"Kita nggak bakal keracunan nih, Kak? Makannya mie terus.." celotehku seraya memainkan kamera. Bergulir di album, mengingat-ingat apa saja yang terjadi sejauh ini.
"Kan cuma pas kuliah, terus dijarak dua tiga hari. Mie nya juga beda bukan yang instan dan penuh MSG itu. Lagian kalau di kos makannya yang sehat-sehat kok," waduh, telak. "Kecuali kalau.. jangan-jangan kamu di kos sering masak mie??"
Hampir kugunakan sumpit untuk menggaruk rambut. "Hehe.. gimana lagi."
"Ya belajar masak dong. Paling nggak bikin lauk pauk biasa.."
Belajar, masak, Ryan... Bagaimana kabarnya?
"Emangnya kenapa sih Kak Alda suka makan disini? Dulu sering makan bareng Mas Jaka?" Hening. Bahkan Kak Alda menghentikan suapannya yang sejak awal lahap.
Sejak dua minggu lalu, tak lama setelah Mas Jaka menceritakan kisahnya. Aku memutuskan untuk menyebut namanya di sela-sela kesempatan, saat-saat seperti ini. Bahwa aku ngekos di rumahnya, pernah belajar bersamanya.. intinya aku kenal.
Helaan napas terdengar. Bukan karena kepedasan. Iritasi ini tidak terjadi di lidah. Tapi jauh di bawah, di dalam.
"Udah tujuh bulan sejak kami putus, Dik.."
-×=×-
Beneran, sepatah teguran dia menawarkan pertolongan waktu itu sudah jadi contoh yang sempurna sebagai kesan pertama. Tidak basa tidak basi. Kakak mesem-mesem di jalan, terlebih karena malu sih. Tapi ya, siapa sangka. Belum tentu orang paham apa yang dia rasakan sendiri.
Sebagaimana ilmuwan lebih paham detail permukaan bulan di atas sana. Daripada kedalaman laut di bumi ini. Apalagi jurang nurani.
"Eh, Dora the Explorer. Gimana, udah ketemu?"
Di kantin antara gedung fakultas seni dan bahasa ini, dua hari setelah itu, kami ketemu lagi. Bisa-bisanya dia langsung menyapa kaya gitu. Gara-gara dulu aku nyari-nyari 'peta'. Dan, kebanyakan tanya. Kalau dipikir-pikir lucu juga.
"Sudah, sekali lagi makasih lo ya. Untung di jalan nggak kecolongan Swiper."
"Nggak masalah. Benny si sapi selalu siap membantu kok. Boleh ikut duduk?"
"Boleh.. dua hari keliling disini, aku belum ketemu rambu 'dilarang makan bareng' kok."
Dia tertawa, rambut acak-acakannya menggelombang seperti, mie. Kemudian kami pun berkenalan. Memesan menu yang sama, lalu, membahas topik yang sama. Memakan waktu dengan lahap, hingga tak terasa banyaknya bumbu nikmat dan gizi di dalamnya.
...
"Kamu lebay deh, keseringan ngomong pakai majas." katanya dengan dagu ditopang dua tangan, mendekatkan wajah dari sisi lain meja.
Aku meniru. "Daripada kamu, sering nyanyi padahal suaranya jelek."
Maka dalam jarak yang sangat dekat itu, wajahnya memenuhi pandanganku.. dengan titik fokus ke sepasang, mata. Karena tidak akan bernilai kerapian ujung rambut sampai jari kaki, jika cerminan perilaku dan keputusan hati, tidak nampak jernih.
Dari situ aku yakin Jaka adalah orang baik.
Sungguh, aku merasa beruntung. Waktu, tempat, logika, rasa, berpihak pada kami berdua. Seakan wujud manusia dari syair yang mendayu, bertemu nada musik harmoni yang selaras dengan tiap bait. Hubungan ini organik.
Bersandar pada bahunya, aku berkata lirih. "Kamu tahu nggak? Menyelam ke dunia sastra tuh mimpiku sejak dulu."
Dia membalas dengan senyuman tulus. Menungguku untuk melanjutkan kalimat.
"Ternyata begini ya rasanya mimpi jadi nyata." Sebenarnya yang kumaksud waktu itu adalah atmosfir yang aku dan dia bangun. Kan aku belum betul-betul jadi seorang sastrawan..
***
Di akhir bulan, lagu berlirik tinggi pun terkomposisi. Perpustakaan, restoran, alun-alun, tempat jemuran, bahkan di trotoar. Alunannya kami bawa selama berbulan-bulan.
Tapi mungkin, mungkin.. aku terlalu puitis.
Sampai jumpa! Kulepas kepergiannya di stasiun. Waktu itu adalah saat baginya untuk kuliah kerja nyata. Di kota sebelah, selama kurang lebih sebulan. Misinya tak lain adalah untuk re-relevansi dan pelestarian budaya setempat.
"Gimana kabar disana?" tanyaku dari ujung telepon.
"Hmm.. lebih parah dari yang dikira. Bahkan di daerah yang agak pelosok, hanya orang-orang sepuh saja yang terampil, atau tahu tentang adat turun-menurun mereka. Rencananya akhir bulan nanti timku mau buat pertunjukan besar untuk mengembalikan kesadaran warga."
Aku merasa sungguh bangga. "Okelah, yang penting kamu sehat terus, sukses deh!"
Jaka terus memberiku kabar, tentang latihan insentif kelompoknya untuk rencana besar tersebut, prosedur wajib sosialisasi ke beberapa badan masyarakat. Dan, yang sukar kulupakan, saat dia bertemu dengan satu tetua di sana.
"Wah, aku ketemu orang keren banget, Da. Bukan keren dalam artian masa kita sih, tapi ya, gitu deh.. Jadi dia ini mungkin satu-satunya yang masih ahli tentang peninggalan leluhur sini. Orangnya ramah, welcome, dan mendukung niat baik kami."
Rasanya aku ingin segera memeluk Jaka.
"Beliau bolak-balik nanyain aku lho, kapan nikah. Masa gara-gara aku yang paling tua dari temen-temen jadi cuma aku sasarannya. Hahaha.."
"Ya nggak apa-apa dong, kan masuk akal."
Eh, keceplosan.. atau keinginan mendalam? Ada keheningan sejenak, dia tidak seharusnya kaget karena, memang dia yang membahas lebih dulu. Meskipun, aku yang bereaksi, terlalu. Dia pun tertawa canggung kemudian pamit. "Iyadeh, duluan ya, pingin deh cepet-cepet ketemu kamu lagi."
Setelah sekian lama, siapa yang tak tersangkut di dahan-dahan kenangan, yang sudah kian tumbuh jadi pohon rindu. Berbuah ribuan skenario lanjutan, penuh harapan. Aku pun berdoa agar kami dipertemukan sesegera mungkin.
Kesalahanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Case Scenarios
RomanceSerial mimpi seorang pemimpi dan usahanya untuk mencapai mimpi tersebut. Dengan cara, bangun.