. Ada satu guru yang interaktif sekali. Sedikit-sedikit, tiap beberapa kalimat, siswanya selalu dilibatkan. Siang itu tepat setelah mengucap salam, beliau langsung melantunkan teka-teki.
"When I am young I am tall, when I am old I am short. I love to glow, breath is my foe.. What am I?"
Hani dan Adi mengangkat tangan. Mungkin tidak bersamaan, tetapi tak kelihatan mana yang duluan.
Hani tak ambil kesempatan mengalah. "Saya dulu, saya dulu. Kan ladies first, hehehe.. jawabannya Matchstick, Pak"
"Hmm, kalau jawaban Adi gimana?"
"Bukan korek, Pak. Candle, lilin."
"Naah, perfect score buat Adi!"
Adi senang bukan main, ini yang dia nanti-nanti. Sedangkan Hani masih bingung, ada rasa tak terima.
"Loh, Pak.. korek api kan juga bisa. Sebelum dibakar tinggi, nantinya pendek. Terus menyala-nyala, dan mati kalau kena napas.."
"Ya.. mungkin bisa. Tapi bukan itu jawaban yang saya cari."
"Intinya kan sama saja, Pak.."
"Udahlah, Han. Tenang aja, masih ada lain kali."
Yap. Kelas itu hanya diisi oleh suara ketiga orang itu. Memang ada yang lain, cakap-cakap di belakang sana. Tapi yang antusias sedikit sekali. Apalagi hanya pertanyaan sepele yang tidak bakalan masuk rapot. Siapa peduli?
Kalian tahu pelajaran yang paling disenangi, yang mana siswa paling antusias? Tentu. Pelajaran olahraga. Namun justru kebalikan, Adi dan Hani kurang senang. Sebanyak apa alasannya Adi tidak akan mau diajak main sepak bola.
Tapi Hani, yang sebenarnya ada kemauan kecil. Jadi malas karena badannya yang pendek, sekali. Untuk lompat-lompat lah, lari-lari kecil lah, dia sering jadi ejekan. Bercanda, tentu.
"Heh, ngapain kamu ketawa-ketawa ha?" kata Hani melihat Adi yang tiba-tiba tergelak sendiri saat berpapasan di taman.
"Hahahaha, gak gak deh. Nggak apa-apa."
"Idih, awas kamu ya. Ngejek lagi kulempar batu nih."
"Ah, gampang. Paling yang kena nanti juga kaki, nggak sampai kalau ke kepala."
"Iya, percuma. Kaki kamu nggak luka aja udah nggak bisa lari, yek, cewek."
***
T
eringat pengalaman lama itu, Adi sadar beberapa hal. Bahwa seberapa jauh jarak antara mereka, tetap ada saja poin yang menarik mereka bagai magnet. Mungkin di sini, topik akademis.
Maka itu lah yang Adi gunakan kali ini. Semua relevansi yang telah mereka lalui. Meski sedikit sekali.
"Jadi, rencana habis lulus mau lanjut kemana?" -AD
"...Kamu kemana?" -HN
"Gimana sih, balik nanya. Apa mau langsung jadi ibu rumah tangga?" -AD
"Dih, ya kali. Cita-citaku juga tinggi ya. Jurusan Teknik Industri!" -HN
"Wihh, keren. Oke deh. Kalau aku jadinya pingin sastra.." -AD
"Eh, kok. IPAmu kenapa emang?" -HN
"Nggak kenapa-kenapa.. cuman sekarang, lebih 'jatuh cinta' aja sama sastra" -AD
"Hahaha, jadi baperan nih. Emang dasar, cewek." -HN
Kini di atas sofa, Adi duduk. Televisi pun sudah dimatikan sejak tadi. Tapi tontonan tetap terus berputar, meski ia tidak tahu apakah ini iklan ataukah acara utamanya. Durasinya kok tidak beda. Ya, benaknya terus menerka, reka, rekaman lama.
Adi merasa.. ini bukan cara yang 'baik' untuk suatu jalinan, tertentu. Tapi bisa jadi jalan dengan peluang terbesar.
Semoga saja di balik sindiran-sindiran itu, tak ada niatan buruk sebetulnya. Justru, doa-doa sederhana agar saling menjadi lebih baik.
"By the way, nama akun kita kok mirip ya?" -HN
"Sama apanya..?" -AD
"Yaa sama-sama singkatan gitu. Terus huruf pertama pake 'a', kedua pake 'i'." -HN
"Iya juga ya. Eh bentar. Namaku jadi Aadi dong. Ntar jadi saudara Aagym deh." -AD
Masih dalam interaksi singkat, yang tak tampak intensi betul di baliknya, namun saling optimis, ekspresikan kenyamanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.