Apakah kamu masih seorang dengan hati baik, seperti yang selalu aku percaya sebelumnya?
Dasar tega Ryan, tidak kunjung datang meski sudah kutelpon dari kantor polisi. Dengan kemeja kuyup keringat, rantai sepeda hampir putus. Tidak memberiku pilihan untuk melalui ini bersama-sama. Dengan pasang mata kedua, atau jejak kaki di samping..
Mengurus hal yang menurutku tidak manusiawi di kala ini. Salah-menyalah mana korban mana pelaku. Lalu memulangkan motor rangsek setelah jadi barang bukti, dengan menggiring sepeda di samping..
"Nak Jaka.. kenapa kamu cepat sekali pulang? Seakan baru kemarin ibu menggendong dan membantumu belajar jalan." Rumah besar dengan banyak ruang itu, akan terasa semakin lengang dan sepi.
***
Pagi hari terasa terik. Terisak-isak. Kebanyakan orang yang datang membawa payung. Dominan warna hitam. Kelam..
Sekop tanah terakhir meratakan permukaan kuburan. Kemudian bunga-bunga ditaburkan di atasnya. Di situ tertancap batu nisan sederhana dengan nama lengkap sang almarhum Mas Jaka. Ibunya tampak tegar, mengelus-elus batu itu dengan tangan sedikit bergetar.
"Seberapa berat bagi Ibu untuk melepaskanmu, akan Ibu ikhlaskan.. agar perjalananmu kali ini lancar tanpa hambatan.."
Gempa kecil terjadi di setiap tubuh orang yang dekat dengannya.
Kak Alda sudah pulang sedari tadi karena dikhawatirkan akan histeris.. Dari semua orang di dunia, yang masih hidup, akulah yang paling tahu seberapa merasa bersalah dirinya..
Aku dan Ryan bersebelahan, menepuk debu di tangan dan baju karena tadi sedikit membantu proses penguburan..
"Aku nggak bisa maafin diriku sendiri, Dik.." ujar Ryan agak sesak. Dia ada penyakit asma, alergi pada debu seperti ini. "Aku bukan sosok saudara, atau adik yang baik untuknya.. kesan yang aku tinggalin nggak baik. Aku terlalu menjauhkan diri dan..."
Jujur aku belum bisa memaafkannya. Tak satu kata pun keluar dari celah antar bebir, kuatur dera napas. Lengan kulingkarkan di pundaknya Ryan, kuajak saja dia pindah agar tidak semakin parah.
Kami pun singgah ke gubuk kecil di ujung area makam. Sedikit menjauh dari lingkaran orang-orang yang sedang merana. Duka.
Brak! Ryan memukul kayu penumpang yang sudah banyak termakan rayap. "Aku kebanyakan lupa, nggak peka. Bahkan tentang persahabatan kita, Dik. Kemana aja aku selama ini?"
Itu pertanyaan retoris. Bukan bagianku untuk menjawab.
"Gimana.. gimana hubungan kalian tanpa aku..? Kamu dan Kira?"
Yang ini, pertanyaan analitik. Sudah kewajibanku untuk mencari jawab.
***
Segera sejak kesalahpahaman malam itu, Kira menjauhkan dirinya dariku. Semua jalur komunikasi dia putus, blok, hapus. Tidak ada jembatan bagiku untuk, menjelaskan. Bahkan secara langsung. Cara terbaik menurut Kira.
"Plis tolong, panggil dia," mohonku pada temannya. Aku tidak bisa asal ngeluyur masuk kos putri.
"Maaf, Dika. Dia bahkan sudah kesal kalau nama kamu disebut.. pulanglah."
Tidak berhenti di situ, besoknya aku menempuh jarak dua kali lipat karena melewati jalan beda arah biasanya. Menuju gedung fakultas psikologi.. bukannya mengeluh, dulu juga pernah kok. Tapi untuk hasil yang nihil?
Dua jam lebih, naik turun sepeda. Menunggu, mondar-mandir, lalu istirahat di bangku. Biasanya Kira pulang jam segitu, lewat jalan itu. Tapi sekarang berbeda. Apa aku yang merubahnya?
Karena janji yang pernah kubuat.
"Jangan jauh-jauh lagi ya, Dik.. janji!"
"Janji!"
Namun kejadian-kejadian selanjutnya tidak tampak mendukung. Aku terus chatting dengan Tyas, Kira mungkin juga tahu tentang surat yang kuberi. Tanpa tahu isinya. Hingga hinggap pada satu peristiwa yang keterlaluan. Tak terjangkau apalagi terkendali..
Aku masih ingat betul pernyataannya. "Kamu tahu, Dik? Puncak dari segala hubungan itu waktu setiap subjeknya saling punya kepercayaan penuh. Dan itu terbukti dengan berbagi kesedihan.. ketulusan hakiki."
Itulah persepsi Kira yang merupakan jembatan ideal bagiku untuk membuktikan segala keseriusan padanya. Namun sudah rapuh dan hancur runtuh, sebelum digunakan. Bukan karena ledakan yang disengaja.
Tidak ada yang salah.
...
"Aku yang salah, Dik! Aku!" Ryan berteriak keras di atas tempat jemuran.
Cepat atau lambat masalah ini harus dibicarakan dengannya. "Nggak, Yan, nggak. Jangan berpikir aneh-aneh."
"Aku cukup dewasa untuk tahu setiap aksi ada konsekuensinya. Tapi ternyata, selalu seorang idiot hanya untuk sadar, bahwa diam saja juga ada konsekuensinya.."
Daun-daun berterbangan, pakaian-pakaian yang tergantung menggelepar keras. Angin meniup dengan kencang. Menghembuskan keyakinan yang semakin tidak kokoh, bahkan kalah oleh berdirinya batang jagung.
"Aku harus menyelamatkan yang tersisa, Dik. Harus ada yang memulihkan. Dan kurasa aku lah yang bertanggung jawab."
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.