The Trust Theory

7 0 0
                                    

"Oh jadi ada yang namanya, propinquity atau proximity level, mere-exposure effect.."

"Sama perceptual fluency. Sejauh ini baru itu yang aku pelajarin di kelas."

"Welehh, susah banget kata-katanya, Ra"

"Hahaha, teori-teori dan formula ini untuk hubungan dalam macem apa aja lho ya. Nggak buat pacaran doang."

"Okelah oke. Yaudah deh, nggak kerasa udah malem nih. Mimpi indah yaa!"

"Sebenernya, tidur yang paling efektif itu yang tanpa mimpi. Jadi otak bisa lebih istirahat gitu..."

"Ya ya ya, okedeh Bu psikiater. Bye bye bobo dulu." Hoahm. Detik selanjutnya ponsel sudah terlempar ke kasur bersamaan dengan tubuhku. Tidur lelap.

***

Efek tingkatan propinquity, atau bahasa Indonesianya keakraban. Itu nggak beda sama pepatah Jawa 'Witing Tresno Jalaran Soko Kulino'. Bahwasanya cinta tumbuh karena terbiasa.

Tapi.. kalau terlalu terbiasa. Kesannya justru, biasa, dong. Tarik-ulur dan pasang-surut memang perlu. Karena lagi-lagi, nilai asli dari sesuatu baru tampak setelah keberadaannya makin langka.

Aku sudah terlalu jauh dari pusat.

...

"Jadi kamu bener-bener beneran punya masalah?"

Aku mengangguk semangat, mengisyaratkan 'masa sih aku bohong'. "Tapi nggak sepenuhnya, masalah-ku sih.."

"Dan.. kamu masih nggak bisa ngasih tahu aku, siapa aja yang terkait?"

Aku pun menggeleng, memang nggak bisa. Tapi, ya dia bener dong. Aku pun manggut-manggut. Eh tapi. 💫

"Ngapain lagi sih, kepalanya muter-muter nggak jelas gitu. Et dah. Yaudah deh yang kita bahas hari ini apa?"

Banyak, Ra. Dan aku harap semua ini tentang kamu. Tapi sama halnya dengan suatu jurusan di perkuliahan, pokok bahasan bukan hanya satu lalaran (bukan lamaran, jangan baper). Walaupun judul dan prospek yang dituju, satu.

Jadi sebetulnya, aku merasa berkewajiban. Untuk membantu Mas Jaka memperbaiki hubungan dengan Kak Alda. Lalu menjelaskan kebenaran pada Tyas, dan mengeluarkannya dari diferensiasi persepsi. Dan yang tak kalah penting, soal pertemananku dengan Ryan..

Tentu tak bisa kulakukan sendiri.

Sudah hampir tiga minggu kami mendiskusikan banyak hal. Sekalian membangun komunikasi yang sedikit terkena erosi setelah lama diaduk dan diamuk ombak jarak serta waktu.

"Itu dia, problematika komunikasi! Itu biang keroknya, Ra!"

Kira terbatuk. "Kalo teriak lihat-lihat dong. Lagi nelen bakso nih."

Aku lupa kami sedang di tenda biru pinggir jalan, beberapa pengunjung lain memasang pandangannya padaku. Mereka juga kaget. Maaf, maaf, monggo dilanjutin makannya.

"Nggak salah sih, kita kan makhluk sosial. Udah berabad-abad evolusi untuk menemukan cara interaksi paling efektif. Walau nyatanya masih ambigu, imperfek." Slurrp, kemudian Kira menyedot bihun.

Bisa-bisanya dia sedatar itu saat menjadi bijak dalam waktu bersamaan.

Seperti halnya manusia menciptakan tulisan, versi simbol dari perkataan. Berbagai bahasa sebagai aturan dan runtutan berbeda, memenuhi kebutuhan bahkan morfologi tiap bangsa. Sampai ke emoji, di setiap ponsel, yang menggambarkan langsung emosi raut muka.

"Terus, ada nggak semacam tips dan trik buat ngisi celah komunikasi itu?" Tuk! Sendok membentur dinding mangkok. Sejak tadi aku hanya memotong-motong bakso menjadi bagian-bagian kecil.

"Yang pasti, kita semua harus saling jujur. Terus face to face itu cara yang paling menyeluruh. Lihat wajahku, Dik" Hm? "Denger suaraku, cium bauku, lihat badan aku."

"Oke..?"

"Dengan pertemuan langsung kaya gini, banyak faktor yang saling membilai maksud dan niatan subjek. Semuanya. Awal sampai akhir, atas hingga bawah. Misal aja ya, orang yang kamu ajak ketemu datangnya cepat, pasti udah dinilai semangat, dan disiplin ya kan. Atau kamu terlambat, tapi dia masih menunggu, kita anggap dia setia dan sabar.."

Getaran jemari yang tidak bisa diam. Hentakan kaki tanpa tempo tertentu. Kedipan mata pada konteks tertentu. Pupil membesar. Detak jantung semakin cepat. Semuanya punya makna berbeda. Bisa menunjukkan mana yang bohong, mana yang benar.

Siapa yang marah, senang, bingung, terpaksa, canggung, suka, benci, ingat, lupa, apa saja.

"Bau bakso sih, Ra." kataku polos. Kira langsung membuat ekspresi kedua mata dan mulut garis lurus. (-_-)

***

Masih duduk di atas sadel sepeda, aku melepas Kira untuk masuk ke area kos putri. Mengucap terimakasih banyak.

"Aku juga terimakasih, kamu udah nganterin kesini. Dan.. jadi punya kesempatan untuk ngeluarin pikiran, pelajaran yang udah aku dapet selama ini."

Dia selalu yakin bahwa sesuatu yang terjadi pada seseorang, belum menjadi pengalaman sempurna jika belum dilampiaskan selanjutnya. Dalam bentuk perbuatan ataupun perkataan.

"Hehehe.. kapanpun. Lagipula, kita kan emang berbeda, tapi untungnya saling melengkapi." begitulah kesimpulanku malam itu.

Kira tersenyum tipis, namun tulus. "Setuju. Jangan jauh-jauh lagi ya, Dik.. janji!"

"Janji! Dah, selamat malam.."

Menuju jalan yang sepi dan gelap dengan penerangan tak lebih lampu berjarak tiap dua meter. Sepeda kukayuh dengan berat, namun mantap. Sebagaimana aku tahu beban yang kutanggung besar. Begitu pula berlian di baliknya.

Case ScenariosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang